Kamis, 25 Mei 2017

Bahagia Itu Sederhana. Bahagianya Saya....

Dulu, waktu SMP saya sering jealous saat melihat teman-teman memakai jam tangan branded ke sekolah. Merk-merk sw*tch, b***tton atau g**ss yang harganya-buat saya-selangit itu rasanya sesuatu banget. Almarhum Bapak memang membelikan jam tangan buat saya merk q**rtz tapi.. apalah artinya jika dibandingkan merk jam tangan teman-teman saya yang ngetop dan hitz banget. Pikiran kanak-kanak saya membatin, pasti keren kalau saya bisa punya jam tangan branded itu. Tapi untuk minta ke orangtua rasanya tidak tega. Insya Allah mereka mampu. Tapi buat apa juga? Kalau orangtua sudah memberikan jam tangan itu artinya menurut mereka itulah benda yang cocok buat saya dan sesuai kemampuan mereka.   Jadilah saya terima nasib ditemani jam tangan q**rtz selama masa sekolah. Tentunya sambil memendam angan, kelak saya akan membeli jam tangan branded kalau sudah bekerja dan mampu cari uang sendiri. Sepertinya saya akan lebih bahagia kalau mendapati jam tangan mahal itu melingkari tangan saya.
Dan setelah saya punya uang sendiri dari hasil bekerja, apakah saya jadi membeli jam tangan branded itu?  Tentu tidak hihi... Rasanya koq sayang ya.. sudah capai-capai bekerja banting tulang terus dibelikan benda semahal itu. Mending uangnya ditabung untuk biaya melanjutkan sekolah atau untuk keperluan tak terduga. Begitu pikir saya waktu itu. Jadilah sampai berhenti kerja dan akhirnya menikah saya masih setia dengan jam tangan lama. Ketika tinggal di Madinah situasi agak berbeda. Kebetulan beberapa jam tangan branded itu harganya lebih murah dibanding dengan harga di tanah air. Dan suami saya yang tahu banget "keinginan terpendam" istrinya๐Ÿ˜† berinisiatif memberikan kado ultah kejutan berupa jam tangan merk t*ssot yang harganya lumayan mahal. Setelah itu beberapa jam tangan merk sw*tch juga saya koleksi, seiring perbaikan ekonomi keluarga kami. Tapi lalu... apakah saya betul-betul happy ketika akhirnya keinginan itu menjadi kenyataan. Happy sih.. tapi nggak bertahan lama.. hihi..  soalnya habis itu kasak-kusuk lihat model yang lebih baru.. pengen lagi.. seperti itu terus. Nggak ada habisnya. Kadang kalau sedang dipakai malah riweuh pas mau wudhu. Maklum saya orangnya suka lupaan kadang-kadang. Gawat juga kan kalau barang mahal itu hilang karena kelalaian saya.
Kemudian makin kesini, kebahagian ternyata semakin tidak terukur dengan benda. Hal itu saya rasakan justru ketika kondisi malah semakin memungkinkan untuk memenuhi keinginan duniawi (halah). Justru hal-hal kecil yang sekilas sepertinya biasa saja menjadi sesuatu yang membahagiakan buat saya.. seperti dibawakan makanan kesukaan oleh suami sebagai kejutan, memeluk si bungsu saya yang baru bangun tidur, bercanda dengan si tengah yang sotoy abis atau melihat si sulung yang mulai handal "menangani" adik-adiknya.. udah deh itu aja.  Ada juga sih yang lain... tapi costnya juga jauuuh banget dibanding beli barang-barang branded nan mahal itu. Misalnya... bisa beli buku diskon abis-abisan di cuci gudangnya Gramedia.. Nah itu bahagia banget saya, karena bisa borong buku-buku bagus sekardus dengan harga yang murah banget. Atau ketika ada kabar naskah buku perdana saya mau diterbitkan. Udah itu aja.
Kalaupun ada kebahagiaan lain yang saya cita-citakan mungkin sangat simpel. Bisa me time duduk lama-lama di perpustakaan buat riset untuk calon buku baru atau melanjutkan hoby travelling lagi sepertinya akan jadi next target saya. Tapi sebagai emak-emak yang masih dibuntuti oleh batita dan sejumlah dedlen pekerjaan,  saya hanya bisa bersabar sampai waktunya tiba... ealah malah curcol ๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚. Tapi iya, kebahagiaan saya sederhana. Bagaimana dengan Anda?




Rabu, 24 Mei 2017

Pilihan Karir (2)

Saya menemukan pengertian menarik tentang perbedaan bekerja dan berkarir. Menurut Isaacson  (1985)  bekerja mengacu pada  setiap kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa. Sedangkan  karir lebih menunjuk pada pekerjaan atau jabatan yang ditekuni dan diyakini sebagai panggilan hidup, yang meresapi seluruh alam pikiran dan perasaan seseorang serta mewarnai seluruh gaya hidupnya (Winkel, 1991). See?  Kita bisa melihat perbedaannya. Tapi proses berkarir tidak serta merta muncul begitu saja. Seseorang mungkin perlu untuk merasakan proses bekerja dahulu sebelum dia memutuskan bahwa itulah karir dia. Bisakah proses kerja ini dilewati? Bisa saja. Apabila dia sudah mengenali dirinya dengan baik, tahu apa yang menjadi kelebihan dan kekuranganya, tahu apa yang menjadi tujuan hidup dan passionnya. Singkatnya; "Ku tahu yang kumau" Tapi satu hal yang tidak bisa lepas dari masalah karir adalah Eksplorasi. Ya. Setiap orang bisa saja melalui proses yang panjang berganti-ganti pekerjaan berkali-kali sampai ia menemukan apa yang menjadi pilihan karirnya. Tapi ada pula orang yang hanya membutuhkan waktu singkat untuk paham apa yang menjadi panggilan hidupnya... apa yang menjadi passionnya. Tapi semuanya melalui proses eksplorasi. Seorang ahli ( Super, 1990) menyampaikan bahwa eksplorasi adalah upaya pencarian informasi yang dilakukan seseorang melalui berbagai sumber. Biasanya terjadi di tahapan remaja. Aktivitas mencari informasi ini memang sesuai dengan kebutuhan remaja yang haus akan informasi. Melalui proses eksplorasi ini mereka memperkaya informasi tentang pilihan kerja yang selanjutnya menjadi pilihan karir mereka. Proses ini tidak mudah karena sifat remaja yang banyak dipengaruhi peer group mereka. Fungsi orangtua dan guru akan sangat berperan besar disini dalam membimbing dan membantu mereka untuk mengenali potensi diri, mengetahui kekuatan dan kelemahan serta memberikan feedback yang bermanfaat untuk pengembangan diri mereka, termasuk berbagai informasi tentang bidang atau area minat yang bisa mereka masuki. Tentunya pendekatannya harus disesuaikan dengan karakteristik remaja yang enggan didoktrin. Pendekatan dengan berperan sebagai teman diskusi yang asyik memungkinkan remaja lebih nyaman untuk berkomunikasi. Pada akhirnya proses eksplorasi yang dilakukan diharapkan akan membantu remaja untuk tahu apa yang kumau, terlepas dari tekanan peer dan faktor lingkungan. Maka, kejadian bingung dan menyesal saat memilih jurusan yang keliru bisa diminimalisir.

Jumat, 19 Mei 2017

Pilihan Karir

Berkarir apakah sama dengan bekerja? Saya memaknakannya berbeda. Karir lebih dari sekedar bekerja karena karir sudah menyangkut passion. Ketika seseorang memutuskan berkarir di suatu bidang artinya ia sudah memutuskan untuk mendedikasikan waktu, tenaga dan fokusnya pada bidang tersebut. Artinya ia sudah menemukan bahwa dirinya bisa berarti dan bermanfaat saat berkarya di bidang tersebut. Bahkan bisa juga ia sudah menemukan tujuan hidupnya dengan berkarya di bidang tersebut. 
Buat saya, pilihan karir adalah hal yang kompleks karena berkaitan dengan peran sebagai istri dan ibu. Sejak kecil saya memang tidak bercita-cita untuk bekerja kantoran. Dalam bayangan saya, saya akan berkarir di rumah, mengetik di laptop atau mengerjakan sesuatu sambil mengawasi anak-anak. Hadir saat mereka membutuhkan. Sempat ngantor nine to five selama 2 tahun sebelum menikah. Bahkan setelah menikah pun saya sempat melalui beberapa tahapan rekrutmen di suatu BUMN dan seleksi akhir disebuah rumah sakit swasta di Bandung. Akan tetapi semua itu kalah oleh "panggilan" suami ke Madinah kala itu. Ketika kembali ke Indonesia saya memutuskan fokus pada cita-cita saya sedari kecil, bekerja di rumah dengan waktu fleksibel. Saat itu saya sudah punya si sulung. Rasanya tidak tega dan memang sulit sekali mencari pengasuh anak yang memenuhi syarat. Pilihan yang paling mungkin adalah melanjutkan kuliah, mengambil profesi sesuai pendidikan S1 saya. Dengan mengambil kuliah profesi, saya berharap akan lebih memiliki keluangan waktu untuk bekerja sambil mengasuh anak. Tidak perlu ditanya "babak belur"nya saya menjalani perkuliahan dengan status ibu dua anak yang masih balita. Apalagi kuliah di Psikologi yang sering disebut "berobat jalan" ;p Belum lagi masalah lain seperti biaya pendidikan. Adalah suami saya yang cukup "keukeuh" supaya saya melanjutkan pendidikan. Beliau pula yang membiayai seluruh pendidikan S2 dan profesi sampai selesai. Tadinya saya sempat berkeluh kesah. Rasanya tidak adil melihat teman-teman saya bisa full menjalankan peran sebagai ibu, santai2 di rumah, menemani anak bahkan melakukan perawatan ke salon dll, sementara saya berjibaku bolak balik ke kampus, berjam-jam menunggu dosen, pulang langsung pegang anak dan begadang bermalam-malam untuk mengerjakan tugas. Apalagi kalau besoknya ujian bersamaan dengan anak demam. Bisa tahan semalam dua malam tidak tidur :D Seiring berjalannya waktu, semua terlewati. Alhamdulillah ada support system yang memungkinkan semua terlaksana. Untuk saya itu adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah saya buat. Cita-cita saya saat ini bisa dibilang sudah tercapai. Saya bisa tetap berkarya menjalankan tanggung jawab profesi saya dan tidak meninggalkan tanggung jawab saya sebagai ibu. Beberapa pekerjaan mengharuskan saya hadir di tempat tapi dalam banyak hal saya bisa membawa pulang pekerjaan dan mengerjakannya di rumah. Saya bekerja saat anak tidur atau mereka sekolah. Memang tidak mudah. Saya masih tertatih-tatih mengatur waktu. Bekerja dari rumah dengan mengasuh tiga anak sendiri. Tapi saya menikmatinya. Bersyukur karena dua peran saya, sebagai ibu dan sebagai profesional bisa saling melengkapi dan menjadi passion saya. Saya merasa bisa memberi manfaat dan berarti untuk orang lain. Maka saya bisa mengatakan inilah pilihan karir saya. Nah sekarang... apa pilihan karir Anda?