Jumat, 24 Januari 2014

Episode Kehidupan : Madinah (3)





Suasana kehidupan Madinah yang tenang ternyata menyimpan  banyak  cerita tentang  warga Indonesia yang berjuang  mencari penghidupan disana. Untuk saya, menyaksikan lika-liku kehidupan mereka di Madinah adalah menyaksikan satu potret tentang realitas hidup. Untuk sebagian orang, hidup memang tak pernah lepas dari perjuangan. Dan itulah yang saya lihat di mata TKI/TKW yang saya jumpai disana.
Pertama kali datang, saya sering disangka TKW atau khadimat yang sedang bekerja. Sekalipun sudah menggendong-gendong si sulung sekalipun atau sengaja pasang ekspresi manis tak berdosa. Maklumlah mungkin tampilan seadanya ;D Memakai abaya pun model yang sangat sederhana, jauh dari gaya. Dari banyak cerita, ternyata hal itu bukan sesuatu yang aneh untuk warga Indonesia  berkunjung ke tanah suci selain untuk maksud ibadah haji/umroh.  Warga Indonesia yang bekerja disana memang jumlahnya cukup besar untuk sector informal seperti rumah tangga. Maka tak heran kalau profesi khadimat cukup populer bagi warga Indonesia. Untuk mereka, Saudi bagaikan tanah yang menjanjikan harapan dan impian. Harapan yang tak mereka dapatkan di tanah air.
Ya, siapa yang tak ingin. Bisa mendulang riyal sambil berkesempatan menunaikan ibadah haji/umroh. Meski harus jauh dari keluarga. Setidaknya ada harapan yang dijemput daripada menunggu sesuatu yang tak pasti di tanah air. Meski kenyataannya tak sedikit rintangan yang dihadapi. Baik bagi pekerja professional, namun  terutama sekali bagi para pekerja dan pendatang illegal.
Seringkali rasa tak nyaman menyelinap di hati bila menyaksikan polisi kerajaan Saudi yang sedang sibuk berjaga-jaga atau melakukan razia. Baik di jalan-jalan, sekitar masjid Nabawi/Masjidil Haram apalagi di checkpoint pintu masuk Mekah.  Tampang bapak polisi yang dingin begitu tak bersahabat. Apalagi untuk para pekerja illegal yang seringkali harus dalam kondisi waspada terus menerus. Oleh karena itu, iqoma hampir tak pernah lepas  dari tas saya. Untuk berjaga-jaga apabila ada razia. Oya Iqoma itu seperti KITAS ya, bukti identitas resmi kita sebagai WNA di Saudi. Jadi apabila ada razia, cukup tunjukkan iqoma ini.
Tapi sekali waktu, saya pernah juga lalai. Waktu itu kebetulan ada sahabat mengajak saya berkeliling kota menghabiskan malam jumat di Madinah (a.k.a malam minggunya Saudi) sambil mencari-cari rumah untuk tempat tinggal baru keluarganya. Keliling kota bukannya seperti (saya) di Indonesia ya.. paling banter jam 9 malam sudah kembali ke kasur- tidur *anak baik* Keliling kota di Madinah ini baru mantap kalau sudah jauh lepas isya. Sekitar jam 11 sampai jam 1 dinihari. Waktu itu kebetulan suami sedang jaga malam. Jadilah saya meminta izin sekalian menginap di rumah sahabat saya itu. Dan asyiklah kami berputar-putar keliling  Madinah mengunjungi beberapa tempat yang jadi pusat keramaian kota. Bahkan sempat bermacet-macet ria segala.  Saya pun tenang saja menikmati suasana sambil menggendong si sulung. Esoknya ketika kembali ke rumah dan sedang beres-beres, saya baru sadar iqoma saya tertinggal di rumah. Hadeuhhh… untung tidak ada razia kala itu. Kalau ada razia, bisa dipastikan saya  suami bakalan repot berurusan dengan kepolisian setempat untuk menjemput istrinya kembali.
Saking banyaknya  pekerja di sector informal dari Indonesia, warga Saudi tampaknya sudah terbiasa  menyamaratakan bahwa semua pekerja Indonesia di Saudi adalah para supir dan pembantu atau penjaga toko dan petugas kebersihan. Maka tampak tak lazim bagi mereka ketika ada beberapa pekerja professional dari Indonesia yang juga mencari penghidupan disini. Satu kali  bahkan  seorang teman yang membantu mengurus dokumen penting  milik suami -yang sempat hilang- mendapati rasa heran dan tidak percaya  dari seorang  petugas warga Saudi saat mengisi keterangan  bahwa pekerjaan suami adalah dokter. Mungkin mereka tak biasa mendapatkan ada warga Indonesia dengan latar belakang pendidikan dan  profesional seperti dokter yang bekerja di Saudi. Namun hal ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kondisi yang terpaksa harus dihadapi oleh sejumlah pekerja ilegal saudara sebangsa setanah air.
(Bersambung)


