Kamis, 28 Desember 2017

CATATAN KULINER SINGKAT SEPUTAR SURABAYA DAN MADURA

Tulisan ini sempat akan dimuat di Majalah Sekar pada tahun 2013, namun karena keterbatasan kualitas dan kuantitas  foto  yang saya kirimkan akhirnya pak editor membatalkan pemuatannya (hiks :(( ).  Setelah itu, tulisan ini mengendap cukup lama  sebelum akhirnya saya posting di blog. Saya  memutuskan mempostingnya di blog dengan harapan akan lebih bermanfaat untuk pembaca yang membutuhkan. Hikmahnya, saya  memahami bahwa sebagai penulis tidak cukup  hanya mengandalkan skill menulis yang masih sangat terbatas ini, namun sesungguhnya saya  juga membutuhkan keterampilan fotografi agar dapat menghasilkan  foto-foto cantik untuk melengkapi  tulisan saya agar lebih menarik. Mudah-mudahan kelak bisa dapat kesempatan untuk belajar  ya :). Oya tulisan ini adalah hasil pengamatan saya mengunjungi kota Surabaya dalam dua kali kesempatan berbeda  untuk kemudian saya rangkum dalam  bentuk tulisan di bawah ini. Selamat Membaca :)



Sinar mentari yang terik menyengat kulit menyambut saya saat turun dari pesawat di bandara Juanda, Surabaya.  Namun demikian, hal ini tidaklah menghalangi niat saya untuk menyusuri kota pahlawan, menjelajahi sudut-sudutnya serta mencicipi kulinernya yang lezat menggoda.  Pada saat saya berkunjung, kebetulan bertepatan dengan perayaan hari ulang tahun Surabaya. Beberapa pusat perbelanjaan terlihat menggelar discount besar-besaran dalam rangka menyambut hari jadi Surabaya tersebut. Sungguh menarik! Namun saya lebih tertarik untuk mengeksplorasi khasnya kuliner Surabaya yang terkenal maknyus itu.   

Surabaya yang Heterogen
Surabaya  dikenal sebagai kota nomor dua terbesar di Indonesia dengan penduduk sekitar tiga juta jiwa  dan banyak dihuni oleh pendatang dari daerah lain. Penduduk Surabaya cukup heterogen.  Meski di Surabaya, suku Jawa termasuk mayoritas namun Surabaya juga menjadi rumah yang nyaman bagi berbagai suku bangsa termasuk Madura, Tionghoa, Arab dan sejumlah suku  yang berasal dari berbagai daerah di nusantara. Dengan keragaman suku bangsa dan budaya yang ada, maka tak heran kalau Surabaya menjadi kota yang  memiliki variasi kuliner yang kaya. 

Sarapan pagi di Gresik
Jam yang melingkar di pergelangan  tangan saya menunjukkan pukul delapan pagi. Namun  panasnya sengatan matahari menunjukkan waktu seolah-olah sudah menjelang tengah hari. Perut yang melilit mengingatkan saya untuk segera beranjak mengisi perut sebagai asupan energy  untuk menjelajah  kota. Maka, saya langkahkan kaki menuju Gresik untuk menuntaskan rasa penasaran saya  terhadap menu kuliner khas Gresik  yang konon banyak dijaiakan oleh warga Madura yaitu Nasi krawu. Perjalanan Surabaya-Gresik  cukup lancar melalui tol. Syukurlah, meski pagi mulai menjelang siang, nasi Krawu Mbuk Zainab yang menjadi incaran saya masih tersedia. Kedai nasi krawu ini terbilang sederhana. Dengan hanya menggelar meja beralas plastik untuk  tempat nasi dan  lauk pauk  serta bangku kayu panjang di depan sebuah warung di Jalan KH. Faqih Usman, kedai nasi Krawu ini  cukup dikenal oleh penggemar kuliner di kota Gresik. Seporsi nasi krawu yang dialas daun pisang dengan lauk daging sapi yang diris dan siraman kuah semur serta  taburan  semacam serundeng  plus sambal yang nendang  dihargai sembilan ribu rupiah.



 
Selepas menandaskan seporsi nasi Krawu  yang nikmat ditemani segelas teh hangat, saya segera beranjak. Cuaca Surabaya yang tak juga teduh membuat tenggorokan saya terasa kering. Maka saat kembali ke Surabaya, saya menyempatkan diri mampir merasakan kesegaran es sinom. Pedagang es sinom ini  banyak  yang menjajakan dagangan di sisi jalan raya. Dengan kemasan yang praktis, ekonomis dan harga yang murah meriah, tak heran kalau es sinom ini cukup banyak penggemarnya. Segelas es sinom cukup ampuh meredakan teriknya sinar matahari Surabaya yang semakin menyengat siang itu.
Icip-icip Kuliner Surabaya
Lepas tengah hari, masih banyak daftar kuliner yang menjadi buruan saya selama di Surabaya. Salah satunya yang membuat saya  penasaran  adalah rujak cingur. Berbekal rekomendasi dari seorang teman, maka saya pun mampir ke rumah makan Genteng Durasim  yang kabarnya menyajikan rujak cingur yang paling  lezat seantreo Surabaya. Rumah makan ini terletak tidak jauh di belakang Pasar Genteng, pusat oleh-oleh yang terkenal di Surabaya. Interior rumah makan tampak  terkesan “jadul”, seolah waktu terhenti di satu titik.  Namun pelayanannya cukup sigap. Tanpa menunggu terlalu lama, satu porsi rujak cingur  tanpa lontong seharga lima belas ribu rupiah menjadi bukti kebenaran ucapan teman saya tadi. Potongan buah-buahan segar seperti ketimun, nenas, bengkoang, plus  sayuran  serta  cingur atau hidung sapi yang disiram oleh bumbu kacang kental terasa lezat dan sangat pas mengimbangi  cuaca panas Surabaya.  Cita rasa petis terasa di lumuran bumbu kacang ini. Tak lupa saya  mencicipi seporsi rawon dan lontong mie yang juga tersedia di rumah makan ini.  Meski demikian, bisa dikatakan bahwa  rujak Cingur adalah juaranya di rumah makan ini. Bumbu kacang yang kental ini kembali saya jumpai kala menyantap hidangan tahu telur di rumah makan Laksana Jaya. Selain sajian tahu telur, sajian khas lainnya seperti Krengsengan dan udang penyet juga terbilang lezat dan mengudang selera. Secara keseluruhan  untuk menu tersebut harganya cukup terjangkau.


Tak hanya kuliner berbumbu kacang, sajian kuliner berkuah pun tidak saya lewatkan. Hari berikutnya, di antara rinai hujan yang membasahi tanah Surabaya, saya menyempatkan singgah ke Sidoarjo untuk mencicipi  sepiring lontong kupang.  Sajian ini termasuk ke dalam kuliner khas dan unik di Surabaya. Saya beruntung, karena ketika tiba, lontong kupang baru saja selesai dimasak. Potongan lontong yang di siram kuah berisi kupang yaitu hewan laut semacam kerang yang bentuknya kecil-kecil dengan beberapa buah cabai  segera  tersaji di hadapan saya.  Cita rasanya  yang cenderung  manis  sungguh unik dan segar menyatu di lidah.  

Tak lupa sepiring lento, sejenis gorengan yang  renyah terbuat dari  parutan singkong dan kacang tolo turut terhidang menambah  lezat lontong kupang yang saya nikmati. Meski pagi itu Surabaya dingin  oleh gerimis, hal ini tidak   mengurangi kenikmatan menyantap seporsi lontong kupang.  Oya, jangan lupa memesan sepiring sate kerang dan segelas air kelapa untuk menemani Lontong kupang ini. Selain memiliki fungsi untuk menetralisir  hidangan lontong kupang,  air kelapa juga sangat cocok diminum  usai menyantap lontong Kupang.


Berkunjung ke Masijd dan  Makam Sunan Ampel
Keterbatasan waktu membuat saya dan teman-teman hanya sempat singgah di tempat tujuan kami selanjutnya, yaitu masjid dan makam sunan ampel,  ketika malam tiba. Hal ini membuat saya tak berkesempatan untuk “icip-icip” kuliner khas arab seperti roti Maryam yang buka pagi hari di kawasan wisata religi yang dikenal dengan nama kampung Arab tersebut.  Namun hal ini tak mengurangi  antusiasme saya. Untuk menuju makam sunan ampel, saya harus melewati Jalan ampel suci, sebuah gang atau jalan kecil sepanjang kurang lebih 400 meter. Yang menarik  dari jalan tersebut adalah banyaknya pedagang yang menjajakan barang-barang khas timur tengah  di sepanjang gang. Tak hanya abaya atau peci haji, bahkan kurma dan beragam barang lain yang biasa ditemui di kawasan Timur tengah termasuk oleh-oleh khas haji atau umrah banyak tersedia di sana. Tiba di ujung gang, tampak oleh saya keramaian suasana malam di  masjid dan area pemakaman.  Banyak sekali peziarah yang kabarnya datang dari berbagai pelosok daerah menghabiskan malam dengan berdoa dan berzikir di sekitar pemakaman.  Saya menyempatkan diri untuk membasuh wajah sejenak dengan  air yang tersimpan di beberapa guci besar yang tersedia. Air tersebut  berasal dari sumur  yang terdapat di kawasan pemakaman. Konon air tersebut dipercaya memiliki khasiat untuk pengobatan.


Menyebrang  Jembatan  Suramadu
Berkunjung ke Surabaya, tentunya kurang afdol apabila tidak singgah di Madura. Maka Madura menjadi tujuan saya selanjutnya. Untuk menuju Madura  saya terlebih dahulu harus berkendara melewati jembatan Suramadu. Jembatan  sepanjang 5.438 meter ini merupakan jembatan terpanjang di Indonesia saat ini. Jembatan megah  yang melintasi selat  Madura ini segera menjadi ikon Madura dan Surabaya. Ingin rasa hati  berhenti di sisi jembatan untuk menyaksikan pemandangan  selat Madura sembari menikmati angin laut, namun apa daya, menurut informasi, kendaraan tidak diperkenankan berhenti di jembatan Suramadu.
Tujuan  saya selanjutnya di tengah terik matahari Madura, tidak lain dan tidak bukan adalah  untuk mencicipi hidangan bebek  di rumah makan Bebek Sinjay di daerah Bangkalan  yang terkenal itu.  Meski sepanjang jalan berdiri beberapa rumah makan yang juga menjual masakan bebek, namun demi memuaskan rasa penasaran terhadap menu masakan bebek  di rumah makan  bebek sinjay, maka saya dan teman-teman  tetap menelusuri jalan menuju rumah makan tersebut. Ternyata, benar saja. Suasana  yang cukup ramai dengan antrian pengunjung untuk memperoleh seporsi hidangan berisi nasi, bebek goreng dan sambal mangga segera menyambut saya ketika tiba disana. Harga seporsi makanan ini cukup murah. Sajian bebek goreng yang empuk dengan cita rasa asin gurih plus sambal mangga yang pedas berhasil membuat keringat saya bercucuran di siang hari yang panas itu.
Setelah mengisi perut dan energy terasa kembali pulih,  saya segera beranjak untuk berburu oleh-oleh cantik khas Madura,  terutama batik Madura. Masih di daerah Bangkalan, tepatnya jalan KH Moh Kholil, Saya menyempatkan diri untuk mampir di Tresna Art, sebuah  toko yang menjual pernak-pernik cantik khas Madura. Setelah sebelumnya masuk melalui gang sempit, tak dinyana  di dalamnya ternyata  terdapat tempat yang cukup luas. Interior yang cantik dan pemandangan yang menyejukkan segera menyapa saya. Tak hanya menawarkan batik-batik cantik khas Madura dengan desain yang menawan, di Tresna Art saya juga menemukan jejak-jejak  kebudayaan asli Madura.  Di tengah kerimbunan taman  bagian dalam Tresna Art yang asri, terdapat sebuah rumah adat tradisional khas Madura. Rumah cantik yang dilengkapi dengan perangkat tempat tidur antik dan koleksi barang-barang kuno itu tak ubahnya seperti sebuah museum mini.






Tak lupa saya sempatkan mencicipi menu tradisional khas Madura yang disajikan Tresna Art yaitu sup jagung seharga 15 ribu rupiah. Semangkuk sup dengan kuah gurih berisi potongan daging dan taburan jagung marning yang renyah segera licin tandas.


Menjelang sore, setelah mengakhiri kunjungan di Tresna Art, saya mampir ke Pasar Wisata Bangkalan untuk membeli beberapa potong batik cantik sebagai buah tangan. Tak salah dugaan saya, beragam batik dengan motif yang cantik  sempat membuat saya kebingungan untuk memilihnya. Dengan harga yang cukup bersaing dan variatif, mulai empat puluh ribu rupiah sampai dengan jutaan rupiah perpotong, kita punya  banyak pilihan.  


Sepulang dari  Madura, saya tidak melalui jembatan Suramadu kembali. Keinginan untuk melihat sisi lain Selat Madura di malam hari membuat saya  mencoba sensasi naik ferry dalam perjalanan dari Madura ke Surabaya. Tampak gemerlap lampu dermaga di kegelapan malam menyambut saya saat kembali ke Surabaya.

Oleh-oleh dari  Surabaya

Pasar Genteng merupakan tempat yang tidak boleh dilewatkan apabila berkunjung ke Surabaya, terutama untuk membeli oleh-oleh. Beragam penganan khas kota pahlawan  tersedia lengkap di Pasar Genteng  dengan harga bersaing. Selain Pasar Genteng, toko oleh-oleh Bu Muzanah yang terletak di Gresik dapat menjadi salah satu pilihan yang tepat untuk berbelanja buah tangan, terutama bandeng isi atau bandeng presto. Dengan harga yang cukup murah, sekitar 20 ribu untuk bandeng presto dan sekitar  40 ribu untuk bandeng isi  kita dapat membawa pulang oleh-oleh bandeng untuk keluarga tercinta di rumah. Tidak hanya bandeng, penganan seperti Lapis Surabaya dengan kemasannya yang cantik pun cocok sebagai buah tangan.  Jangan lewatkan pula untuk membeli sambal Bu Rudy yang terkenal. Dengan varian rasa yang  beragam serta rasa pedasnya yang nikmat dijamin akan membuat Anda ketagihan.
Waktu yang berlalu demikian cepat, pada akhirnya membuat saya harus mengakhiri kunjungan saya ke Surabaya. Masih terkenang rasa  lezat dan uniknya kuliner Surabaya. Saya hanya dapat berharap semoga lain waktu saya memiliki kesempatan untuk kembali beranjangsana ke Surabaya.

Minggu, 20 Agustus 2017

Review Hotel Murah di Jogja yang cocok untuk Keluarga

Hai…
Sepulang dari Jogja, banyak “oleh-oleh” yang ingin saya  bagikan. Tentunya dalam bentuk  cerita  ya.
Tulisan tentang wisata Jogja bersama  keluarga akan saya  tuangkan dalam  beberapa bagian kelak (kalau mood menulis datang heheh)  Namun untuk kali ini, saya  akan  mereview hotel  tempat  kami sekeluarga  menginap di Jogja selama 6 hari 5 malam.
Usaha  mencari-cari  hotel yang oke untuk  tempat  menginap kami sekeluarga sebenarnya sama seru dan exitednya dengan  liburan itu sendiri. Ya, karena  liburan ke Jogja ini sudah lama sekali  kami  rencanakan,  maka   kegiatan  browsing  hotel, tempat rekreasi, membuat itinerary, menghitung budget de el elnya  menjadi  kegiatan yang sengaja saya luangkan waktunya disela-sela  pekerjaan dan kegiatan harian yang   sudah lumayan  menyita waktu.  Maklum, karena niat  yang kuat untuk mengajak  anak-anak liburan ke Jogja  sempat tertunda oleh beberapa  hal, sehingga  kami- saya dan suami  benar-benar  merencanakan matang-matang liburan kali ini. Meski  hasilnya masih ada saja hal-hal diluar  rencana  kami yang  terjadi selama masa liburan. Namun over all saya cukup puas ; Jogjakarta  memang layak menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan nusantara. Dari sisi tempat wisata, sejarah dan  budaya, suasana kota, kuliner  favorit, rata-rata biaya yang dikeluarkan serta  dukungan fasilitas,  cukup sesuai dengan  ekspektasi  kami. Biaya  hidup yang lebih  terjangkau dibandingkan Bandung merupakan salah satu hal yang menarik  bagi  kami sebagai  traveller asal Bandung. Oleh karena itu tentunya tidak  sulit untuk mencari tempat penginapan yang  berbudget rendah di Jogja. Namun untuk saya tetap tidak mudah karena  di awal saya  juga  belum  terlalu paham,  apakah dengan  biaya  yang  murah  sudah cukup memenuhi  harapan kami?  Terlebih karena  saya punya  beberapa indikator  untuk  menetapkan hotel  dan penginapan yang  layak  bagi  kami sekeluarga   ( 2  dewasa dan 3 anak dengan berbagai tingkatan usia). Diantaranya:
  • Hotel yang nyaman dan “ramah” anak, dalam  arti  bisa mengakomodir kebutuhan   anak-anak dengan berbagai  rentang usia  mulai ABG hingga  batita ;p  Ramah ini bisa diartikan dari sisi   ruangannya cukup luas yaitu spacenya baik indoor maupun outdoor cukup leluasa untuk tempat  anak-anak “bergerak”, bersih  dan  aman dari lalu lintas lalu-lalang kendaraan.  
  • Harga yang murah, sesuai  budget dan  masuk akal.
  • Jarak  yang relatif  dekat dengan beberapa  destinasi wisata di Jogja atau ke beberapa tempat  penting seperti tempat  makan yang hits, ATM, minimarket dan tempat emak belanja oleh-oleh (eits hehe…) 
  • Pelayanannya ramah dan responsive
  • Lingkungan  hotel  bernuansa outdoor, terbuka, memiliki  udara segar dan bersentuhan dengan  alam  maupun  lingkungan sekitarnya.  Ini mah preferensi pribadi ya. Karena suami, dan saya  khususnya  memang menyukai lingkungan yang dekat dengan alam. Saya pribadi tidak  terlalu menyukai hotel yang sifatnya terlalu “tertutup”, meski  masalah keamanan tetap prioritas.    

Dalam rangka mencari  hotel tersebut  saya  menggunakan informasi dari  beberapa sumber:
  •  Teman yang pernah ke Jogja
  •  By internet dengan menggunakan  beberapa aplikasi  untuk travelling seperti  traveloka, pegi-pegi dan agoda; meski saya memesan tetap dengan menggunakan cara konvensional yaitu by phone karena  tidak punya  kartu kredit.
  •  Ulasan atau review   pengunjung  yang pernah menginap dari berbagai sumber; baik dari aplikasi yang saya sebutkan di atas atau dari google. Sumber ini cukup  mantap.
  •  Review Blog. Sumber informasi  ini juga  cukup dapat dipercaya.

Dan jawabannya  tralaaa… berikut ini…
Dengan beberapa pertimbangan, akhirnya  saya  memutuskan  memilih  hotel ;

1.       Hotel Puri Pangeran  di daerah  Pakualaman


Hotel bernuansa Bali ini terletak tidak  jauh dari  Malioboro; bisa  ditempuh dengan berjalan  kaki  selama kurang lebih 10-20 menit untuk  menuju beberapa tempat wisata terkenal di sekitar Malioboro.   Saya memilih hotel ini  karena  letaknya dekat dengan  Taman Pintar yang merupakan tujuan utama  kami di awal travelling ke Jogja, namun posisinya cukup terlindung dari jalan  besar karena  masuk ke  daerah pemukiman penduduk. Selain itu lingkungannya cukup asri, banyak  pepohonan dan tanaman serta  taman yang relative cukup luas. Terdapat pula kolam yang berukuran tidak besar namun cukup akomodatif.  Harga kamar mulai Rp 430 ribu permalam  ( sudah include sarapan untuk dua orang) menurut saya cukup worth it dengan fasilitas yang diperoleh. Kamar sudah dilengkapi dengan pendingin  ruangan dan kamar mandi dengan water heater yang berfungsi  baik. Kebersihan juga cukup memadai  dengan pelayanan yang cukup ramah dan tanggap.  Ukuran kamar cukup leluasa untuk kami berlima ( dua orang dewasa dan tiga anak usia 13 tahun, 8 tahun dan 3 tahun yang sedang  aktif-aktifnya). Area outdoornya pun  cukup  memadai, dengan taman  yang terawat dan fasilitas  kolam renang yang cukup bersih. Anak-anak saya pun asyik  bereksplorasi dan bolak-balik berenang. Hanya saja dengan fasilitas kamar tersebut  saya  memang  tidak  memperoleh sandal kamar dan  ketel air  untuk pemanas air minum. Selimut pun tergolong tipis; nyaris seperti  kain  seprei yang difungsikan sebagai selimut. Namun bagi kami hal tersebut tidak menjadi masalah. Untuk menu sarapan  cukup bervariasi  meski memang terbatas; namun ada pilihan  susu segar  dan sereal, buah dan roti bakar selai  diluar hidangan sarapan berupa nasi putih/nasi goreng dan lauk pauk yang terbatas jenisnya. Pendeknya  kami cukup puas dengan fasilitas  yang didapat selama menginap disana. Memang tidak berlebih dan tidak ada  hal yang diluar ekspektasi kami, namun  so far  apa yang diperoleh sesuai dengan  biaya yang kami bayarkan. Plusnya adalah  kolam renang dan lingkungan outdoor yang  nyaman serta menyegarkan mata. Tempat parkir juga lumayan  luas. 




Oya,  lingkungan sekeliling  hotel juga cukup bersahabat. Selain  tidak ramai lalu lalang kendaraan juga cukup nyaman. Ada sebuah toko jamu yang terkesan “jadoel”  terletak berseberangan dengan  hotel. Apabila pagi menjelang, pelataran toko  jamu tersebut  berubah menjadi tempat lesehan yang  nyaman untuk menyantap gudeg yang lezat disana. Ya,  tiap pagi ada ibu-ibu yang sudah sepuh  berjualan hidangan gudeg lengkap dengan bubur putihnya- bukan nasi- dengan harga  9000 ribu rupiah perporsi. Lauk ayam  kampung plus kerecek dengan cita rasa yang lezat dan benar-benar  mengenyangkan. Jangan sampai  terlambat, sebab lewat dari jam tujuh biasanya gudeg tersebut sudah ludes tak bersisa.
Selama dua hari disana, saya malah sering bertemu dengan wisatawan mancanegara (bule), baik yang datang sekeluarga atau hanya berpasangan. Wisatawan nusantara  malah terbilang jarang. Mungkin  juga karena sedang musim liburan ya, namun artinya selera saya  tidak jauh  berbeda lah dengan para bule itu saat memilih tempat menginap ya:D






2.       Hotel Sagan Huis di daerah jalan Sagan.


Setelah dua hari bermalam di hotel Puri Pangeran, kami sekeluarga  pindah ke hotel lain yang lebih jauh dari Malioboro namun dekat ke tempat objek wisata lainnya. Tentunya disamping ingin ada variasi saya pun berharap  mendapat hotel dengan harga yang lebih murah. Maka setelah browsing saya pun memutuskan pindah ke Hotel Sagan Huis. Hotel ini terletak di Jalan Sagan, berseberangan dengan Institut Francais Indonesia,  sebuah  pusat kebudayaan Perancis di Jogja.  Letaknya di dalam lingkungan pemukiman rumah “jadoel” yang adem dan tenang, dikelilingi café-café yang bertebaran di sekitarnya. Bersebelahan tepat dengan café Bong Kopitown, sebuah café dengan tema penjara yang  unik. Hotel ini berkonsep homestay dengan  jumlah kamar terbatas dan nuansa yang sederhana namun penuh kehangatan. Servicenya cukup baik dan kekeluargaan dengan keramahan “khas Jogja”. Namun  jangan salah, meski  hotel ini “terlindung” dari keramaian   namun posisinya cukup strategis. Relatif dekat untuk kemana-mana dan  mudah untuk mencari makan. Saya cukup membayar lima ribu  rupiah menggunakan gojek untuk mencapai Pasar Beringhardjo. Rekommend banget kan? Terutama untuk emak-emak doyan window shopping seperti saya hahaha… Posisinya  juga dekat dengan sebuah mall, Galleria Mall sebagai pusat perbelanjaan yang cukup lengkap. Dan variasi tempat makannya  juga lebih  banyak dibandingkan dengan hotel sebelumnya, di Puri Pangeran. Ada  sebuah tempat makan khas aceh yang  recommended dekat sini. Nasi gorengnya layak untuk dicoba. Tapi juaranya tentu dipegang oleh Warung lotek dan gado-gado  Bu Bagyo yang terletak tidak  jauh dari hotel ini. Warung ini  ramai oleh  pelanggan yang datang dan pergi. Sempat penasaran, akhirnya saya pun mengakui rasanya yang top setelah mencicipi menu andalannya. Dan serunya  lagi, warung ini  buka hingga 07. 30  malam dengan berbagai menu yang cukup variatif-tidak  hanya  lotek/ gado-gado-  dan harga yang terjangkau.
Eh, jadi lupa ya… tadi kita membahas  hotel Sagan Huis.. koq malah lari ke kuliner hahaha…
Rate  Hotel sagan Huis lumayan terjangkau, mulai dari Rp 300.000 perkamar kalau tidak salah. Saya memesan kamar Deluxe dengan  biaya 350.000 permalam dengan  fasilitas  satu tempat tidur ukuran queen dan 1 single bed. Satu tempat tidur itu muat lho untuk ketiga anak kami. Jadi  kami tidak perlu memesan  tambahan kasur. Fasilitasnya  terbilang lengkap dan sepadan untuk  harga  yang kami bayarkan, kalau menurut  saya. Di dalam kamar sudah tersedia pemanas air/ketel dan 3 botol air minum berukuran kecil serta sachet  kopi/the/gula  bagi yang membutuhkan. Kamar mandi luas dan bersih dengan pemanas air yang berfungsi dengan baik. Kasur juga cukup empuk dengan selimut yang tebal dan AC yang dingin. Luas kamar juga  cukup memadai untuk anak-anak; tidak  terlalu sempit untuk melompat-lompat bagi si batita. Pokoknya  bagi saya  fasilitasnya cukup memuaskan. Sarapan juga terbilang cukup enak dan mengenyangkan; disediakan nasi dengan lauk pauk serta  roti bakar dengan dua macam selai.  Kalau dibandingkan dari sisi outdoornya memang  kalah dibandingkan  hotel Puri Pangeran. Area semi outdoornya hanya  berupa kolam ikan plus sebuah  meja kayu di bagian tengah  hotel. Namun area semi outdoor ini pun lebih sering gelap dan lembab tertutup bangunan. Kalau saya lebih suka menghabiskan waktu di halaman depan hotel  yang meski terbatas namun cukuplah  untuk sekedar duduk-duduk sambil menikmati suasana sekitar hotel yang  teduh serta  suara kicauan  burung. Memang area  outdoor hotel terbatas. Area parkirnya pun tidak  terlalu luas. Namun  untuk saya  ini sudah cukup  karena saya senang bereksplorasi  berjalan-jalan di sekitar  pemukiman sekeliling  hotel  sambil melihat  aktivitas keseharian penduduk. Salah satu kekurangan buat saya  adalah tidak adanya pagar di Sagan  Huis. Jadi dari arah jalan langsung masuk ke dalam  hotel. Namun berdasarkan  keterangan dari petugas  hotel, mereka stand by terus  berjaga semalaman sehingga  keamanan cukup terjamin. Hal itu terbukti, saya  cukup merasa aman selama menginap disana.


Nah, itu rekomendasi saya tentang hotel dan penginapan  murah yang ramah dan cocok  untuk keluarga di Jogja. Anda punya rekomendasi lain? selamat berliburJ

Minggu, 23 Juli 2017

Hall of Fame-Perpusda Jabar

Ehm  jujur... saya sendiri sebetulnya kurang paham. Apakah saya yang kudet atau memang ada yang baru di perpustakaan daerah Jabar ini. Yang jelas, setelah beberapa waktu absen-lumayan lama- baru beberapa minggu ini saya kembali menyambangi Perpustakaan daerah Jabar dan menemukan sesuatu yang baru. Oya... kalau boleh jujur, Perpusda Jabar ini merupakan alternatif tempat yang paling rekommended buat saya saat:
1. Emak bokek berat, jadi tidak bisa mengajak main anak-anak ke tempat-tempat wisata yang kesohor di Bandung.
2. Ayah sibuk berat, jadi tidak bisa mengantar main ke tempat-tempat yang jauh. Bisa sih emak bawa mobil buat nganter anak-anak, tapi selain nyali emak belum begitu besar untuk nyetir ke tempat-tempat yang -mendaki gunung menuruni lembah- halah! Lagian nyetir sendiri itu ternyata capek banget😑 apalagi kalau si emak masih harus gendong-gendong batita 2.7 tahun yang lumayan beratnya setibanya di tempat tujuan. Ogaah deh. Makanya emak suka males pergi jauh-jauh kalo Ayah nggak bisa nemenin. Eh..ealah.. koq malah curcol disini😆😅
3. Emak sudah mati gaya; seperti kemarin, kue lebaran sudah habis, tamu yang dikunjungi sudah habis, acara halal bi halal sudah tuntas, sementara libur anak-anak..... lhooo.... koq masih panjang bangeeet😣
4. Alternatif kegiatan yang mengalihkan perhatian anak dari gadget, selain kegiatan fisik  atau bermain lainnya.
5. Memelihara minat baca anak
6. Jarak yang dekat. Tidak perlu keluar uang sama sekali. Tinggal ajak anak-anak jalan kaki, bahkan Maryam sekalipun sudah kuat jalan kaki ke Perpustakaan. Yah, sekalian olahraga ya.
7. Me time buat emaknya😅maklum emaknya doyan banget liat buku, biarpun ga semua sempat dibaca... lihat cover buku aja sudah senang hihihi.

Eitt.... sudah dulu ya pengantarnya... kita langsung saja masuk ke topik bahasan kali ini;
Hall of Fame di Perpusda Jabar.
Posisinya kalau mau masuk, tepat disebelah kiri dari pintu masuk. Awalnya saya juga bingung dengan tempat ini. Tapi setelah menelusuri hingga ke dalam... ternyata seru juga😍 apalagi masuk-masuk saya langsung disapa mbak-mbak cantik nan ramah yang meminta saya mengisi buku daftar tamu. Yuk.. kita cek saja foto2nya berikut ini



















Tuh kan... keren-keren banget kan foto-fotonya. Cuma sayangnya tempat ini kelihatannya masih agak sepi nih. Perlu dipromosikan lagi tampaknya, supaya pengunjung juga jalannya ga lurus saja, tapi bisa mlipir cantik, belok kiri untuk sekedar mengagumi hall of fame ini. Cukup menambah wawasan lho..  terutama tentang tokoh-tokoh Jawa Barat. Yuuk...

Kamis, 25 Mei 2017

Bahagia Itu Sederhana. Bahagianya Saya....

Dulu, waktu SMP saya sering jealous saat melihat teman-teman memakai jam tangan branded ke sekolah. Merk-merk sw*tch, b***tton atau g**ss yang harganya-buat saya-selangit itu rasanya sesuatu banget. Almarhum Bapak memang membelikan jam tangan buat saya merk q**rtz tapi.. apalah artinya jika dibandingkan merk jam tangan teman-teman saya yang ngetop dan hitz banget. Pikiran kanak-kanak saya membatin, pasti keren kalau saya bisa punya jam tangan branded itu. Tapi untuk minta ke orangtua rasanya tidak tega. Insya Allah mereka mampu. Tapi buat apa juga? Kalau orangtua sudah memberikan jam tangan itu artinya menurut mereka itulah benda yang cocok buat saya dan sesuai kemampuan mereka.   Jadilah saya terima nasib ditemani jam tangan q**rtz selama masa sekolah. Tentunya sambil memendam angan, kelak saya akan membeli jam tangan branded kalau sudah bekerja dan mampu cari uang sendiri. Sepertinya saya akan lebih bahagia kalau mendapati jam tangan mahal itu melingkari tangan saya.
Dan setelah saya punya uang sendiri dari hasil bekerja, apakah saya jadi membeli jam tangan branded itu?  Tentu tidak hihi... Rasanya koq sayang ya.. sudah capai-capai bekerja banting tulang terus dibelikan benda semahal itu. Mending uangnya ditabung untuk biaya melanjutkan sekolah atau untuk keperluan tak terduga. Begitu pikir saya waktu itu. Jadilah sampai berhenti kerja dan akhirnya menikah saya masih setia dengan jam tangan lama. Ketika tinggal di Madinah situasi agak berbeda. Kebetulan beberapa jam tangan branded itu harganya lebih murah dibanding dengan harga di tanah air. Dan suami saya yang tahu banget "keinginan terpendam" istrinya😆 berinisiatif memberikan kado ultah kejutan berupa jam tangan merk t*ssot yang harganya lumayan mahal. Setelah itu beberapa jam tangan merk sw*tch juga saya koleksi, seiring perbaikan ekonomi keluarga kami. Tapi lalu... apakah saya betul-betul happy ketika akhirnya keinginan itu menjadi kenyataan. Happy sih.. tapi nggak bertahan lama.. hihi..  soalnya habis itu kasak-kusuk lihat model yang lebih baru.. pengen lagi.. seperti itu terus. Nggak ada habisnya. Kadang kalau sedang dipakai malah riweuh pas mau wudhu. Maklum saya orangnya suka lupaan kadang-kadang. Gawat juga kan kalau barang mahal itu hilang karena kelalaian saya.
Kemudian makin kesini, kebahagian ternyata semakin tidak terukur dengan benda. Hal itu saya rasakan justru ketika kondisi malah semakin memungkinkan untuk memenuhi keinginan duniawi (halah). Justru hal-hal kecil yang sekilas sepertinya biasa saja menjadi sesuatu yang membahagiakan buat saya.. seperti dibawakan makanan kesukaan oleh suami sebagai kejutan, memeluk si bungsu saya yang baru bangun tidur, bercanda dengan si tengah yang sotoy abis atau melihat si sulung yang mulai handal "menangani" adik-adiknya.. udah deh itu aja.  Ada juga sih yang lain... tapi costnya juga jauuuh banget dibanding beli barang-barang branded nan mahal itu. Misalnya... bisa beli buku diskon abis-abisan di cuci gudangnya Gramedia.. Nah itu bahagia banget saya, karena bisa borong buku-buku bagus sekardus dengan harga yang murah banget. Atau ketika ada kabar naskah buku perdana saya mau diterbitkan. Udah itu aja.
Kalaupun ada kebahagiaan lain yang saya cita-citakan mungkin sangat simpel. Bisa me time duduk lama-lama di perpustakaan buat riset untuk calon buku baru atau melanjutkan hoby travelling lagi sepertinya akan jadi next target saya. Tapi sebagai emak-emak yang masih dibuntuti oleh batita dan sejumlah dedlen pekerjaan,  saya hanya bisa bersabar sampai waktunya tiba... ealah malah curcol 😂😂. Tapi iya, kebahagiaan saya sederhana. Bagaimana dengan Anda?




Rabu, 24 Mei 2017

Pilihan Karir (2)

Saya menemukan pengertian menarik tentang perbedaan bekerja dan berkarir. Menurut Isaacson  (1985)  bekerja mengacu pada  setiap kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa. Sedangkan  karir lebih menunjuk pada pekerjaan atau jabatan yang ditekuni dan diyakini sebagai panggilan hidup, yang meresapi seluruh alam pikiran dan perasaan seseorang serta mewarnai seluruh gaya hidupnya (Winkel, 1991). See?  Kita bisa melihat perbedaannya. Tapi proses berkarir tidak serta merta muncul begitu saja. Seseorang mungkin perlu untuk merasakan proses bekerja dahulu sebelum dia memutuskan bahwa itulah karir dia. Bisakah proses kerja ini dilewati? Bisa saja. Apabila dia sudah mengenali dirinya dengan baik, tahu apa yang menjadi kelebihan dan kekuranganya, tahu apa yang menjadi tujuan hidup dan passionnya. Singkatnya; "Ku tahu yang kumau" Tapi satu hal yang tidak bisa lepas dari masalah karir adalah Eksplorasi. Ya. Setiap orang bisa saja melalui proses yang panjang berganti-ganti pekerjaan berkali-kali sampai ia menemukan apa yang menjadi pilihan karirnya. Tapi ada pula orang yang hanya membutuhkan waktu singkat untuk paham apa yang menjadi panggilan hidupnya... apa yang menjadi passionnya. Tapi semuanya melalui proses eksplorasi. Seorang ahli ( Super, 1990) menyampaikan bahwa eksplorasi adalah upaya pencarian informasi yang dilakukan seseorang melalui berbagai sumber. Biasanya terjadi di tahapan remaja. Aktivitas mencari informasi ini memang sesuai dengan kebutuhan remaja yang haus akan informasi. Melalui proses eksplorasi ini mereka memperkaya informasi tentang pilihan kerja yang selanjutnya menjadi pilihan karir mereka. Proses ini tidak mudah karena sifat remaja yang banyak dipengaruhi peer group mereka. Fungsi orangtua dan guru akan sangat berperan besar disini dalam membimbing dan membantu mereka untuk mengenali potensi diri, mengetahui kekuatan dan kelemahan serta memberikan feedback yang bermanfaat untuk pengembangan diri mereka, termasuk berbagai informasi tentang bidang atau area minat yang bisa mereka masuki. Tentunya pendekatannya harus disesuaikan dengan karakteristik remaja yang enggan didoktrin. Pendekatan dengan berperan sebagai teman diskusi yang asyik memungkinkan remaja lebih nyaman untuk berkomunikasi. Pada akhirnya proses eksplorasi yang dilakukan diharapkan akan membantu remaja untuk tahu apa yang kumau, terlepas dari tekanan peer dan faktor lingkungan. Maka, kejadian bingung dan menyesal saat memilih jurusan yang keliru bisa diminimalisir.

Jumat, 19 Mei 2017

Pilihan Karir

Berkarir apakah sama dengan bekerja? Saya memaknakannya berbeda. Karir lebih dari sekedar bekerja karena karir sudah menyangkut passion. Ketika seseorang memutuskan berkarir di suatu bidang artinya ia sudah memutuskan untuk mendedikasikan waktu, tenaga dan fokusnya pada bidang tersebut. Artinya ia sudah menemukan bahwa dirinya bisa berarti dan bermanfaat saat berkarya di bidang tersebut. Bahkan bisa juga ia sudah menemukan tujuan hidupnya dengan berkarya di bidang tersebut. 
Buat saya, pilihan karir adalah hal yang kompleks karena berkaitan dengan peran sebagai istri dan ibu. Sejak kecil saya memang tidak bercita-cita untuk bekerja kantoran. Dalam bayangan saya, saya akan berkarir di rumah, mengetik di laptop atau mengerjakan sesuatu sambil mengawasi anak-anak. Hadir saat mereka membutuhkan. Sempat ngantor nine to five selama 2 tahun sebelum menikah. Bahkan setelah menikah pun saya sempat melalui beberapa tahapan rekrutmen di suatu BUMN dan seleksi akhir disebuah rumah sakit swasta di Bandung. Akan tetapi semua itu kalah oleh "panggilan" suami ke Madinah kala itu. Ketika kembali ke Indonesia saya memutuskan fokus pada cita-cita saya sedari kecil, bekerja di rumah dengan waktu fleksibel. Saat itu saya sudah punya si sulung. Rasanya tidak tega dan memang sulit sekali mencari pengasuh anak yang memenuhi syarat. Pilihan yang paling mungkin adalah melanjutkan kuliah, mengambil profesi sesuai pendidikan S1 saya. Dengan mengambil kuliah profesi, saya berharap akan lebih memiliki keluangan waktu untuk bekerja sambil mengasuh anak. Tidak perlu ditanya "babak belur"nya saya menjalani perkuliahan dengan status ibu dua anak yang masih balita. Apalagi kuliah di Psikologi yang sering disebut "berobat jalan" ;p Belum lagi masalah lain seperti biaya pendidikan. Adalah suami saya yang cukup "keukeuh" supaya saya melanjutkan pendidikan. Beliau pula yang membiayai seluruh pendidikan S2 dan profesi sampai selesai. Tadinya saya sempat berkeluh kesah. Rasanya tidak adil melihat teman-teman saya bisa full menjalankan peran sebagai ibu, santai2 di rumah, menemani anak bahkan melakukan perawatan ke salon dll, sementara saya berjibaku bolak balik ke kampus, berjam-jam menunggu dosen, pulang langsung pegang anak dan begadang bermalam-malam untuk mengerjakan tugas. Apalagi kalau besoknya ujian bersamaan dengan anak demam. Bisa tahan semalam dua malam tidak tidur :D Seiring berjalannya waktu, semua terlewati. Alhamdulillah ada support system yang memungkinkan semua terlaksana. Untuk saya itu adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah saya buat. Cita-cita saya saat ini bisa dibilang sudah tercapai. Saya bisa tetap berkarya menjalankan tanggung jawab profesi saya dan tidak meninggalkan tanggung jawab saya sebagai ibu. Beberapa pekerjaan mengharuskan saya hadir di tempat tapi dalam banyak hal saya bisa membawa pulang pekerjaan dan mengerjakannya di rumah. Saya bekerja saat anak tidur atau mereka sekolah. Memang tidak mudah. Saya masih tertatih-tatih mengatur waktu. Bekerja dari rumah dengan mengasuh tiga anak sendiri. Tapi saya menikmatinya. Bersyukur karena dua peran saya, sebagai ibu dan sebagai profesional bisa saling melengkapi dan menjadi passion saya. Saya merasa bisa memberi manfaat dan berarti untuk orang lain. Maka saya bisa mengatakan inilah pilihan karir saya. Nah sekarang... apa pilihan karir Anda? 



Kamis, 12 Januari 2017

Eksplorasi Keindahan Bukit dan Pantai di Kawasan Garut Selatan




Assalamu'alaikum.... jumpa lagi di tahun 2017, setelah tahun 2016 yang sama sekali tidak produktif untuk menulis blog :( tapiii... produktifnya di bidang lain sih... hehe...
Untuk mengawali hari-hari awal di  tahun 2017 ini, saya akan bercerita tentang  salah satu tempat wisata di Jawa Barat yaitu pantai di Garut Selatan. Tulisan ini juga sudah pernah dimuat di Majalah Sekar (almarhum) beberapa  tahun lalu dengan editan di sana-sini. Berikut tulisan aslinya.

Indonesia memiliki banyak kawasan wisata yang menarik untuk dikunjungi. Salah satunya adalah kawasan pantai di Jawa Barat. Beberapa diantaranya yang sudah terkenal adalah pantai Pangandaran atau Pelabuhan Ratu.  Waktu yang terbatas sementara disisi lain saya ingin mencari tempat  yang menjanjikan ketenangan dan kenyamanan, membuat saya  tergerak untuk mengeksplorasi  kawasan wisata yang belum banyak dikunjungi orang dalam jarak yang tidak terlalu jauh dari Bandung, kota tempat tinggal saya.  Pilihan saya  jatuh  ke kawasan pantai di Garut Selatan yang indah dan masih alami. Perjalanan saya lakukan melalui jalur selatan Bandung yaitu Pangalengan-Cisewu. Jalur ini terhitung baru karena  baru saja diresmikan oleh Ahmad Heryawan,  Gubernur Jawa Barat pada tanggal 31 Januari 2013 lalu. Dan ternyata pilihan saya tidak salah. Tidak hanya wisata pantai yang saya dapatkan, namun saya pun berkesempatan untuk menikmati kesejukan pegunungan. Benar-benar wisata yang lengkap dalam waktu yang singkat dengan biaya murah meriah. Tak percaya? Berikut pengalaman saya kala menelusuri jalur selatan Bandung menuju  pantai Rancabuaya, salah satu pantai di kawasan Garut selatan.

Situ Cileunca dan Jalur Perkebunan Teh
Perjalanan saya pagi itu dimulai dari Bandung, kota tercinta.  Tanpa membuang waktu,  tepat jam enam pagi saya memulai petualangan saya dengan menggunakan kendaraan pribadi menuju arah selatan  Bandung yaitu  Banjaran-Pangalengan.  Jalan tidak terlampau macet saat itu karena hari libur.
Selepas keramaian Banjaran memasuki Pangalengan, mata saya menangkap pemandangan cantik  sebuah danau di sisi kiri  jalan raya yang saya lalui. Jika selama ini danau  yang banyak dikenal di Bandung dan sekitarnya adalah situ Patenggang, ternyata baru saya jumpai situ atau danau lain yang tak kalah cantiknya dengan situ Patenggang. Situ Cileunca, adalah sebuah danau buatan seluas kurang lebih 1400 hektar.  Meski tidak seterkenal situ Patenggang, namun  situ Cileunca menawarkan view yang tak kalah  menyegarkan. Letaknya yang berada tepat di sisi jalan raya semakin mempermudah akses jalannya. Situ ini dapat dinikmati dari berbagai sisi selain dari pintu masuk dengan membayar 5000 rupiah juga dari warung-warung makan yang berada di tepian situ. Sungguh pengalaman menyenangkan-menghabiskan pagi dengan menikmati segarnya pemandangan danau yang tenang  sambil sarapan di tepian Situ Cileunca.



Sepanjang jalur Pangalengan, cantiknya hamparan perkebunan teh dan pebukitan sungguh memanjakan pandangan mata. Jalan baru  yang mulus semakin menambah lancar perjalanan. Tak jemu rasanya melihat pemandangan kanan-kiri jalan. Tak hanya view  perkebunan teh yang memikat mata  namun  pemandangan  kehijauan bukit dan lembah  sungguh cantik sehingga perjalanan jadi tak terasa membosankan.
Oya, untuk anda yang menggunakan kendaraan umum,  dapat ditempuh dengan beberapa alternative transportasi yaitu dengan menggunakan angkutan umum rute Bandung-Pangalengan-Cisewu atau elf dari arah Garut. 


 

  
Jalur indah namun mendebarkan
Selepas dimanjakan hamparan daun teh,  pemandangan bukit dan tebing yang curam serta  derasnya aliran sungai di sela-sela batu kali semakin mempesona perjalanan saya kali ini. Sepanjang Pangalengan-Cisewu, jalur  diwarnai  tikungan dan kelokan yang semakin tajam serta  tanjakan maupun turunan yang semakin curam. Jalan di tepian jurang berkelok-kelok  sambung menyambung membelah bukit dan gunung, sehingga pengendara harus ekstra hati-hati dan kondisi kendaraan harus dipastikan benar-benar prima. Sungguh  perjalanan yang menantang dan memicu adrenalin. Namun semua itu sepadan dengan pemandangan indah yang tersaji sepanjang  jalur ini.  Untunglah kondisi jalan  yang masih baru ini dalam keadaan  mulus, sehingga tak banyak hambatan lain yang dijumpai kecuali tikungan dan tanjakan atau turunan yang curam tadi.
Jangan sia-siakan pemandangan yang mungkin sangat jarang anda temui dalam keseharian. Bahkan, saya terpaksa harus berkali-kali menepi  menghentikan laju mobil karena pemandangan yang ada di hadapan mata sungguh sayang untuk dilewatkan begitu saja. Jalur sepanjang Cisewu ini  membuat saya benar-benar terpesona.  Pemandangan di sisi jalan adalah lembah yang curam namun juga sekaligus sangat indah.  Menimbulkan rasa ngeri namun juga kagum  yang tak putus-putus. Subhanallah..  keindahan ini semakin dilengkapi pula dengan pemandangan hamparan sawah yang dibuat bertingkat-tingkat karena kontur tanah yang berbukit serta tebing-tebing yang mengelilinginya. 
Jalan yang dibuat cukup  banyak memapas pebukitan, namun di sisi lain membuat daerah ini rawan longsor. Pada beberapa jalur, para pengemudi diharapkan untuk ekstra hati-hati karena kondisi jalan yang tak mulus dan bergelombang. Namun jumlahnya hanya sedikit dibanding jalan yang mulus.
Meski saya seringkali singgah untuk menikmati indahnya pemandangan, namun jalan yang mulus membantu  perjalanan saya menjadi cukup cepat. Terhitung  saya menghabiskan waktu hanya 4,5 jam dari Bandung untuk sampai di tempat yang saya tuju, yaitu pantai Rancabuaya. Pemandangan yang menakjubkan segera menyambut saya selepas daerah Cisewu menuju Rancabuaya.  Dari arah pebukitan tampak samar-samar di kejauhan pemandangan garis pantai dengan ombak  yang saling berkejaran.  Garis pantai yang memanjang jauh sampai batas-batas yang tidak terlihat oleh pandangan mata saya.   Cantiknya pemandangan dilengkapi pula dengan  warna-warni alam berupa perbukitan yang hijau oleh pepohonan dan hamparan sawah berpadu dengan pantai dan langit yang biru. Sungguh keindahan yang sempurna.


Pantai Rancabuaya
Tiket masuk kawasan pantai Rancabuaya sangat murah. Hanya kurang lebih sekitar 3 ribu rupiah perorang, Total sekitar 10 ribu yang saya bayarkan untuk  kendaraan yang berisi  tiga orang dewasa dan dua anak-anak.
Pemandangan pantai yang cantik dengan pasir putih dan batu-batu karang segera menyambut saya saat tiba di Rancabuaya.  Sekilas melihat, saya segera tahu bahwa pantai ini sungguh sangat layak saya singgahi setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan mendebarkan.  Meski di beberapa tempat tampak  sedikit kotor oleh sampah yang berserakan namun  hal ini tidak mengurangi rasa antusias saya untuk segera merasakan semilir angin laut. Iklim di pantai tidak sekering dan sepanas umumnya di daerah pantai. Hal ini karena letak pantai yang tidak jauh dari perbukitan, pegunungan  dan melewati hamparan perkebunan teh.
Pantai Rancabuaya adalah pantai sepanjang 1000-2000 meter.  Kesan alami segera terekam di benak saya saat menyaksikan air laut yang bening bersih serta pasir putihnya.  Bagian pantai yang landai kebanyakan dijadikan tempat bagi para pengunjung untuk menikmati keindahan pantai serta para nelayan untuk berlabuh. Sementara di bagian pantai yang lain yang dipenuhi batu karang menjadi sasaran pengunjung untuk menangkap umang. Satu hal yang harus diwaspadai adalah ombaknya yang cukup besar.  Saya sendiri sempat nyaris menjadi korban keganasan ombak di pantai Rancabuaya ini.  Oleh karena itu, kewaspadaan dan kehati-hatian hendaknya tetap dipertahankan selama bermain di pantai.










Saat jam makan tiba, saya segera mengalihkan perhatian ke jajaran warung makan  yang menjual seafood di sekitar Rancabuaya. Harap dimaklumi, apabila di Pangandaran kita punya banyak pilihan untuk makan atau sekedar untuk jajan, maka di Rancabuaya tidak banyak  pilihan. Meski demikian, tidak perlu khawatir karena  hidangan yang tersaji di warung-warung makan di pantai Rancabuaya tidak kalah lezatnya.

                                
Salah satu tempat tujuan saya untuk makan siang itu adalah Warung makan Wajabrik. Warung makan ini merupakan warung makan yang paling terkenal di kawasan Rancabuaya karena hidangannya yang variatif dan rasanya juga cukup lezat. Salah satu hidangan yang menjadi andalan di warung makan Wjabrik dan banyak dicari oleh pengunjung adalah mata lembu. Mata lembu adalah  hidangan yang terbuat dari siput  air laut yang dimasak dengan bumbu saos pedas. Rasanya kenyal cenderung agak alot namun lezat dan gurih. Bersantap seporsi mata lembu  seharga lima puluh ribu rupiah ditemani kelapa muda yang diminum langsung dari buahnya benar-benar  kenikmatan yang tiada terkira.


Apabila ingin bermalam di pantai Rancabuaya tak perlu khawatir. Beberapa penginapan dengan kondisi yang memadai dan recommended tersedia di tepi pantai. Salah satu penginapan yang sempat saya singgahi menyediakan kamar dengan harga 400 ribu rupiah saja permalam dengan fasilitas yang lengkap, termasuk kamar mandi yang bersih di dalam dan berpendingin udara.
Apabila ingin mencoba alternative lain misalnya dengan berkemah atau kemping di tepi pantai juga memungkinkan. Beberapa fasilitas umum seperti kamar mandi umum dan musholla saya lihat juga tersedia di tepi  pantai Rancabuaya.
Berwisata ke pantai Rancabuaya tak hanya bermain di tepi pantai atau berburu umang di sela-sela batu karang. Alternatif lainnya adalah menyaksikan para nelayan yang pulang melaut di pagi hari. Ikan segar hasil tangkapan di laut bisa kita peroleh  dengan membeli langsung ke nelayan. Kita juga bisa meminta untuk langsung dibakar atau dimasak di warung-warung makan yang tesedia di tepi pantai. 
 

Pantai Rancabuaya hanya salah satu dari beberapa pantai yang terdapat di daerah Garut selatan yang dapat dikunjungi oleh wisatawan.  Beberapa pantai lainnya antara lain  pantai Santolo dan pantai Jayanthi.  Pantai-pantai ini bisa dicapai dengan menempuh berbagai jalur, diantaranya melalui Garut –Pameungpeuk, Cianjur ataupun jalur seperti yang saya tempuh yaitu melalui kawasan selatan Bandung; Pangalengan-Cisewu. Salah satu alternative wisata lainnya yang bisa dikunjungi selama di Rancabuaya adalah Puncak Guha untuk menyaksikan view pemandangan pantai dan hamparan perbukitan.
                                  


Setelah puas bermain di Pantai Rancabuaya, saya segera beranjak pulang. Namun  bukan berarti perjalanan wisata saya terhenti sampai disini. Karena perjalanan pulang pun adalah bagian dari wisata yang saya nikmati. Keindahan pemandangan pebukitan yang curam dan hamparan kebun teh yang saya lalui dalam perjalanan pulang seolah menggoda saya seiring dengan turunnya halimun sore itu. Apabila dalam perjalanan pergi  saya  lebih banyak melalui  turunan, maka dalam perjalanan pulang kendaraan lebih banyak dipacu melalui tanjakan. Tiba di Situ Cileunca  saya  menyaksikan  pemandangan kano-kano di antara keemasan cahaya matahari sore.

Tiba di Pangalengan, perut saya  terasa melilit di tengah dinginnya udara sore. Maka saya menyempatkan diri untuk mampir ke rumah makan “Asti” untuk mencicipi sop buntutnya yang terkenal lezat seharga tiga puluh ribu rupiah. Oya, jangan lupa mencicipi sensasi kehangatan bandreknya.  Tak lupa saya mampir untuk membeli oleh-oleh khas Pangalengan  seperti susu murni KPBS dan beragam produk yang terbuat dari susu seperti dodol, permen dan keripik.
Perjalanan kembali dari arah selatan Bandung tak kalah indah  dihiasi pemandangan kerlap-kerlip kota Bandung di kejauhan  saat  senja turun. Sungguh pengalaman wisata yang lengkap dan sempurna di bumi Pasundan.

Btw... foto-foto terakhir tidak bisa diapload karena hp saya tercebur ke pantai :( Jadi terpaksa harus puas dengan gambar apa yang ada :))