Sekali lagi, saya mendapat
kesempatan untuk mengunjungi Singapore. Mungkin bagi sebagian orang,
jalan-jalan ke Singapore merupakan hal yang biasa, semudah membalik telapak
tangan. Namun, bagi saya, kesempatan beranjangsana ke Singapore merupakan suatu
hal yang cukup luar biasa. Maka saya coba menikmati moment-moment selama
transit di Singapore meski waktu yang
ada cukup mepet, hanya 24 jam atau sehari semalam saja.
Meski bukan kunjungan pertama
saya, namun sejujurnya baru pada
kunjungan kali ini saya mendapat kesempatan untuk belajar dari Singapore. Sejauh ini yang membuat saya
terkesan, saya merasa dengan segala kondisi yang ada dan fasilitas yang
terintegrasi dengan baik, seolah-olah Singapore sedang dan telah “mendidik”.
Tidak hanya bagi warganya namun juga sekedar
pelancong backpacker seperti saya.
Pelajaran pertama adalah
kemandirian. Dimulai dengan menggunakan transportasi MRT, sebagai angkutan
massal di Singapore. Meski cukup tekan rute tujuan dan memasukkan jumlah dollar
Singapore sesuai jarak tempuh di mesin otomatis yang tersedia, namun tetap
dituntut kemandirian, setidaknya untuk membaca peta kota Singapore dan membeli kartu
sampai dengan penggunaannya. Perlu untuk mandiri secara teknologi.
Untungnya hal ini diiringi petunjuk dan aturan yang jelas, sehingga bisa
mengurangi kebingungan para wisatawan. Waktunya? Cepat dan praktis! Tiba di
tujuan tanpa macet.
Nyasar? Jangan tanya jalan pada sembarang orang bak di
Indonesia. Pelajaran kedua, Ikuti dan patuhi petunjuk yang resmi. Baik berupa
tulisan dalam beberapa bahasa baik
bahasa Inggris maupun Melayu. Bisa juga bertanya ke pusat informasi turis.
Tidak semua orang tahu tempat yang ingin kita tuju, meski tempat itu cukup
terkenal. Apalagi jika orang tersebut adalah kaum pendatang atau imigran, jangan-jangan
ia malah tidak paham bahasa Inggris.
Pelajaran ketiga, patuh dan taat pada
aturan. Di dalam stasiun MRT tercantum dengan jelas peraturan dilarang merokok
bahkan juga makan durian. Kalau tidak,
akan didenda ratusan bahkan ribuan dollar Singapore (1 dollar Singapore =
sekitar 8 ribu rupiah). Hukum reward dan punishment yang mengacu pada
kepentingan umum tampak jelas.
Punishmentnya adalah denda yang teramat besar, sementara rewardnya adalah
kebersihan lingkungan dan fasilitas umum
yang terjaga dengan baik.
Pelajaran keempat, menjaga
kebugaran dan kesehatan dengan jalan kaki. Turun dari MRT jangan harap ada ojeg
atau becak yang melintas.
Bersiap-siaplah memakai sepatu yang nyaman dan bawaan jangan terlalu berat.
Memang untuk yang tidak biasa dan di Indonesia banyak mengandalkan motor, mobil
atau angkot seperti saya, kaki lumayan pegal. Tapi tanpa disadari ini merupakan
kegiatan yang menyehatkan dan murah tentunya. Tidak perlu keluar banyak uang
untuk fitness tapi badan sudah terasa bugar. Ditambah dengan metode “jalan
cepat” yang diterapkan kebanyakan warga kota dan dengan pemandangan hijau yang
menyegarkan dan polusi yang minimal. Setidaknya di atas trotoar dan diluar
stasiun MRT. Badan bugar, mata segar.
Cukup satu hari, sehari semalam
di Singapore saya telah mendapat banyak pelajaran. Kota yang terintegrasi
dengan baik, dalam bentuk aturan yang konsisten dan fasilitas umum yang terjaga
ternyata secara nyata berusaha mendidik
warganya untuk mandiri, patuh mengikuti aturan serta sehat dan bugar. Jangan
bandingkan dengan Bandung, atau kota lain yang paciweuh; banyaknya warga yang “nyaman” menggunakan kendaraan pribadi berupa motor
dan mobil. Kemudian berlomba-lomba bersaing dengan angkutan umum memenuhi
jalan. Bahkan terkadang sering tidak mengindahkan aturan. Akibatnya, waktu di jalan yang lama habis akibat
macet yang disertai “keterpaksaan” menghisap polusi udara. Membuat tidak sehat jiwa dan raga.
Namun demikian, setiap hal ada
sisi baik atau buruk. Di Indonesia meski kondisi demikian ternyata masih
memungkinkan masyarakat berinteraksi. Entah mengeluh tentang kemacetan dengan
sesama pengguna angkot atau bahkan sesama
pengguna kendaraan yang “bersitegang” di jalanan. Hal ini yang belum saya
jumpai di Singapore. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Mudah-mudahan
kelak dalam hal ini Indonesia bisa lebih baik. Mampu mendidik warganya tanpa
harus kehilangan kehangatan dan kepedulian
yang menjadi salah satu ciri khas masyarakatnya.
Wah asyik ya bisa ke luar negeri...^^
BalasHapusalhamdulillaah Mbak Dian tp tetap lebih indah Indonesia
BalasHapus