Jumat, 10 Januari 2014

Episode Kehidupan : Madinah (2)


Masjid Nabawi dilihat dari arah kawasan Asia/dekat Masjid Ijabah tahun 2006


Selang beberapa bulan tinggal di imaroh lama,  yang lebih menyerupai kamar kost itu;  Alhamdulillah suami mendapat tawaran untuk menyewa sebuah  imaroh baru yang lebih bagus dan lebih luas. Oya, bicara tentang imaroh, sebenarnya sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan kemenkes Saudi, suami berhak mendapat tempat tinggal di sebuah flat yang terletak di dekat rumah sakit plus beberapa perlengkapan rumah tangga. Namun karena lokasi flat ini jauh dari pusat kota Madinah, terutama masjid Nabawi makanya kami-saya dan suami sepakat untuk mencari apartemen lain yang lebih dekat dengan masjid Nabawi.
Oleh karena kami tidak menempati flat yang sudah disediakan dan memilih tinggal di tempat lain, kami berhak atas jatah penggantian uang sewa rumah sebesar beberapa ribu real. Untuk hal ini, harus saya akui – meski masih kalah dibandingkan negara teluk lainnya yang menjanjikan fasilitas yang jauh lebih menggiurkan untuk pegawainya- namun fasilitas dari pemerintah Saudi ini sudah sangat baik dan kami syukuri. *kapan Indonesia bisa begitu ya*
Imaroh lama kami yang terletak di kawasan Asia dan dekat dengan masjid Ijabah;  memang benar-benar dekat jaraknya dengan masjid Nabawi.  Mungkin sekitar 1 sampai 2 kilometer (maksimal). Melewati  jalan-jalan yang ramai oleh toko yang menjual berbagai bahan makanan dan pernak-pernik khas Asia tenggara, termasuk Indonesia serta restoran Jakarta & Surabaya yang menghidangkan makanan khas Indonesia, menyebrang sedikit berbelok melalui jalan-jalan mulus yang dipenuhi hotel-hotel megah tempat para jamaah umroh/haji. Tak berapa lama, tampaklah kubah masjid Nabawi yang cantik di kejauhan.
Sementara imaroh baru kami di kawasan Tarik Salam lebih jauh jaraknya.  Namun masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki kira-kira hampir setengah jam (maksimal). Jalannya pun lurus saja. Bisa masuk melalui pintu Babussalam.  Imaroh baru kami ini tempatnya meski lebih jauh tapi  memang kawasannya lebih bersih dan bagus dari imaroh lama. Saya menempati tingkat dasar dari empat lantai yang ada di apartemen ini. Secara lokasi  memang sangat strategis karena  berada langsung dekat pintu masuknya.
Karena posisi yang strategis ini,  beberapa kali  pintu imaroh saya kedapatan diketuk oleh orang tak dikenal.  Untungnya pintu imaroh saya sangat tebal. Pokoknya saking tebalnya untuk mengetuk pintu tak seperti layaknya kita mengetuk pintu rumah di Indonesia. Mengetuk pintu harus dengan kekuatan penuh- menggedor sih  – tepatnya hehe…
Satu kali ada yang mengetuk pintu imaroh saya dengan keras. Dog! Dog! Dog! Samar-samar  terdengar si pengetuk  juga berbicara dengan suara keras menggunakan bahasa yang tidak saya pahami. Haduuuhh… Saya yang sedang berdua saja dengan anak di rumah  agak-agak cemas (takut- tepatnya haha). Siapa pula itu? Tak sopan ‘kali! Tapi berhubung suami sudah wanti-wanti  dengan sangat *istri bandel*  agar saya tidak sembarangan membuka pintu kepada sembarangan orang, akhirnya saya diam saja. Menyimak di balik pintu sambil berusaha keras memahami apa yang dia ucapkan. *Ngomong apa sih dikau * Beberapa lama, setelah tak juga mendapat tanggapan, akhirnya dia  beranjak pergi. Kabarnya kata teman saya, kadang suka ada pengemis asal Palestine yang meminta-minta.  
Soal seperti ini memang menuntut kewaspadaan lebih dari saya, apalagi seringkali saya hanya tinggal berdua saja dengan anak saya yang saat itu baru berumur setahunan. Pernah suatu kali saya sampai harus janjian miscall-misscallan sama suami untuk memastikan bahwa yang mengetuk pintu  adalah beliau dan  bukan  suami  orang  lain. Hihi.. terlalu ya. Tapi memang harus karena kebetulan pintu imaroh tidak dilengkapi oleh lubang untuk mengintip orang/tamu yang datang.
Imaroh baru ini benar-benar rezeki yang tidak diduga, karena mendapatkan imaroh yang  nyaman  dan sesuai keinginan hati di Madinah tidaklah mudah.   Seorang teman sampai harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan imaroh yang sesuai dengan keinginan hati. Oya imaroh ini harus dibayar sewanya selama 6 bulan kedepan. Kalau tidak salah  totalnya sekitar ribuan real. Sampai-sampai kami- suami dan saya- sebagai new comer di Madinah bangkrut dan harus rela  hanya makan dengan sambal ( pakai nasi tentunya) demi membayar sewa imaroh yang muahal itu. Tapi biarlah….demi privacy dan keleluasaan yang terkadang tak dapat dinilai dengan apapun, rasanya cukup sepadan.
Tinggal di Tarik Salam, membuat saya banyak menemukan pengalaman baru. Terutama dengan  tetangga  asal Indonesia yang juga kebetulan tinggal satu apartement dengan saya. Banyak hal menarik yang membuat saya semakin mengenal lika-liku kehidupan dan mensyukuri segala nikmat yang telah dilimpahkan Allah swt.
(bersambung)

Rabu, 08 Januari 2014

Episode Kehidupan : Madinah (1)






Meski  telah tujuh tahun  saya meninggalkan Madinah, namun tidak mudah rasanya melupakan begitu saja episode kehidupan saya selama hampir dua tahun saya berdiam di kota kecintaan nabi tersebut.
Akhir tahun 2004, ketika  mendengar kabar bahwa suami mendapat pekerjaan di departemen kesehatan pemerintah kerajaan Saudi  dan ditugaskan di rumah sakit King Fahd, Madinah,  terus terang saya sempat galau. Maklum, waktu itu sebagai ibu muda dengan pengalaman yang masih minim alias newbie dalam urusan rumahtangga, meninggalkan kenyamanan di tanah air bukan perkara mudah buat saya. Apalagi, mendengar cerita-cerita  tentang ketatnya aturan plus lika-liku kehidupan di tanah suci yang nota bene adalah hal yang asing untuk saya.
Tapi, berhubung mantan pacar alias suami yang  terlebih dulu berangkat sudah ribut memanggil saya untuk segera menyusul dengan membawa buah hati kami…. apa boleh buat.  Siaap Grakk!  Walaupun terus terang cerita yang beredar semakin menciutkan hati saya. Kalau masalah segala pernak-pernik urusan rumah tangga  yang kudu dihandle sendiri itu sih biasaaa….  Namanya rumah tangga baru, pastinya tahap itu harus dilalui. Sebenarnay yang lebih bikin cemas adalah kisah-kisah “seru” tentang  keamanan hidup disana sebagai warga negara  perempuan Indonesia. Bahkan ibunda pun sempat keberatan saya menyusul suami ke Madinah. Maklum, anak perempuan satu-satunya :)
Baiklah…. Dibalik semua itu  ada satu hal yang membuat saya bertekad menjejakkan kaki ke tanah suci. Adalah asa untuk datang memenuhi panggilanNya,  bersujud ke Baitullah. Kalau ini dinamakan rezeki, mengapa tidak dijemput? Kapan lagi saya beroleh kesempatan untuk menunaikan ibadah haji dan umrah? Walaupun tidak serta merta saya akan mendapat kesempatan itu, mudah-mudahan dengan tinggal di Madinah, mimpi itu akan semakin mendekat.. Insya Allah.
Oya, zaman tahun 2004 itu jangan samakan dengan zaman kini ya, dimana sekarang semua begitu mudah mendapat informasi via internet- tinggal klik Mbah Google. Zaman itu  saya masih agak kesulitan untuk mendapat informasi tentang kehidupan sehari-hari di Madinah. Meski memang banyak informasi dari para saudara dan kerabat yang pernah menunaikan haji atau umroh, namun tetap saja rasanya berbeda. Tentu saja karena saya kondisinya berangkat ke Saudi adalah untuk menetap dan tinggal dalam jangka waktu yang cukup lama.  Pastinya ada banyak hal yang harus dipersiapkan ; termasuk kondisi psikologis.
Setelah melalui proses yang berliku-liku  termasuk bolak–balik mengurus paspor, menghubungi pihak kedutaan Arab untuk pengurusan visa undangan, booking tiket pesawat dan melakukan pemeriksaan kesehatan, tentunya sambil membawa Fathan- buah hati saya yang saat itu berusia 9 bulan, Alhamdulillah… disuatu musim panas pertengahan tahun 2005, resmi sudah saya menjejakkan kaki ke tanah Madinah yang gersang.
Panasnya suhu dan kerasnya tiupan angin gurun pasir yang menyambut saya, benar-benar mengejutkan saya ketika melangkah keluar pesawat Saudi Arabian Airlines yang menerbangkan saya dari Jeddah.
Oya, sebelumnya saya sempat transit dulu di Jeddah selama lebih dari enam jam. Berhubung ini pengalaman pertama melakukan perjalanan internasional, harap  maklum kalau saya sedikit norak. Termasuk ketika saya coba-coba  praktek bahasa Inggris kepada  seorang pelayan cafe di bandara Jeddah ketika membeli kentang goreng untuk sekedar pengganjal perut. Sst…. Cita-cita saya untuk bisa pergi keluar negeri diantaranya memang untuk memperlancar bahasa Inggris meskipun akhirnya tetap tak bisa tercapai :)…hihihi.. ya iya lah…di Madinah kan bahasa yang umum dipakai bahasa arab..jarang ada yang berbicara dalam bahasa Inggris.
Meski cukup kaget ketika kali  pertama merasakan iklim super kering dan panas di Madinah ditambah keribetan memakai cadar, itu masih belum ada apa-apanya dibanding ketika saya pertama kali tiba di imaroh alias apartemen perdana saya di Madinah.  Wew, sejujurnya....sempat speechless...saat itu rasanya saya  ingin lompat dan kabur kembali ke rumah saya yang aman dan  nyaman Bandung… hehehe…
Oya, sebenarnya suami sudah mendapat sebuah imaroh sendiri untuk keluarga kecil kami. Tapi berhubung sayanya penakut, saya memaksa suami untuk pindah dan  tinggal  sama-sama dalam satu apartemen dengan dua keluarga Indonesia lain. Imaroh itu terdiri dari 3 kamar, satu kamar mandi, satu dapur dan satu ruang mungil yang tak bisa dibilang ruang tamu. Keluarga kami menempati salah satu kamarnya. Sementara  keluarga lain adalah pasangan suami istri yang tinggal dan bekerja di Madinah.
Tinggal bersama-sama dalam satu rumah ini  merupakan suatu keputusan yang saya sesali di kemudian hari. Karena memang tak mudah untuk tinggal bersama keluarga lain dalam satu rumah. Yah, jangankan bersama dengan orang lain, dengan keluarga sendiri pun jamak terjadi perbedaan pendapat. Apalagi ini dengan orang lain yang benar-benar asing meski satu bangsa.
Di satu sisi, pengalaman tinggal serumah dengan dua keluarga itu, memberi warna juga pada keseharian saya, terutama awal saya tinggal di Madinah. Paling tidak saya bisa belajar masakan Padang pada salah satu tetangga kamar saya. Masakan Padangnya sungguh sangat lezat. Meski tinggal jauh dari tanah air, alhamdulillaah urusan perut masih terjamin. Saya tak heran kalau beliau akhirnya membuka restoran Padang ketika kembali  ke tanah air.
Imaroh pertama yang saya diami terletak di dekat kawasan Asia yang saat ini sudah dirubuhkan oleh pemerintah Saudi. Kawasan Asia ini adalah salah satu surganya warga Indonesia di Madinah, terutama buat suami saya yang fanatic dengan masakan Indonesia dan saya yang tak ahli-ahli juga memasak  meski sudah terdampar di padang pasir :)). Di kawasan Asia ini terdapat beberapa restoran yang menjual masakan Indonesia.
Jadwal hari-hari biasanya suami full bekerja di rumah sakit. Bahkan dalam seminggu ada saja  jadwal beliau untuk jaga malam, yang artinya dia tidak pulang sehari semalam. Kalau saat seperti itu biasanya  sewaktu di imaroh lama saya merasa agak tenang karena masih ada tetangga kamar-teman serumah. Tetapi ketika awal pindah di imaroh baru yang hanya ditempati saya sekeluarga, saya langsung kunci semua pintu dan mendekam di kamar. Kenapa? Ya itu ada ceritanya tentunya. 
(bersambung)

Yuk, Jalan-jalan ke Perpustakaan Daerah Jawa Barat




13891735341351804093
Ruang membaca anak di Perpusda jabar

Liburan lalu, saya sempat bingung mencari alternative kegiatan liburan untuk kedua anak saya. Maklum, karena keterbatasan (isi) dompet dan waktu plus kesibukan (orangtuanya) tak memungkinkan kami untuk merencanakan liburan panjang keluar kota. Untuk sekedar jalan-jalan di dalam kota pun agak sulit. Apalagi menyaksikan padatnya lalu lintas Bandung pada saat liburan, membuat suami saya ogah menghabiskan waktu berjam-jam terjebak kemacetan untuk sekedar berjalan-jalan ke Lembang atau tempat wisata manapun di Bandung.
Suatu hari, tak sengaja saya melihat foto di facebook seorang teman yang menceritakan kunjungannya ke gedung baru Perpusda Jabar. Lokasinya ternyata tak jauh dari rumah. Karena penasaran, saat itu juga saya mengajak anak-anak untuk berkunjung ke perpustakaan tersebut. Daaannn…. Surprise!! ternyata kondisi gedung Perpusda yang baru ini benar-benar nyaman. Fasilitas yang tersedia cukup memadai dan membuat saya beserta anak-anak ketagihan untuk kembali datang berkunjung. Sayangnya karena handphone rusak, saya tidak dapat mengambil foto dan hanya dapat memasang satu foto –atas kebaikan seorang teman.
Gedung Perpusda yang baru ini terbilang memiliki beragam fasilitas yang membuat pengunjung betah. Mulai dari tersedianya fasilitas lift dan escalator untuk naik-turun pengunjung di setiap lantai, juga ada mesin scan untuk mengisi daftar pengunjung. Kondisi toilet juga masih baru, mudah-mudahan dengan pemeliharaan yang baik kebersihannya masih tetap terjaga. Di setiap lantai tersedia kursi-kursi model sofa berwarna-warni dengan mejanya yang disediakan untuk pengunjung sehingga membuat suasananya terasa lebih “hommy”. Belum lagi ruangannya yang cukup luas dengan pencahayaan dan sirkulasi udara yang cukup memadai. Perpustakaan ini juga dilengkapi dengan fasilitas wifi “Bandung Juara”nya Kang Ridwan Kamil  dengan koneksi yang cukup kencang, sehingga semakin membuat pengunjung betah untuk browsing, download atau sekedar membuka jejaring social (seperti saya).
Lantai satu diperuntukkan untuk ruang baca anak-anak. Buku-buku yang tersedia cukup memadai. Selain majalah anak-anak dan komik yang kebanyakan hanya boleh dibaca di tempat, masih tersedia banyak buku lainnya seperti beragam buku cerita anak, buku dongeng anak, buku sains, buku bergambar untuk balita dan banyak buku lainnya yang dapat dipinjam oleh anak apabila sudah terdaftar sebagai anggota. Kondisinya pun cukup layak dengan sejumlah buku yang bersampul hardcover dan gambar-gambar yang indah membuat anak semakin tertarik untuk membaca. Beberapa bangku bundar dan meja diatas lantai yang dialasi karpet membuat suasana ruangan bertambah nyaman. Belum lagi dinding bergambar yang menceritakan beberapa dongeng nusantara semakin menambah semarak ruangan ini. Di sini anak-anak yang belum bisa membaca bisa bebas berlarian sambil sesekali melihat gambar dan buku atau mendengar cerita yang dibacakan orangtua. Hal ini tentu sangat mendorong minat anak untuk tertarik melihat-lihat buku sekalipun belum bisa membaca. Untuk anak yang lebih besar dan bisa membaca sendiri, tempat ini pun sangat nyaman. Menurut informasi bahkan tersedia fasilitas story telling dan penayangan DVD.
Di lantai dua terdapat fasilitas ruang membaca dan pinjam buku untuk dewasa dan remaja. Ruang ini pun didisain cukup nyaman dengan cahaya yang cukup dan buku-buku dalam rak yang berjajar rapi. Untuk saya yang hobi membaca, menemukan tempat ini serasa menemukan harta karun. Betapa tidak, sejumlah buku mulai buku agama, biografi sejumlah tokoh, pendidikan, psikologi, sejarah, travelling bahkan novel-novel cukup banyak tersedia disana. Mulai buku tentang beragam aktivitas anak, sejarah Singapore, biografi Dahlan Iskan, buku kumpulan kasus psikologi Leila Ch Budiman sampai buku travellingnya Trinity dan novel-novel terjemahan karya Nicholas Sparks atau Da Vinci Codenya Dan Brown dapat ditemukan disana. Buku-buku ini dapat dipinjam dengan gratis bagi yang sudah terdaftar sebagai anggota. Terdapat meja untuk membaca dan ruang untuk diskusi bagi para pengunjung yang membutuhkan. Sementara di lantai tiga tersedia ruangan untuk mencari referensi dan ruangan untuk membaca koran atau majalah edisi terbaru yang harus dibaca di tempat.
Syarat untuk menjadi anggota sendiri tidak lah sulit dan tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun, Gratis tis! Cukup menyediakan fotocopy KTP Bandung bagi warga Bandung beserta foto 2x3 sebanyak 4 buah, dapat segera mendaftar dengan terlebih dahulu mengisi identitas secara mandiri dengan perangkat computer yang tersedia. Untuk anak, bisa diwakilkan oleh KTP atas nama orangtuanya. Apabila dibandingkan dengan perpustakaan di lokasi yang lama, cukup banyak juga kemajuan yang dicapai oleh perpustakaan daerah Jabar di gedung baru ini. Oya, untuk anda yang berminat berkunjung lokasinya  di kawasan Bandung Timur tepatnya Jl. Kawaluyaan Indah II No. 4. Jam buka perpustakaan mulai hari senin sampai sabtu mulai pukul 08.00 sampai 15.30 dengan waktu istirahat pukul 12.00-13.00. Tutup hari minggu dan hari-hari besar.
Alhamdulillah, saat liburan kemarin setelah menemukan perpustakaan ini saya benar-benar mendapatkan alternative mengisi liburan yang menarik untuk kedua anak saya; baik untuk si sulung yang sedang senang-senangnya membaca buku sains dan sulap maupun  untuk adiknya yang baru tahap senang melihat gambar dan mengeja huruf. Mereka tampak betah menghabiskan waktu di perpustakaan bahkan tidak segan-segan menagih kembali kunjungan ke perpustakaan untuk sekedar membaca atau meminjam buku. Tentu saja sebagai ibu, saya pun senang karena berkunjung ke perpustakaan sangat terasa manfaatnya. Selain mengisi liburan dengan aktivitas yang bermanfaat, hemat, murah dan menyenangkan juga semakin mengenalkan anak pada dunia perbukuan, syukur-syukur meningkatkan minat bacanya.
Bagi anda warga Bandung, mari sempatkan berkunjung ke Perpustakaan Daerah Jawa Barat ini. Sangat recommended.

Minggu, 05 Januari 2014

Jelajah Hongkong & Singapore, Duo Metropolitan nan Apik



Hongkong dan Singapore bukanlah kota yang asing bagi sebagian masyarakat Indonesia. Meski demikian, mengeksplorasi Hongkong dan Singapore  tidak pernah membosankan. Pemandangan apik sepanjang jalan sungguh memanjakan mata. Banyak kesamaan nuansa yang tertangkap dari kedua kota. Lalu lintas yang teratur, taman-taman kota yang  rindang,  bersih dan terawat, trotoar yang luas dan jangan lupa pula gemerlap  shopping center  yang seolah berlomba menawarkan discount .


Wuaa....siapa yang ga sirik ya..punya trotoar seluas dan senyaman ini... Mudah2an kelak di Indonesia juga begitu


Hongkong dan Singapore  memiliki beberapa kesamaan. Salah satunya  adalah latar belakang sejarah sebagai  sesama jajahan Inggris, membuat pengaruh kolonialisme Inggris masih terasa. Terutama dalam  bidang ekonomi dan pemerintahan.  Dari segi  demografi,  mayoritas penduduk Hongkong dan Singapore  dari etnis Tionghoa meski di Singapore, etnis melayu dan India cukup mewarnai.  Sementara sisi  pertumbuhan ekonomi  yang amat   pesat membuat kedua kota ini sama-sama bergerak dinamis  seiring dengan laju pembangunan yang semarak diseluruh penjuru kota.
Ada beberapa pemandangan khas yang mirip saat menyusuri lalu lintas  kedua kota. Taman-taman kota yang cantik dan teduh sungguh menggoda untuk sekedar duduk melepas lelah. Tidak mengherankan karena kedua kota ini mengalokasikan area nature reserves yang cukup memadai, menunjukkan concern dan komitmen pemerintah terhadap kenyamanan warga kota.
 Taman di  Hongkong



 Area hijau di Singapore-kejauhan tampak lapangan olahraga suatu sekolah- asyiiknyaa...

Tak hanya taman-taman cantik,  di lalu lintas kota, ada pemandangan yang tak kalah menarik. Tampak beberapa bus bertingkat dengan disain  dan warna-warni cantik terlihat  berlalu lalang.  

Bus Kota di Hongkong

Foto bus buat turis jalan2 di Singapore -sptnya Hippo City Sightseeing *sayangnya cuma dapat memandang dari kejauhan*



Selain bus, transportasi yang menjadi idola, baik di Hongkong maupun Singapore adalah kereta api listrik yang merupakan angkutan massal. Di Singapore dikenal dengan istilah MRT sementara di Hongkong istilahnya MTR. Sedikit mirip, bukan? Pengoperasian kedua transportasi massal ini juga hampir serupa. Yang jelas dengan adanya MRT maupun MTR ini sangat membantu warga kedua kota tersebut untuk bepergian dengan mudah, cepat, aman dan murah.
Menunggu MRT di SG



Berkunjung ke Singapore tentu tak lengkap apabila tidak mampir ke Orchad Road. Trotoar yang lebar, lapang dan nyaman  dengan jajaran megah shopping centre  Lucky Plaza dan Takashimaya di sisi kanan dan kiri.  Melongok tas-tas branded keluaran  terbaru  di etalase sungguh menggiurkan, namun harganya cukup “wow”. Rasanya cukup puas  meski hanya berwindow shopping saja.  Alternative belanja lain di Singapore terhitung banyak seperti Bugis Street, China town atau Mustafa Shopping Centre. Untuk Mustafa Shopping Centre, meski kategori barang yang dijual lumayan lengkap namun pilihan dan  variasi barangnya rasanya tak jauh berbeda dengan di tanah air. Untuk membeli coklat  sekedar oleh-oleh untuk keluarga di tanah air, Mustofa  cukup recommended. Sementara di China town, pilihan untuk membeli oleh-oleh lebih beragam dengan harga murah meriah.
Mejeng di Chinatown

Untuk tempat belanja, Hongkong menawarkan pilihan yang lebih beragam dan harga yang lebih murah.  Banyak sekali tempat belanja menarik di sini seperti Tsim Sha Tsui, Ladies market,  atau Temple Street market. Untuk membei oleh-oleh yang murah meriah Ladies Market cukup recommended. Ladies Market merupakan jajaran kios-kios yang didirikan di sekitar daerah Mangkook. Meski namanya Ladies Market, namun tidak semua barang yang dijajakan hanya ditujukan untuk memenuhi keperluan perempuan. Kebanyakan memang berkisar pada produk tas, sepatu, aksesories, gantungan kunci  lucu, sampai pada souvenir khas daerah setempat yang  unik. Perlu diingat apabila hendak membeli anda harus tega menawar barang dan teliti terhadap kondisi barang.  Oya, jangan coba-coba menawar barang apabila kita tidak berniat membelinya. 

Meski mayoritas penduduknya berasal dari etnik Tionghoa, namun banyak juga warga muslim yang berdiam di kedua kota. Di Hongkong, para buruh migrant Indonesia (BMI) turut berkontribusi pada  pesatnya perkembangan Islam di negara tersebut. Namun  ketika berkesempatan berkunjung ke masjid Ammar di Hongkong, saya melihat sejumlah warga asli yang sudah berusia lanjut sedang menunaikan ibadah di masjid tersebut. Sementara di Singapore, terdapat warga etnis Melayu yang muslim.
 Masjid dekat Mustafa Center


Hongkong maupun Singapore menawarkan beragam tempat wisata yang seru. Dari sekian tempat wisata, sebenarnya masing-masing kota memiliki icon yang wajib dikunjungi apabila anda bertandang ke kota ini. Di Hongkong, Star Avanue menjadi tempat yang wajib dikunjungi apabila berkesempatan berkunjung kesana. Di Star Avanue terdapat jejak-jejak cap tangan selebriti Mandarin serta patung Bruce Lee yang sedang beraksi dengan gaya khasnya. Sementara di Singapore, Merlion Park dengan patung Merlionnya merupakan tempat tujuan setiap wisatawan yang beranjangsana ke Singapore.
Star`Avanue, HK



 Merlion Park, SG


Lelah menjelajah kedua kota ini, ada  berbagai kuliner yang siap tersedia dengan rasa yang maknyus. Selagi berkunjung ke Hongkong, sajian berupa dimsum merupakan menu yang menarik untuk dicoba. Tentu dengan memastikan kehalalannya terlebih dahulu.  Berbagai dimsum dengan citarasa manis maupun gurih sangat menggugah selera. Di Singapore, variasi kuliner  tak kalah  lezatnya. Beragam masakan  dengan sentuhan citarasa  China, India dan Melayu tersaji lengkap. 

 Srlupp... menu ala India di sebuah rumah makan di SG



Dimsum ala HK