Suasana kehidupan Madinah yang
tenang ternyata menyimpan banyak cerita tentang warga Indonesia yang berjuang mencari penghidupan disana. Untuk saya, menyaksikan lika-liku
kehidupan mereka di Madinah adalah menyaksikan satu potret tentang realitas hidup. Untuk
sebagian orang, hidup memang tak pernah lepas dari perjuangan. Dan itulah yang
saya lihat di mata TKI/TKW yang saya jumpai disana.
Pertama kali datang, saya sering
disangka TKW atau khadimat yang sedang bekerja. Sekalipun sudah menggendong-gendong
si sulung sekalipun atau sengaja pasang ekspresi manis tak berdosa. Maklumlah
mungkin tampilan seadanya ;D Memakai abaya pun model yang sangat sederhana, jauh
dari gaya. Dari banyak cerita, ternyata hal itu bukan sesuatu yang aneh untuk
warga Indonesia berkunjung ke tanah suci
selain untuk maksud ibadah haji/umroh. Warga
Indonesia yang bekerja disana memang jumlahnya cukup besar untuk sector informal
seperti rumah tangga. Maka tak heran kalau profesi khadimat cukup populer bagi
warga Indonesia. Untuk mereka, Saudi bagaikan tanah yang menjanjikan harapan
dan impian. Harapan yang tak mereka dapatkan di tanah air.
Ya, siapa yang tak ingin. Bisa
mendulang riyal sambil berkesempatan menunaikan ibadah haji/umroh. Meski harus
jauh dari keluarga. Setidaknya ada harapan yang dijemput daripada menunggu sesuatu
yang tak pasti di tanah air. Meski kenyataannya tak sedikit rintangan yang
dihadapi. Baik bagi pekerja professional, namun terutama sekali bagi para pekerja dan pendatang
illegal.
Seringkali rasa tak nyaman
menyelinap di hati bila menyaksikan polisi kerajaan Saudi yang sedang sibuk
berjaga-jaga atau melakukan razia. Baik di jalan-jalan, sekitar masjid Nabawi/Masjidil
Haram apalagi di checkpoint pintu masuk Mekah. Tampang bapak polisi yang dingin begitu tak
bersahabat. Apalagi untuk para pekerja illegal yang seringkali harus dalam kondisi
waspada terus menerus. Oleh karena itu, iqoma hampir tak pernah lepas dari tas saya. Untuk berjaga-jaga apabila ada
razia. Oya Iqoma itu seperti KITAS ya, bukti identitas resmi kita sebagai WNA
di Saudi. Jadi apabila ada razia, cukup tunjukkan iqoma ini.
Tapi sekali waktu, saya pernah
juga lalai. Waktu itu kebetulan ada sahabat mengajak saya berkeliling kota
menghabiskan malam jumat di Madinah (a.k.a malam minggunya Saudi) sambil
mencari-cari rumah untuk tempat tinggal baru keluarganya. Keliling kota
bukannya seperti (saya) di Indonesia ya.. paling banter jam 9 malam sudah
kembali ke kasur- tidur *anak baik* Keliling kota di Madinah ini baru mantap
kalau sudah jauh lepas isya. Sekitar jam 11 sampai jam 1 dinihari. Waktu itu
kebetulan suami sedang jaga malam. Jadilah saya meminta izin sekalian menginap
di rumah sahabat saya itu. Dan asyiklah kami berputar-putar keliling Madinah mengunjungi beberapa tempat yang jadi
pusat keramaian kota. Bahkan sempat bermacet-macet ria segala. Saya pun tenang saja menikmati suasana sambil
menggendong si sulung. Esoknya ketika kembali ke rumah dan sedang beres-beres,
saya baru sadar iqoma saya tertinggal di rumah. Hadeuhhh… untung tidak ada
razia kala itu. Kalau ada razia, bisa dipastikan saya suami bakalan repot
berurusan dengan kepolisian setempat untuk menjemput istrinya kembali.
Saking banyaknya pekerja di sector informal dari Indonesia,
warga Saudi tampaknya sudah terbiasa menyamaratakan
bahwa semua pekerja Indonesia di Saudi adalah para supir dan pembantu atau
penjaga toko dan petugas kebersihan. Maka tampak tak lazim bagi mereka ketika
ada beberapa pekerja professional dari Indonesia yang juga mencari penghidupan
disini. Satu kali bahkan seorang teman yang membantu mengurus dokumen
penting milik suami -yang sempat hilang-
mendapati rasa heran dan tidak percaya dari seorang
petugas warga Saudi saat mengisi keterangan bahwa pekerjaan suami adalah dokter. Mungkin mereka tak biasa mendapatkan ada warga Indonesia dengan latar belakang pendidikan dan profesional seperti dokter yang bekerja di Saudi. Namun hal ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kondisi yang terpaksa harus dihadapi oleh sejumlah pekerja ilegal saudara sebangsa setanah air.
(Bersambung)