Tulisan
saya yang berkisah tentang jalan-jalan ke Bukittinggi dan dimuat di
rubrik Plesir majalah Sekar.
Menikmati pesona Bukittinggi
selama sehari-semalam, tidaklah cukup. Namun dalam waktu yang sangat singkat
itu, saya segera jatuh cinta pada kota berhawa sejuk yang terletak sekitar 900
meter diatas permukaan laut tersebut. Tak hanya dimanjakan pemandangan keindahan
alam, Bukittinggi juga kaya akan budaya dan jejak sejarah masa lampau. Jangan
lupakan pula sajian kulinernya yang enak dipandang dan sedap menggoyang lidah.
Kunjungan ke Bukittinggi memang wisata yang memanjakan seluruh pancaindera dan
meninggalkan kesan yang tidak mudah hilang.
Hari sudah sore ketika saya
meluncur meninggalkan kota Padang menuju Bukittinggi. Perjalanan Padang-Bukittinggi
melewati kota Padang Panjang selama 2 jam nyaris tidak terasa karena cantiknya
pemandangan di sisi jalan. Bukit dan tebing menghijau diantarai kecipak sungai
berair jernih yang mengalir deras disela-sela batu besar. Uniknya, sungai itu mengalir tepat di sisi
jalan raya, membuat saya mau tak mau berhenti sejenak untuk menikmati keindahan sungai dan pemandangan
alam sekitar. Tak lupa saya mampir di air
terjun lembah Anai yang berada tepat disisi jalan. Cukup mengeluarkan uang sebesar
tiga ribu rupiah perorang, kita sudah dapat menikmati sejuknya air terjun yang
tingginya sekitar 60 meter dan berair jernih ini. Saya pun menyempatkan singgah di Warung Sate Padang
Mak Sukur di tepi jalan kota Padang Panjang. Seporsi sate Padang seharga
delapan belas ribu rupiah dan segelas teh susu telor ternyata cukup mengobati
lapar bahkan hingga malam menjelang. Tak
lupa saya sempatkan juga mampir di kios kecil di sisi jalan untuk mencicipi
Sala Lauak, cemilan gurih yang terbuat dari
campuran tepung beras dan ikan.
Senja sudah temaram ketika saya memasuki
kota Bukittinggi. Pemandangan Jam Gadang segera menyambut saya. Kabut tipis
yang berarak turun menyelimuti puncak jam yang berdiri tegak sama sekali tak
menyurutkan keramaian di sekitarnya. Tak jauh dari situ, tampak para pedagang
meramaikan malam. Tak hanya penjual souvenir dan kripik Sanjay, beberapa
penjual mukena dan kerudung tampak menggelar lapaknya malam itu. Sepotong
mukena border cantik buatan Bukittinggi yang tersohor itu, segera beralih ke
tangan saya. Oya, jangan sungkan untuk menawar apabila dirasa harga terlalu
tinggi.
Cuaca yang semakin dingin
mengingatkan saya untuk segera beranjak dan mencari tempat menginap malam ini,
sekedar meluruskan badan yang penat. Deretan penginapan di kawasan Teuku Umar menjadi
pilihan saya malam itu. Harganya murah-meriah, cukup terjangkau di kantong. Tak
perlu merogoh kantong terlalu dalam, dengan uang sekitar 175 ribu (hari kerja) fasilitas
kamar sederhana dengan double bed
dilengkapi air mandi hangat dan TV berukuran 14 inci sudah bisa diperoleh.
Tempat ini cukup strategis dan memungkinkan saya berjalan kaki untuk menuju
beberapa kawasan wisata selama di Bukittinggi.
Melihat Ngarai Sianok dari Janjang Koto Gadang
Pagi hari, saya dibangunkan oleh
adzan dan ceramah subuh di masjid dekat penginapan. Suasana religius yang
kental mewarnai pagi di Bukittinggi. Tanpa membuang waktu, setelah menunaikan
ibadah sholat subuh, saya segera beranjak menuju Janjang Koto Gadang atau
dikenal dengan Great Wall yang baru diresmikan 26 Januari 2013 lalu untuk
menikmati pemandangan Ngarai Sianok. Ngarai Sianok bisa dinikmati melalui berbagai
sisi. Salah satunya adalah melalui Janjang Koto Gadang yang menghubungkan Koto
Gadang dengan Ngarai Sianok melalui
jalur tangga sepanjang kurang lebih satu
kilometer.
Tangga yang mendaki, bentuk tembok
dan susunan batu bata segera mengingatkan saya pada Great Wall atau Tembok
Raksasanya China. Tampak bangunan
tembok masih baru yang sayangnya, tak
luput dari corat-coret tangan jahil. Udara pagi yang sejuk serta halimun yang
menempel di dedaunan menyambut saya pagi
itu. Hamparan sawah yang menghijau dilatarbelakangi pebukitan sungguh melenakan
mata. Sebuah jembatan kayu dengan muatan maksimal 10 orang harus saya lalui untuk mencapai Great Wall. Undakan tangga
yang curam cukup menguras keringat,
namun rasa penasaran akan keindahan view
dari puncak tangga mengalahkan segalanya. Tiba di puncak, tampak di kejauhan bentangan lembah persawahan dengan kabut tipis yang menggantung.
Sementara di seberang samar-samar terlihat pagar taman Panorama yang merupakan
salah satu point of view dalam
memandang keindahan Ngarai Sianok.
Puas memandangi dan meresapi
keindahan alam sambil beristirahat melepas lelah, saya memutuskan melanjutkan
perjalanan ke arah Nagari atau desa Koto Gadang. Seruas jalan aspal yang mulus diselingi beberapa pohon coklat, saya tempuh
sambil berjalan kaki. Sembari berjalan,
saya pandangi beberapa rumah penduduk di sisi jalan yang masih kental akan
sentuhan tradisi, mengingatkan saya akan kisah yang saya pernah baca tentang
suasana perkampungan Minang. Jalan yang
tidak terlalu lebar dengan rumah-rumah
berjendela besar memungkinkan para penduduk saling bertukar sapa.
Pada beberapa rumah saya
mendapati tulisan yang menawarkan menu masakan gulai itiak lado Ijau yang terkenal sebagai makanan lezat
khas daerah setempat. Hanya sayangnya, hari masih sangat pagi tak memungkinkan
saya untuk singgah dan mencicipinya. Tak
lama berjalan, saya jumpai sepetak pasar kaget tempat penduduk berjualan dan
membeli kebutuhan sehari-hari. Perut lapar dan tenaga yang terkuras segera terobati dengan satu porsi ketupat
sayur dan pical dengan harga murah-meriah, cukup lima ribu untuk ketupat sayur
dan enam ribu untuk pical plus ketupat. Ketupat yang padat disiram kuah sayur dan kacang serta ditaburi kerupuk
merah segera menuntaskan sarapan saya yang nikmat pagi itu.
Lepas dari pasar kaget, saya
segera menyetop angkot untuk kembali menuju pusat kota Bukittinggi. Sepanjang perjalanan melewati Nagari Koto
Gadang adalah pemandangan yang elok.
Areal pesawahan yang menghijau segar sekali lagi memanjakan mata saya. Sesekali tampak bangunan surau,
masjid desa maupun rumah adat yang megah. Sebuah bangunan perpustakaan desa
menjadi symbol betapa penduduk desa adalah insan cerdas yang haus akan ilmu. Perpustakaan
itu seolah menjadi saksi bisu yang bercerita tentang jejak perantau Koto Gadang
yang menjadi kaum terpelajar dimana-mana.
Taman Panorama, Lubang Jepang dan Kebun Binatang
Saya tiba di Taman panorama setelah berganti angkot
sebanyak dua kali. Cukup membayar lima
ribu rupiah untuk memasuki taman Panorama, sudah termasuk tiket untuk memasuki
Gua Jepang. Lagi-lagi view Ngarai
Sianok segera memanjakan mata saya tatkala memandangnya dari Panorama. Beberapa ekor monyet tampak asyik bercengkrama
di dalam taman. Pemandangan Ngarai Sianok dari Taman Panorama ini lebih
sempurna karena dapat melihat pemandangan lembah yang memanjang dan berkelok,
yang sebelumnya tidak tampak dari Great Wall. Tampak bentangan Ngarai Sianok
sejauh 15 km dengan lebar sekitar 200
meter dan dalam 100 meter. Di bagian
dasarnya tampak sungai Sianok yang berkelok
mengalir sampai di kejauhan. Dari taman panorama ini pula kita dapat memasuki
Gua atau lubang Jepang dengan jalan masuk tangga yang cukup curam.
Setelah puas menikmati pemandangan
Ngarai Sianok dari Taman Panorama, kami segera bergegas menuju Benteng Fort De
Kock yang terletak di dalam Kebun Binatang Kinantan. Kontur daerah Bukittinggi
yang naik-turun dan panas matahari yang mulai menyengat di pagi menjelang siang itu membuat langkah saya mulai terasa berat. Akan tetapi
dekatnya jarak antar tempat wisata yang ingin saya kunjungi, membuat saya tetap
bersemangat. Sangat disarankan memakai sepatu dan pakaian yang nyaman apabila
ingin berkeliling ke beberapa area wisata di Bukittinggi sambil berjalan kaki
ala backpacker.
Cukup membayar 10 ribu kita dapat
mengunjungi area Benteng Fort De Kock dan Rumah Adat Baanjuang yang termasuk
dalam areal kebun binatang. Dari arah benteng Fort De Kock untuk menuju rumah
adat Baanjuang, saya harus melalui jembatan Limpapeh yang terletak tepat di
atas jalan yang cukup ramai di Bukittinggi. Untuk memasuki rumah adat
Baanjuang, hanya perlu membayar sebesar dua ribu rupiah, selanjutnya saya dapat
menyaksikan beragam peninggalan budaya Minang yang tersimpan di rumah adat ini.
Mulai dari perhiasan, alat masak, peralatan bermain sampai miniature rumah
maupun pakaian adat tertata rapi disini. Tersedia juga pelaminan pengantin
Minang yang cantik. Kita bisa berfoto
ala pengantin Minang dengan membayar lima puluh ribu rupiah untuk mendapat 3
lembar foto cantik sebagai kenang-kenangan.
Keluar dari kebun binatang, tak
lupa saya sempatkan makan siang di Benteng Family Restaurant yang konon
merupakan asal muasal tersedianya menu ayam pop. Tak perlu khawatir, meski di
plangnya tercantum spesifik untuk masakan ayam pop dan ikan bakar, pada
kenyataannya menu masakan padang lainnya juga disajikan disini. Harga nasi plus
ayam pop cukup bersaing, yaitu sekitar enam belas ribu rupiah saja.
Rumah Kelahiran Bung Hatta
Tujuan saya siang ini untuk
mengakhiri kunjungan di Bukittinggi adalah
Istana Bung Hatta dan rumah kelahiran Bung Hatta. Hanya saja, kami hanya
dapat memandangi Istana Bung Hatta dari kejauhan sebab istana tersebut tidak
menerima kunjungan. Sebaliknya, rumah kelahiran Bung Hatta terbuka untuk umum.
Pengunjung diperbolehkan masuk dengan gratis dan melihat-lihat kondisi rumah
bersejarah tersebut. Selama beberapa
waktu berikutnya, kita seolah diajak kembali ke masa silam untuk menelusuri jejak-jejak
sejarah kehidupan Bung Hatta. Tatanan ruangan yang tidak banyak berubah dengan furniture antik serta jajaran foto di
dinding seolah menjadi saksi bisu yang menceritakan kisah-kisah bersejarah dari
tokoh proklamator Indonesia itu.
Rumah kelahiran Bung Hatta
terdiri dari beberapa ruangan. Paling depan di sisi kiri pintu masuk adalah
ruang baca Bung Hatta. Ruangan yang sangat sederhana, terdiri dari sebuah
tempat tidur dan sebuah lemari kaca berisi buku-buku. Namun dibalik kesederhanaan
ruangan itu, tersimpan semangat belajar yang tak kunjung padam. Masuk ke dalam rumah di lantai bawah, terdapat beberapa kamar di sisi kanan dan
kiri serta ruang duduk di tengah kamar. Di lantai dualah terdapat kamar yang
merupakan tempat kelahiran Bung Hatta. Sementara
di bagian belakang rumah terdapat lumbung padi, dapur, kamar mandi, bendi serta
kamar bujang yang merupakan tempat diletakkannya sepeda yang sering digunakan
Bung Hatta. Ruang makan terdapat disisi kiri rumah dekat tangga yang menuju ke
lantai dua. Meski ruang makan tidak terlalu luas namun terlihat nyaman,
menyiratkan kehangatan dari sang pemiliki rumah.
nice...nice... bisa sdikit ngobatin kerinduan saya utk pergi ke kota ituu...
BalasHapusbukittinggi bukan sebagai kota wisata uni tetapi kota bersejarah juga
BalasHapusBukittinggi bukan saja sebagai kota wisata mbak tetapi sejarah juga
BalasHapusOk... makasih sudah mampir
BalasHapus