Sabtu, 07 Desember 2013

SATU HARI DI BUKITTINGGI, MENELUSURI PEMANDANGAN NAGARI ELOK DAN JEJAK SEJARAH BUNG HATTA



Tulisan saya yang berkisah tentang jalan-jalan ke Bukittinggi dan dimuat di rubrik Plesir majalah Sekar.  

Menikmati pesona Bukittinggi selama sehari-semalam, tidaklah cukup. Namun dalam waktu yang sangat singkat itu, saya segera jatuh cinta pada kota berhawa sejuk yang terletak sekitar 900 meter diatas permukaan laut tersebut. Tak hanya dimanjakan pemandangan keindahan alam, Bukittinggi juga kaya akan budaya dan jejak sejarah masa lampau. Jangan lupakan pula sajian kulinernya yang enak dipandang dan sedap menggoyang lidah. Kunjungan ke Bukittinggi memang wisata yang memanjakan seluruh pancaindera dan meninggalkan kesan yang tidak mudah hilang.
Hari sudah sore ketika saya meluncur meninggalkan kota Padang menuju Bukittinggi. Perjalanan Padang-Bukittinggi melewati kota Padang Panjang selama 2 jam nyaris tidak terasa karena cantiknya pemandangan di sisi jalan. Bukit dan tebing menghijau diantarai kecipak sungai berair jernih yang mengalir deras disela-sela batu besar.  Uniknya, sungai itu mengalir tepat di sisi jalan raya, membuat saya mau tak mau berhenti sejenak  untuk menikmati keindahan sungai dan pemandangan alam sekitar.  Tak lupa saya mampir di air terjun lembah Anai yang berada tepat disisi jalan. Cukup mengeluarkan uang sebesar tiga ribu rupiah perorang, kita sudah dapat menikmati sejuknya air terjun yang tingginya sekitar 60 meter dan berair jernih ini.  Saya pun menyempatkan singgah di Warung Sate Padang Mak Sukur di tepi jalan kota Padang Panjang. Seporsi sate Padang seharga delapan belas ribu rupiah dan segelas teh susu telor ternyata cukup mengobati lapar bahkan hingga malam menjelang.  Tak lupa saya sempatkan juga mampir di kios kecil di sisi jalan untuk mencicipi Sala Lauak, cemilan gurih yang terbuat dari  campuran tepung  beras dan ikan. 

Senja sudah temaram ketika saya memasuki kota Bukittinggi. Pemandangan Jam Gadang segera menyambut saya. Kabut tipis yang berarak turun menyelimuti puncak jam yang berdiri tegak sama sekali tak menyurutkan keramaian di sekitarnya. Tak jauh dari situ, tampak para pedagang meramaikan malam. Tak hanya penjual souvenir dan kripik Sanjay, beberapa penjual mukena dan kerudung tampak menggelar lapaknya malam itu. Sepotong mukena border cantik buatan Bukittinggi yang tersohor itu, segera beralih ke tangan saya. Oya, jangan sungkan untuk menawar apabila dirasa harga terlalu tinggi.
Cuaca yang semakin dingin mengingatkan saya untuk segera beranjak dan mencari tempat menginap malam ini, sekedar meluruskan badan yang penat. Deretan penginapan di kawasan Teuku Umar menjadi pilihan saya malam itu. Harganya murah-meriah, cukup terjangkau di kantong. Tak perlu merogoh kantong terlalu dalam, dengan uang sekitar 175 ribu (hari kerja) fasilitas kamar sederhana dengan double bed dilengkapi air mandi hangat dan TV berukuran 14 inci sudah bisa diperoleh. Tempat ini cukup strategis dan memungkinkan saya berjalan kaki untuk menuju beberapa kawasan wisata selama di Bukittinggi. 

Melihat Ngarai Sianok dari Janjang Koto Gadang
Pagi hari, saya dibangunkan oleh adzan dan ceramah subuh di masjid dekat penginapan. Suasana religius yang kental mewarnai pagi di Bukittinggi. Tanpa membuang waktu, setelah menunaikan ibadah sholat subuh, saya segera beranjak menuju Janjang Koto Gadang atau dikenal dengan Great Wall yang baru diresmikan 26 Januari 2013 lalu untuk menikmati pemandangan Ngarai Sianok.  Ngarai Sianok bisa dinikmati melalui berbagai sisi. Salah satunya adalah melalui Janjang Koto Gadang yang menghubungkan Koto Gadang dengan Ngarai Sianok   melalui jalur tangga sepanjang  kurang lebih satu kilometer.


Tangga yang mendaki, bentuk tembok dan susunan batu bata segera mengingatkan saya pada Great Wall atau Tembok Raksasanya  China. Tampak bangunan tembok  masih baru yang sayangnya, tak luput dari corat-coret tangan jahil. Udara pagi yang sejuk serta halimun yang menempel di dedaunan  menyambut saya pagi itu. Hamparan sawah yang menghijau dilatarbelakangi pebukitan sungguh melenakan mata. Sebuah jembatan kayu dengan muatan maksimal 10 orang  harus saya lalui  untuk mencapai Great Wall. Undakan tangga yang  curam cukup menguras keringat, namun rasa penasaran akan keindahan view dari puncak tangga mengalahkan segalanya. Tiba di puncak, tampak di kejauhan  bentangan lembah   persawahan dengan kabut tipis yang menggantung. Sementara di seberang samar-samar terlihat pagar taman Panorama yang merupakan salah satu point of view dalam memandang keindahan Ngarai Sianok. 
Puas memandangi dan meresapi keindahan alam sambil beristirahat melepas lelah, saya memutuskan melanjutkan perjalanan ke arah Nagari atau desa Koto Gadang. Seruas jalan aspal yang mulus  diselingi beberapa pohon coklat, saya tempuh sambil berjalan kaki. Sembari  berjalan, saya pandangi beberapa rumah penduduk di sisi jalan yang masih kental akan sentuhan tradisi, mengingatkan saya akan kisah yang saya pernah baca tentang suasana  perkampungan Minang. Jalan yang tidak terlalu lebar dengan rumah-rumah  berjendela besar memungkinkan para penduduk  saling bertukar sapa. 

Pada beberapa rumah saya mendapati tulisan yang menawarkan menu masakan gulai  itiak lado Ijau yang terkenal sebagai makanan lezat khas daerah setempat. Hanya sayangnya, hari masih sangat pagi tak memungkinkan saya untuk singgah dan mencicipinya.  Tak lama berjalan, saya jumpai sepetak pasar kaget tempat penduduk berjualan dan membeli kebutuhan sehari-hari. Perut lapar dan tenaga yang terkuras  segera terobati dengan satu porsi ketupat sayur dan pical dengan harga murah-meriah, cukup lima ribu untuk ketupat sayur dan enam ribu untuk pical plus ketupat. Ketupat yang padat disiram  kuah sayur dan kacang serta ditaburi kerupuk merah segera menuntaskan sarapan saya yang nikmat pagi itu.
Lepas dari pasar kaget, saya segera menyetop angkot untuk kembali menuju pusat kota Bukittinggi.  Sepanjang perjalanan melewati Nagari Koto Gadang adalah  pemandangan yang elok. Areal pesawahan yang menghijau segar sekali lagi memanjakan  mata saya. Sesekali tampak bangunan surau, masjid desa maupun rumah adat yang megah. Sebuah bangunan perpustakaan desa menjadi symbol betapa penduduk desa adalah insan cerdas yang haus akan ilmu. Perpustakaan itu seolah menjadi saksi bisu yang bercerita tentang jejak perantau Koto Gadang yang menjadi kaum terpelajar dimana-mana.

Taman Panorama, Lubang Jepang dan Kebun Binatang
Saya tiba di  Taman panorama setelah berganti angkot sebanyak dua kali.  Cukup membayar lima ribu rupiah untuk memasuki taman Panorama, sudah termasuk tiket untuk memasuki Gua Jepang. Lagi-lagi view Ngarai Sianok segera memanjakan mata saya tatkala memandangnya dari Panorama.  Beberapa ekor monyet tampak asyik bercengkrama di dalam taman. Pemandangan Ngarai Sianok dari Taman Panorama ini lebih sempurna karena dapat melihat pemandangan lembah yang memanjang dan berkelok, yang sebelumnya tidak tampak dari Great Wall. Tampak bentangan Ngarai Sianok sejauh 15 km  dengan lebar sekitar 200 meter dan dalam 100 meter.  Di bagian dasarnya tampak sungai Sianok  yang berkelok mengalir sampai di kejauhan. Dari taman panorama ini pula kita dapat memasuki Gua atau lubang Jepang dengan jalan masuk  tangga yang cukup curam.
Setelah puas menikmati pemandangan Ngarai Sianok dari Taman Panorama, kami segera bergegas menuju Benteng Fort De Kock yang terletak di dalam Kebun Binatang Kinantan. Kontur daerah Bukittinggi yang naik-turun dan panas matahari yang mulai menyengat  di pagi menjelang siang itu membuat  langkah saya mulai terasa berat. Akan tetapi dekatnya jarak antar tempat wisata yang ingin saya kunjungi, membuat saya tetap bersemangat. Sangat disarankan memakai sepatu dan pakaian yang nyaman apabila ingin berkeliling ke beberapa area wisata di Bukittinggi sambil berjalan kaki ala backpacker.

Cukup membayar 10 ribu kita dapat mengunjungi area Benteng Fort De Kock dan Rumah Adat Baanjuang yang termasuk dalam areal kebun binatang. Dari arah benteng Fort De Kock untuk menuju rumah adat Baanjuang, saya harus melalui jembatan Limpapeh yang terletak tepat di atas jalan yang cukup ramai di Bukittinggi. Untuk memasuki rumah adat Baanjuang, hanya perlu membayar sebesar dua ribu rupiah, selanjutnya saya dapat menyaksikan beragam peninggalan budaya Minang yang tersimpan di rumah adat ini. Mulai dari perhiasan, alat masak, peralatan bermain sampai miniature rumah maupun pakaian adat tertata rapi disini. Tersedia juga pelaminan pengantin Minang  yang cantik. Kita bisa berfoto ala pengantin Minang dengan membayar lima puluh ribu rupiah untuk mendapat 3 lembar foto cantik sebagai kenang-kenangan.
Keluar dari kebun binatang, tak lupa saya sempatkan makan siang di Benteng Family Restaurant yang konon merupakan asal muasal tersedianya menu ayam pop. Tak perlu khawatir, meski di plangnya tercantum spesifik untuk masakan ayam pop dan ikan bakar, pada kenyataannya menu masakan padang lainnya juga disajikan disini. Harga nasi plus ayam pop cukup bersaing, yaitu sekitar enam belas ribu rupiah saja.

Rumah Kelahiran Bung Hatta
Tujuan saya siang ini untuk mengakhiri kunjungan di Bukittinggi adalah  Istana Bung Hatta dan rumah kelahiran Bung Hatta. Hanya saja, kami hanya dapat memandangi Istana Bung Hatta dari kejauhan sebab istana tersebut tidak menerima kunjungan. Sebaliknya, rumah kelahiran Bung Hatta terbuka untuk umum. Pengunjung diperbolehkan masuk dengan gratis dan melihat-lihat kondisi rumah bersejarah tersebut.  Selama beberapa waktu berikutnya, kita seolah diajak kembali ke masa silam untuk menelusuri jejak-jejak sejarah kehidupan Bung Hatta. Tatanan ruangan yang tidak banyak berubah  dengan furniture antik serta jajaran foto di dinding seolah menjadi saksi bisu yang menceritakan kisah-kisah bersejarah dari tokoh proklamator Indonesia itu.
Rumah kelahiran Bung Hatta terdiri dari beberapa ruangan. Paling depan di sisi kiri pintu masuk adalah ruang baca Bung Hatta. Ruangan yang sangat sederhana, terdiri dari sebuah tempat tidur dan sebuah lemari kaca berisi buku-buku. Namun dibalik kesederhanaan ruangan itu, tersimpan semangat belajar yang tak kunjung padam.  Masuk ke dalam rumah di lantai bawah,  terdapat beberapa kamar di sisi kanan dan kiri serta ruang duduk di tengah kamar. Di lantai dualah terdapat kamar yang merupakan tempat kelahiran Bung Hatta.  Sementara di bagian belakang rumah terdapat lumbung padi, dapur, kamar mandi, bendi serta kamar bujang yang merupakan tempat diletakkannya sepeda yang sering digunakan Bung Hatta. Ruang makan terdapat disisi kiri rumah dekat tangga yang menuju ke lantai dua. Meski ruang makan tidak terlalu luas namun terlihat nyaman, menyiratkan kehangatan dari sang pemiliki rumah.

 Lepas Dhuhur, dengan enggan saya beranjak meninggalkan Bukittinggi, sembari tak lupa membawa berjuta kisah. Kisah tentang nagari elok yang keindahannya sungguh mempesona. Kisah tentang semangat belajar rakyatnya serta jejak-jejak sejarah kaumnya yang patut menjadi teladan bagi generasi selanjutnya.

4 komentar:

  1. nice...nice... bisa sdikit ngobatin kerinduan saya utk pergi ke kota ituu...

    BalasHapus
  2. bukittinggi bukan sebagai kota wisata uni tetapi kota bersejarah juga

    BalasHapus
  3. Bukittinggi bukan saja sebagai kota wisata mbak tetapi sejarah juga

    BalasHapus