Dulu, waktu SMP saya sering jealous saat melihat teman-teman memakai jam tangan branded ke sekolah. Merk-merk sw*tch, b***tton atau g**ss yang harganya-buat saya-selangit itu rasanya sesuatu banget. Almarhum Bapak memang membelikan jam tangan buat saya merk q**rtz tapi.. apalah artinya jika dibandingkan merk jam tangan teman-teman saya yang ngetop dan hitz banget. Pikiran kanak-kanak saya membatin, pasti keren kalau saya bisa punya jam tangan branded itu. Tapi untuk minta ke orangtua rasanya tidak tega. Insya Allah mereka mampu. Tapi buat apa juga? Kalau orangtua sudah memberikan jam tangan itu artinya menurut mereka itulah benda yang cocok buat saya dan sesuai kemampuan mereka. Jadilah saya terima nasib ditemani jam tangan q**rtz selama masa sekolah. Tentunya sambil memendam angan, kelak saya akan membeli jam tangan branded kalau sudah bekerja dan mampu cari uang sendiri. Sepertinya saya akan lebih bahagia kalau mendapati jam tangan mahal itu melingkari tangan saya.
Dan setelah saya punya uang sendiri dari hasil bekerja, apakah saya jadi membeli jam tangan branded itu? Tentu tidak hihi... Rasanya koq sayang ya.. sudah capai-capai bekerja banting tulang terus dibelikan benda semahal itu. Mending uangnya ditabung untuk biaya melanjutkan sekolah atau untuk keperluan tak terduga. Begitu pikir saya waktu itu. Jadilah sampai berhenti kerja dan akhirnya menikah saya masih setia dengan jam tangan lama. Ketika tinggal di Madinah situasi agak berbeda. Kebetulan beberapa jam tangan branded itu harganya lebih murah dibanding dengan harga di tanah air. Dan suami saya yang tahu banget "keinginan terpendam" istrinya๐ berinisiatif memberikan kado ultah kejutan berupa jam tangan merk t*ssot yang harganya lumayan mahal. Setelah itu beberapa jam tangan merk sw*tch juga saya koleksi, seiring perbaikan ekonomi keluarga kami. Tapi lalu... apakah saya betul-betul happy ketika akhirnya keinginan itu menjadi kenyataan. Happy sih.. tapi nggak bertahan lama.. hihi.. soalnya habis itu kasak-kusuk lihat model yang lebih baru.. pengen lagi.. seperti itu terus. Nggak ada habisnya. Kadang kalau sedang dipakai malah riweuh pas mau wudhu. Maklum saya orangnya suka lupaan kadang-kadang. Gawat juga kan kalau barang mahal itu hilang karena kelalaian saya.
Kemudian makin kesini, kebahagian ternyata semakin tidak terukur dengan benda. Hal itu saya rasakan justru ketika kondisi malah semakin memungkinkan untuk memenuhi keinginan duniawi (halah). Justru hal-hal kecil yang sekilas sepertinya biasa saja menjadi sesuatu yang membahagiakan buat saya.. seperti dibawakan makanan kesukaan oleh suami sebagai kejutan, memeluk si bungsu saya yang baru bangun tidur, bercanda dengan si tengah yang sotoy abis atau melihat si sulung yang mulai handal "menangani" adik-adiknya.. udah deh itu aja. Ada juga sih yang lain... tapi costnya juga jauuuh banget dibanding beli barang-barang branded nan mahal itu. Misalnya... bisa beli buku diskon abis-abisan di cuci gudangnya Gramedia.. Nah itu bahagia banget saya, karena bisa borong buku-buku bagus sekardus dengan harga yang murah banget. Atau ketika ada kabar naskah buku perdana saya mau diterbitkan. Udah itu aja.
Kalaupun ada kebahagiaan lain yang saya cita-citakan mungkin sangat simpel. Bisa me time duduk lama-lama di perpustakaan buat riset untuk calon buku baru atau melanjutkan hoby travelling lagi sepertinya akan jadi next target saya. Tapi sebagai emak-emak yang masih dibuntuti oleh batita dan sejumlah dedlen pekerjaan, saya hanya bisa bersabar sampai waktunya tiba... ealah malah curcol ๐๐. Tapi iya, kebahagiaan saya sederhana. Bagaimana dengan Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar