Rabu, 08 Januari 2014

Episode Kehidupan : Madinah (1)






Meski  telah tujuh tahun  saya meninggalkan Madinah, namun tidak mudah rasanya melupakan begitu saja episode kehidupan saya selama hampir dua tahun saya berdiam di kota kecintaan nabi tersebut.
Akhir tahun 2004, ketika  mendengar kabar bahwa suami mendapat pekerjaan di departemen kesehatan pemerintah kerajaan Saudi  dan ditugaskan di rumah sakit King Fahd, Madinah,  terus terang saya sempat galau. Maklum, waktu itu sebagai ibu muda dengan pengalaman yang masih minim alias newbie dalam urusan rumahtangga, meninggalkan kenyamanan di tanah air bukan perkara mudah buat saya. Apalagi, mendengar cerita-cerita  tentang ketatnya aturan plus lika-liku kehidupan di tanah suci yang nota bene adalah hal yang asing untuk saya.
Tapi, berhubung mantan pacar alias suami yang  terlebih dulu berangkat sudah ribut memanggil saya untuk segera menyusul dengan membawa buah hati kami…. apa boleh buat.  Siaap Grakk!  Walaupun terus terang cerita yang beredar semakin menciutkan hati saya. Kalau masalah segala pernak-pernik urusan rumah tangga  yang kudu dihandle sendiri itu sih biasaaa….  Namanya rumah tangga baru, pastinya tahap itu harus dilalui. Sebenarnay yang lebih bikin cemas adalah kisah-kisah “seru” tentang  keamanan hidup disana sebagai warga negara  perempuan Indonesia. Bahkan ibunda pun sempat keberatan saya menyusul suami ke Madinah. Maklum, anak perempuan satu-satunya :)
Baiklah…. Dibalik semua itu  ada satu hal yang membuat saya bertekad menjejakkan kaki ke tanah suci. Adalah asa untuk datang memenuhi panggilanNya,  bersujud ke Baitullah. Kalau ini dinamakan rezeki, mengapa tidak dijemput? Kapan lagi saya beroleh kesempatan untuk menunaikan ibadah haji dan umrah? Walaupun tidak serta merta saya akan mendapat kesempatan itu, mudah-mudahan dengan tinggal di Madinah, mimpi itu akan semakin mendekat.. Insya Allah.
Oya, zaman tahun 2004 itu jangan samakan dengan zaman kini ya, dimana sekarang semua begitu mudah mendapat informasi via internet- tinggal klik Mbah Google. Zaman itu  saya masih agak kesulitan untuk mendapat informasi tentang kehidupan sehari-hari di Madinah. Meski memang banyak informasi dari para saudara dan kerabat yang pernah menunaikan haji atau umroh, namun tetap saja rasanya berbeda. Tentu saja karena saya kondisinya berangkat ke Saudi adalah untuk menetap dan tinggal dalam jangka waktu yang cukup lama.  Pastinya ada banyak hal yang harus dipersiapkan ; termasuk kondisi psikologis.
Setelah melalui proses yang berliku-liku  termasuk bolak–balik mengurus paspor, menghubungi pihak kedutaan Arab untuk pengurusan visa undangan, booking tiket pesawat dan melakukan pemeriksaan kesehatan, tentunya sambil membawa Fathan- buah hati saya yang saat itu berusia 9 bulan, Alhamdulillah… disuatu musim panas pertengahan tahun 2005, resmi sudah saya menjejakkan kaki ke tanah Madinah yang gersang.
Panasnya suhu dan kerasnya tiupan angin gurun pasir yang menyambut saya, benar-benar mengejutkan saya ketika melangkah keluar pesawat Saudi Arabian Airlines yang menerbangkan saya dari Jeddah.
Oya, sebelumnya saya sempat transit dulu di Jeddah selama lebih dari enam jam. Berhubung ini pengalaman pertama melakukan perjalanan internasional, harap  maklum kalau saya sedikit norak. Termasuk ketika saya coba-coba  praktek bahasa Inggris kepada  seorang pelayan cafe di bandara Jeddah ketika membeli kentang goreng untuk sekedar pengganjal perut. Sst…. Cita-cita saya untuk bisa pergi keluar negeri diantaranya memang untuk memperlancar bahasa Inggris meskipun akhirnya tetap tak bisa tercapai :)…hihihi.. ya iya lah…di Madinah kan bahasa yang umum dipakai bahasa arab..jarang ada yang berbicara dalam bahasa Inggris.
Meski cukup kaget ketika kali  pertama merasakan iklim super kering dan panas di Madinah ditambah keribetan memakai cadar, itu masih belum ada apa-apanya dibanding ketika saya pertama kali tiba di imaroh alias apartemen perdana saya di Madinah.  Wew, sejujurnya....sempat speechless...saat itu rasanya saya  ingin lompat dan kabur kembali ke rumah saya yang aman dan  nyaman Bandung… hehehe…
Oya, sebenarnya suami sudah mendapat sebuah imaroh sendiri untuk keluarga kecil kami. Tapi berhubung sayanya penakut, saya memaksa suami untuk pindah dan  tinggal  sama-sama dalam satu apartemen dengan dua keluarga Indonesia lain. Imaroh itu terdiri dari 3 kamar, satu kamar mandi, satu dapur dan satu ruang mungil yang tak bisa dibilang ruang tamu. Keluarga kami menempati salah satu kamarnya. Sementara  keluarga lain adalah pasangan suami istri yang tinggal dan bekerja di Madinah.
Tinggal bersama-sama dalam satu rumah ini  merupakan suatu keputusan yang saya sesali di kemudian hari. Karena memang tak mudah untuk tinggal bersama keluarga lain dalam satu rumah. Yah, jangankan bersama dengan orang lain, dengan keluarga sendiri pun jamak terjadi perbedaan pendapat. Apalagi ini dengan orang lain yang benar-benar asing meski satu bangsa.
Di satu sisi, pengalaman tinggal serumah dengan dua keluarga itu, memberi warna juga pada keseharian saya, terutama awal saya tinggal di Madinah. Paling tidak saya bisa belajar masakan Padang pada salah satu tetangga kamar saya. Masakan Padangnya sungguh sangat lezat. Meski tinggal jauh dari tanah air, alhamdulillaah urusan perut masih terjamin. Saya tak heran kalau beliau akhirnya membuka restoran Padang ketika kembali  ke tanah air.
Imaroh pertama yang saya diami terletak di dekat kawasan Asia yang saat ini sudah dirubuhkan oleh pemerintah Saudi. Kawasan Asia ini adalah salah satu surganya warga Indonesia di Madinah, terutama buat suami saya yang fanatic dengan masakan Indonesia dan saya yang tak ahli-ahli juga memasak  meski sudah terdampar di padang pasir :)). Di kawasan Asia ini terdapat beberapa restoran yang menjual masakan Indonesia.
Jadwal hari-hari biasanya suami full bekerja di rumah sakit. Bahkan dalam seminggu ada saja  jadwal beliau untuk jaga malam, yang artinya dia tidak pulang sehari semalam. Kalau saat seperti itu biasanya  sewaktu di imaroh lama saya merasa agak tenang karena masih ada tetangga kamar-teman serumah. Tetapi ketika awal pindah di imaroh baru yang hanya ditempati saya sekeluarga, saya langsung kunci semua pintu dan mendekam di kamar. Kenapa? Ya itu ada ceritanya tentunya. 
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar