Sabtu, 15 Juni 2013

Singapore, Kota yang Mendidik Pelancong




Sekali lagi, saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi Singapore. Mungkin bagi sebagian orang, jalan-jalan ke Singapore merupakan hal yang biasa, semudah membalik telapak tangan. Namun, bagi saya, kesempatan beranjangsana ke Singapore merupakan suatu hal yang cukup luar biasa. Maka saya coba menikmati moment-moment selama transit di Singapore  meski waktu yang ada cukup mepet, hanya 24 jam atau sehari semalam saja.
Meski bukan kunjungan pertama saya, namun sejujurnya  baru pada kunjungan kali ini saya mendapat kesempatan untuk belajar  dari Singapore. Sejauh ini yang membuat saya terkesan, saya merasa dengan segala kondisi yang ada dan fasilitas yang terintegrasi dengan baik, seolah-olah Singapore sedang dan telah “mendidik”. Tidak hanya bagi  warganya namun juga sekedar pelancong  backpacker seperti saya.
Pelajaran pertama adalah kemandirian. Dimulai dengan menggunakan transportasi MRT, sebagai angkutan massal di Singapore. Meski cukup tekan rute tujuan dan memasukkan jumlah dollar Singapore sesuai jarak tempuh di mesin otomatis yang tersedia, namun tetap dituntut kemandirian, setidaknya untuk membaca peta  kota Singapore dan membeli  kartu   sampai dengan penggunaannya. Perlu untuk mandiri secara teknologi. Untungnya hal ini diiringi petunjuk dan aturan yang jelas, sehingga bisa mengurangi kebingungan para wisatawan. Waktunya? Cepat dan praktis! Tiba di tujuan tanpa macet.
Nyasar?  Jangan tanya jalan pada sembarang orang bak di Indonesia. Pelajaran kedua, Ikuti dan patuhi petunjuk yang resmi. Baik berupa tulisan dalam beberapa bahasa  baik bahasa Inggris maupun Melayu. Bisa juga bertanya ke pusat informasi turis. Tidak semua orang tahu tempat yang ingin kita tuju, meski tempat itu cukup terkenal. Apalagi jika orang tersebut adalah kaum pendatang atau imigran, jangan-jangan ia malah tidak paham bahasa Inggris.
Pelajaran ketiga, patuh dan taat pada aturan. Di dalam stasiun MRT tercantum dengan jelas peraturan dilarang merokok bahkan  juga makan durian. Kalau tidak, akan didenda ratusan bahkan ribuan dollar Singapore (1 dollar Singapore = sekitar 8 ribu rupiah). Hukum reward dan punishment yang mengacu pada kepentingan  umum tampak jelas. Punishmentnya adalah denda yang teramat besar, sementara rewardnya adalah kebersihan lingkungan  dan fasilitas umum yang  terjaga dengan baik.
Pelajaran keempat, menjaga kebugaran dan kesehatan dengan jalan kaki. Turun dari MRT jangan harap ada ojeg atau becak  yang melintas. Bersiap-siaplah memakai sepatu yang nyaman dan bawaan jangan terlalu berat. Memang untuk yang tidak biasa dan di Indonesia banyak mengandalkan motor, mobil atau angkot seperti saya, kaki lumayan pegal. Tapi tanpa disadari ini merupakan kegiatan yang menyehatkan dan murah tentunya. Tidak perlu keluar banyak uang untuk fitness tapi badan sudah terasa bugar. Ditambah dengan metode “jalan cepat” yang diterapkan kebanyakan warga kota dan dengan pemandangan hijau yang menyegarkan dan polusi yang minimal. Setidaknya di atas trotoar dan diluar stasiun MRT.  Badan bugar, mata segar.
Cukup satu hari, sehari semalam di Singapore saya telah mendapat banyak pelajaran. Kota yang terintegrasi dengan baik, dalam bentuk aturan yang konsisten dan fasilitas umum yang terjaga ternyata secara nyata  berusaha mendidik warganya untuk mandiri, patuh mengikuti aturan serta sehat dan bugar. Jangan bandingkan dengan Bandung, atau kota lain yang paciweuh; banyaknya warga yang “nyaman”  menggunakan kendaraan pribadi berupa motor dan mobil. Kemudian berlomba-lomba bersaing dengan angkutan umum memenuhi jalan. Bahkan terkadang sering tidak mengindahkan aturan.  Akibatnya, waktu di jalan yang lama habis akibat macet yang disertai “keterpaksaan” menghisap polusi udara.  Membuat tidak sehat jiwa dan raga.
Namun demikian, setiap hal ada sisi baik atau buruk. Di Indonesia meski kondisi demikian ternyata masih memungkinkan masyarakat berinteraksi. Entah mengeluh tentang kemacetan dengan sesama pengguna angkot atau  bahkan sesama pengguna kendaraan yang “bersitegang” di jalanan. Hal ini yang belum saya jumpai di Singapore. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Mudah-mudahan kelak dalam hal ini Indonesia bisa lebih baik. Mampu mendidik warganya tanpa harus kehilangan kehangatan dan kepedulian  yang menjadi salah satu ciri khas masyarakatnya.

2 komentar: