Masjid Nabawi dilihat dari arah kawasan Asia/dekat Masjid Ijabah tahun 2006 |
Selang beberapa bulan tinggal di
imaroh lama, yang lebih menyerupai kamar
kost itu; Alhamdulillah suami mendapat
tawaran untuk menyewa sebuah imaroh baru
yang lebih bagus dan lebih luas. Oya, bicara tentang imaroh, sebenarnya sebagai
bagian dari fasilitas yang diberikan kemenkes Saudi, suami berhak mendapat
tempat tinggal di sebuah flat yang
terletak di dekat rumah sakit plus beberapa perlengkapan rumah tangga. Namun karena lokasi flat ini jauh dari pusat
kota Madinah, terutama masjid Nabawi makanya kami-saya dan suami sepakat untuk
mencari apartemen lain yang lebih dekat dengan masjid Nabawi.
Oleh karena kami tidak menempati
flat yang sudah disediakan dan memilih tinggal di tempat lain, kami berhak atas
jatah penggantian uang sewa rumah sebesar beberapa ribu real. Untuk hal ini,
harus saya akui – meski masih kalah dibandingkan negara teluk lainnya yang
menjanjikan fasilitas yang jauh lebih menggiurkan untuk pegawainya- namun
fasilitas dari pemerintah Saudi ini sudah sangat baik dan kami syukuri. *kapan
Indonesia bisa begitu ya*
Imaroh lama kami yang terletak di
kawasan Asia dan dekat dengan masjid Ijabah;
memang benar-benar dekat jaraknya dengan masjid Nabawi. Mungkin sekitar 1 sampai 2 kilometer
(maksimal). Melewati jalan-jalan yang
ramai oleh toko yang menjual berbagai bahan makanan dan pernak-pernik khas Asia tenggara, termasuk Indonesia serta
restoran Jakarta & Surabaya yang menghidangkan makanan khas Indonesia,
menyebrang sedikit berbelok melalui jalan-jalan mulus yang dipenuhi hotel-hotel
megah tempat para jamaah umroh/haji. Tak berapa lama, tampaklah kubah masjid Nabawi
yang cantik di kejauhan.
Sementara imaroh baru kami di
kawasan Tarik Salam lebih jauh jaraknya. Namun masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki
kira-kira hampir setengah jam (maksimal). Jalannya pun lurus saja. Bisa masuk
melalui pintu Babussalam. Imaroh baru
kami ini tempatnya meski lebih jauh tapi
memang kawasannya lebih bersih dan bagus dari imaroh lama. Saya
menempati tingkat dasar dari empat lantai yang ada di apartemen ini. Secara
lokasi memang sangat strategis
karena berada langsung dekat pintu
masuknya.
Karena posisi yang strategis ini,
beberapa kali pintu imaroh saya kedapatan diketuk oleh orang
tak dikenal. Untungnya pintu imaroh saya
sangat tebal. Pokoknya saking tebalnya untuk mengetuk pintu tak seperti layaknya
kita mengetuk pintu rumah di Indonesia. Mengetuk pintu harus dengan kekuatan
penuh- menggedor sih – tepatnya hehe…
Satu kali ada yang mengetuk pintu
imaroh saya dengan keras. Dog! Dog! Dog! Samar-samar terdengar si pengetuk juga berbicara dengan suara keras menggunakan
bahasa yang tidak saya pahami. Haduuuhh… Saya yang sedang berdua saja dengan
anak di rumah agak-agak cemas (takut-
tepatnya haha). Siapa pula itu? Tak sopan ‘kali! Tapi berhubung suami sudah
wanti-wanti dengan sangat *istri bandel* agar saya tidak sembarangan membuka pintu
kepada sembarangan orang, akhirnya saya diam saja. Menyimak di balik pintu sambil
berusaha keras memahami apa yang dia ucapkan. *Ngomong apa sih dikau * Beberapa
lama, setelah tak juga mendapat tanggapan, akhirnya dia beranjak pergi. Kabarnya kata teman saya,
kadang suka ada pengemis asal Palestine yang meminta-minta.
Soal seperti ini memang menuntut
kewaspadaan lebih dari saya, apalagi seringkali saya hanya tinggal berdua saja
dengan anak saya yang saat itu baru berumur setahunan. Pernah suatu kali saya
sampai harus janjian miscall-misscallan sama suami untuk memastikan bahwa yang
mengetuk pintu adalah beliau dan bukan
suami orang lain. Hihi.. terlalu ya. Tapi memang harus karena
kebetulan pintu imaroh tidak dilengkapi oleh lubang untuk mengintip orang/tamu
yang datang.
Imaroh baru ini benar-benar rezeki yang tidak
diduga, karena mendapatkan imaroh yang
nyaman dan sesuai keinginan hati
di Madinah tidaklah mudah. Seorang
teman sampai harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan imaroh yang sesuai
dengan keinginan hati. Oya imaroh ini harus dibayar sewanya selama 6 bulan
kedepan. Kalau tidak salah totalnya
sekitar ribuan real. Sampai-sampai kami- suami dan saya- sebagai new comer di
Madinah bangkrut dan harus
rela hanya makan dengan sambal ( pakai
nasi tentunya) demi membayar sewa imaroh yang muahal itu. Tapi biarlah….demi
privacy dan keleluasaan yang terkadang tak dapat dinilai dengan apapun, rasanya
cukup sepadan.
Tinggal di Tarik Salam, membuat
saya banyak menemukan pengalaman baru. Terutama dengan tetangga
asal Indonesia yang juga kebetulan tinggal satu apartement dengan saya. Banyak hal menarik yang membuat saya semakin mengenal lika-liku kehidupan dan mensyukuri segala nikmat yang telah dilimpahkan Allah swt.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar