Jumat, 10 Januari 2014

Episode Kehidupan : Madinah (2)


Masjid Nabawi dilihat dari arah kawasan Asia/dekat Masjid Ijabah tahun 2006


Selang beberapa bulan tinggal di imaroh lama,  yang lebih menyerupai kamar kost itu;  Alhamdulillah suami mendapat tawaran untuk menyewa sebuah  imaroh baru yang lebih bagus dan lebih luas. Oya, bicara tentang imaroh, sebenarnya sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan kemenkes Saudi, suami berhak mendapat tempat tinggal di sebuah flat yang terletak di dekat rumah sakit plus beberapa perlengkapan rumah tangga. Namun karena lokasi flat ini jauh dari pusat kota Madinah, terutama masjid Nabawi makanya kami-saya dan suami sepakat untuk mencari apartemen lain yang lebih dekat dengan masjid Nabawi.
Oleh karena kami tidak menempati flat yang sudah disediakan dan memilih tinggal di tempat lain, kami berhak atas jatah penggantian uang sewa rumah sebesar beberapa ribu real. Untuk hal ini, harus saya akui – meski masih kalah dibandingkan negara teluk lainnya yang menjanjikan fasilitas yang jauh lebih menggiurkan untuk pegawainya- namun fasilitas dari pemerintah Saudi ini sudah sangat baik dan kami syukuri. *kapan Indonesia bisa begitu ya*
Imaroh lama kami yang terletak di kawasan Asia dan dekat dengan masjid Ijabah;  memang benar-benar dekat jaraknya dengan masjid Nabawi.  Mungkin sekitar 1 sampai 2 kilometer (maksimal). Melewati  jalan-jalan yang ramai oleh toko yang menjual berbagai bahan makanan dan pernak-pernik khas Asia tenggara, termasuk Indonesia serta restoran Jakarta & Surabaya yang menghidangkan makanan khas Indonesia, menyebrang sedikit berbelok melalui jalan-jalan mulus yang dipenuhi hotel-hotel megah tempat para jamaah umroh/haji. Tak berapa lama, tampaklah kubah masjid Nabawi yang cantik di kejauhan.
Sementara imaroh baru kami di kawasan Tarik Salam lebih jauh jaraknya.  Namun masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki kira-kira hampir setengah jam (maksimal). Jalannya pun lurus saja. Bisa masuk melalui pintu Babussalam.  Imaroh baru kami ini tempatnya meski lebih jauh tapi  memang kawasannya lebih bersih dan bagus dari imaroh lama. Saya menempati tingkat dasar dari empat lantai yang ada di apartemen ini. Secara lokasi  memang sangat strategis karena  berada langsung dekat pintu masuknya.
Karena posisi yang strategis ini,  beberapa kali  pintu imaroh saya kedapatan diketuk oleh orang tak dikenal.  Untungnya pintu imaroh saya sangat tebal. Pokoknya saking tebalnya untuk mengetuk pintu tak seperti layaknya kita mengetuk pintu rumah di Indonesia. Mengetuk pintu harus dengan kekuatan penuh- menggedor sih  – tepatnya hehe…
Satu kali ada yang mengetuk pintu imaroh saya dengan keras. Dog! Dog! Dog! Samar-samar  terdengar si pengetuk  juga berbicara dengan suara keras menggunakan bahasa yang tidak saya pahami. Haduuuhh… Saya yang sedang berdua saja dengan anak di rumah  agak-agak cemas (takut- tepatnya haha). Siapa pula itu? Tak sopan ‘kali! Tapi berhubung suami sudah wanti-wanti  dengan sangat *istri bandel*  agar saya tidak sembarangan membuka pintu kepada sembarangan orang, akhirnya saya diam saja. Menyimak di balik pintu sambil berusaha keras memahami apa yang dia ucapkan. *Ngomong apa sih dikau * Beberapa lama, setelah tak juga mendapat tanggapan, akhirnya dia  beranjak pergi. Kabarnya kata teman saya, kadang suka ada pengemis asal Palestine yang meminta-minta.  
Soal seperti ini memang menuntut kewaspadaan lebih dari saya, apalagi seringkali saya hanya tinggal berdua saja dengan anak saya yang saat itu baru berumur setahunan. Pernah suatu kali saya sampai harus janjian miscall-misscallan sama suami untuk memastikan bahwa yang mengetuk pintu  adalah beliau dan  bukan  suami  orang  lain. Hihi.. terlalu ya. Tapi memang harus karena kebetulan pintu imaroh tidak dilengkapi oleh lubang untuk mengintip orang/tamu yang datang.
Imaroh baru ini benar-benar rezeki yang tidak diduga, karena mendapatkan imaroh yang  nyaman  dan sesuai keinginan hati di Madinah tidaklah mudah.   Seorang teman sampai harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan imaroh yang sesuai dengan keinginan hati. Oya imaroh ini harus dibayar sewanya selama 6 bulan kedepan. Kalau tidak salah  totalnya sekitar ribuan real. Sampai-sampai kami- suami dan saya- sebagai new comer di Madinah bangkrut dan harus rela  hanya makan dengan sambal ( pakai nasi tentunya) demi membayar sewa imaroh yang muahal itu. Tapi biarlah….demi privacy dan keleluasaan yang terkadang tak dapat dinilai dengan apapun, rasanya cukup sepadan.
Tinggal di Tarik Salam, membuat saya banyak menemukan pengalaman baru. Terutama dengan  tetangga  asal Indonesia yang juga kebetulan tinggal satu apartement dengan saya. Banyak hal menarik yang membuat saya semakin mengenal lika-liku kehidupan dan mensyukuri segala nikmat yang telah dilimpahkan Allah swt.
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar