Meski telah tujuh tahun saya meninggalkan Madinah, namun tidak mudah
rasanya melupakan begitu saja episode kehidupan saya selama hampir dua tahun
saya berdiam di kota kecintaan nabi tersebut.
Akhir tahun 2004, ketika mendengar kabar bahwa suami mendapat
pekerjaan di departemen kesehatan pemerintah kerajaan Saudi dan ditugaskan di rumah sakit King Fahd,
Madinah, terus terang saya sempat galau.
Maklum, waktu itu sebagai ibu muda dengan pengalaman yang masih minim alias
newbie dalam urusan rumahtangga, meninggalkan kenyamanan di tanah air bukan
perkara mudah buat saya. Apalagi, mendengar cerita-cerita tentang ketatnya aturan plus lika-liku
kehidupan di tanah suci yang nota bene adalah hal yang asing untuk saya.
Tapi, berhubung mantan pacar alias suami yang terlebih dulu berangkat sudah ribut memanggil
saya untuk segera menyusul dengan membawa buah hati kami…. apa boleh buat. Siaap Grakk!
Walaupun terus terang cerita yang beredar semakin menciutkan hati saya.
Kalau masalah segala pernak-pernik urusan rumah tangga yang kudu dihandle sendiri itu sih
biasaaa…. Namanya rumah tangga baru,
pastinya tahap itu harus dilalui. Sebenarnay yang lebih bikin cemas adalah
kisah-kisah “seru” tentang keamanan hidup
disana sebagai warga negara perempuan
Indonesia. Bahkan ibunda pun sempat keberatan saya menyusul suami ke Madinah.
Maklum, anak perempuan satu-satunya :)
Baiklah…. Dibalik semua
itu ada satu hal yang membuat saya
bertekad menjejakkan kaki ke tanah suci. Adalah asa untuk datang memenuhi
panggilanNya, bersujud ke Baitullah.
Kalau ini dinamakan rezeki, mengapa tidak dijemput? Kapan lagi saya beroleh
kesempatan untuk menunaikan ibadah haji dan umrah? Walaupun tidak serta merta
saya akan mendapat kesempatan itu, mudah-mudahan dengan tinggal di Madinah, mimpi
itu akan semakin mendekat.. Insya Allah.
Oya, zaman tahun 2004 itu jangan samakan dengan zaman kini ya, dimana sekarang semua begitu mudah mendapat informasi via internet- tinggal klik Mbah Google. Zaman itu saya masih agak kesulitan untuk mendapat informasi tentang kehidupan sehari-hari di Madinah. Meski memang banyak informasi dari para saudara dan kerabat yang pernah menunaikan haji atau umroh, namun tetap saja rasanya berbeda. Tentu saja karena saya kondisinya berangkat ke Saudi adalah untuk menetap dan tinggal dalam jangka waktu yang cukup lama. Pastinya ada banyak hal yang harus dipersiapkan ; termasuk kondisi psikologis.
Oya, zaman tahun 2004 itu jangan samakan dengan zaman kini ya, dimana sekarang semua begitu mudah mendapat informasi via internet- tinggal klik Mbah Google. Zaman itu saya masih agak kesulitan untuk mendapat informasi tentang kehidupan sehari-hari di Madinah. Meski memang banyak informasi dari para saudara dan kerabat yang pernah menunaikan haji atau umroh, namun tetap saja rasanya berbeda. Tentu saja karena saya kondisinya berangkat ke Saudi adalah untuk menetap dan tinggal dalam jangka waktu yang cukup lama. Pastinya ada banyak hal yang harus dipersiapkan ; termasuk kondisi psikologis.
Setelah melalui proses yang
berliku-liku termasuk bolak–balik
mengurus paspor, menghubungi pihak kedutaan Arab untuk pengurusan visa
undangan, booking tiket pesawat dan melakukan pemeriksaan kesehatan, tentunya
sambil membawa Fathan- buah hati saya yang saat itu berusia 9 bulan,
Alhamdulillah… disuatu musim panas pertengahan tahun 2005, resmi sudah saya
menjejakkan kaki ke tanah Madinah yang gersang.
Panasnya suhu dan kerasnya tiupan
angin gurun pasir yang menyambut saya, benar-benar mengejutkan saya ketika
melangkah keluar pesawat Saudi Arabian Airlines yang menerbangkan saya dari Jeddah.
Oya, sebelumnya saya sempat
transit dulu di Jeddah selama lebih dari enam jam. Berhubung ini pengalaman
pertama melakukan perjalanan internasional, harap maklum kalau saya sedikit norak. Termasuk
ketika saya coba-coba praktek bahasa
Inggris kepada seorang pelayan cafe di bandara Jeddah ketika membeli kentang
goreng untuk sekedar pengganjal perut. Sst…. Cita-cita saya untuk bisa pergi keluar
negeri diantaranya memang untuk memperlancar bahasa Inggris meskipun akhirnya
tetap tak bisa tercapai :)…hihihi..
ya iya lah…di Madinah kan bahasa yang umum dipakai bahasa arab..jarang ada yang
berbicara dalam bahasa Inggris.
Meski cukup kaget ketika kali pertama merasakan iklim super kering dan
panas di Madinah ditambah keribetan memakai cadar, itu masih belum ada
apa-apanya dibanding ketika saya pertama kali tiba di imaroh alias apartemen perdana saya di Madinah. Wew, sejujurnya....sempat speechless...saat itu rasanya saya ingin lompat dan kabur
kembali ke rumah saya yang aman dan nyaman Bandung… hehehe…
Oya, sebenarnya suami sudah
mendapat sebuah imaroh sendiri untuk keluarga kecil kami. Tapi berhubung
sayanya penakut, saya memaksa suami untuk pindah dan tinggal
sama-sama dalam satu apartemen dengan dua keluarga Indonesia lain. Imaroh
itu terdiri dari 3 kamar, satu kamar mandi, satu dapur dan satu ruang mungil
yang tak bisa dibilang ruang tamu. Keluarga kami menempati salah satu kamarnya.
Sementara keluarga lain adalah pasangan
suami istri yang tinggal dan bekerja di Madinah.
Tinggal bersama-sama dalam satu
rumah ini merupakan suatu keputusan yang
saya sesali di kemudian hari. Karena memang tak mudah untuk tinggal bersama
keluarga lain dalam satu rumah. Yah, jangankan bersama dengan orang lain,
dengan keluarga sendiri pun jamak terjadi perbedaan pendapat. Apalagi ini
dengan orang lain yang benar-benar asing meski satu bangsa.
Di satu sisi, pengalaman tinggal
serumah dengan dua keluarga itu, memberi warna juga pada keseharian saya,
terutama awal saya tinggal di Madinah. Paling tidak saya bisa belajar masakan
Padang pada salah satu tetangga kamar saya. Masakan Padangnya sungguh sangat
lezat. Meski tinggal jauh dari tanah air, alhamdulillaah urusan perut masih
terjamin. Saya tak heran kalau beliau akhirnya membuka restoran Padang ketika
kembali ke tanah air.
Imaroh pertama yang saya diami terletak
di dekat kawasan Asia yang saat ini sudah dirubuhkan oleh pemerintah Saudi. Kawasan
Asia ini adalah salah satu surganya warga Indonesia di Madinah, terutama buat
suami saya yang fanatic dengan masakan Indonesia dan saya yang tak ahli-ahli
juga memasak meski sudah terdampar di
padang pasir :)).
Di kawasan Asia ini terdapat beberapa restoran yang menjual masakan Indonesia.
Jadwal hari-hari biasanya suami
full bekerja di rumah sakit. Bahkan dalam seminggu ada saja jadwal beliau untuk jaga malam, yang artinya
dia tidak pulang sehari semalam. Kalau saat seperti itu biasanya sewaktu di imaroh lama
saya merasa agak tenang karena masih ada tetangga kamar-teman serumah. Tetapi ketika awal pindah di
imaroh baru yang hanya ditempati saya sekeluarga, saya langsung
kunci semua pintu dan mendekam di kamar. Kenapa? Ya itu ada
ceritanya tentunya.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar