Sabtu, 15 Juni 2013



PELAJARAN DARI HONGKONG




PELAJARAN DARI HONGKONG



Pagi itu di bus, dalam perjalanan wisataku di Hongkong. Sebuah perjalanan yang aku cita-citakan sejak lama. Sampai aku rela banting tulang untuk menggapainya. Kini, di tengah semilir dingin AC bus, tak puas-puasnya aku melahap pemandangan yang terbingkai di jendela. Gedung-gedung pencakar langit, lalu lintas yang sibuk, lalu-lalang gadis-gadis dengan dandanan yang modis serta jajaran toko tak berkesudahan.  
 Guide kami yang cantik, seorang wanita setengah baya, sebut saja Achi. Ia penduduk  Hongkong namun memiliki banyak kerabat di Indonesia, dengan fasihnya menceritakan berbagai tempat yang kami lewati. Saat itu bus yang  kami tumpangi melewati sebuah taman cantik yang tertata rapi, sayangnya tampak sepi. Hmm… mungkinkah karena ini adalah jamnya anak sekolah dan orang bekerja? batinku.  Seolah mengetahui apa yang kupikirkan, Achi berkata “ Taman tadi sepi ya…. Kalau di Indonesia mungkin jam-jam segini ada anak kecil yang sedang main. Di sini jarang ada anak kecil. Biayanya mahal kalau punya anak. Jangankan punya anak, untuk menikahpun banyak yang menunda. Living cost disini sangat tinggi”  Ia lalu melanjutkan “  Anda semua sangat beruntung tinggal di Indonesia.  Disini, karena biaya hidup yang tinggi, maka suami-istri harus bekerja. Lalu siapa yang akan menjaga anak? membayar pengasuh anak, gajinya sangat besar. Untuk makan sehari-hari harus hitung-hitungan.. Anda semua enak…bisa makan ayam kampung yang sehat dan segar. Kalau disini, saya makan ayam yang sudah diinjeksi. Itu pun tak murah. Tempat tinggal saya juga sempit….coba Anda lihat sebelah kiri Anda….” Aku menengok ke jendela.  Di depanku terpampang deretan flat sekitar  5 sampai 8 tingkat. Bangunannya padat dan tampak kumuh.  Ini kah tempat tinggalnya? “ Ya, ini tempat tinggal saya. Sudah 20 tahun saya tinggal di Hongkong tapi sehari-hari seperti itulah tempat saya tinggal. Sempit. Hanya 2 kamar  kecil-kecil dan tak ada halaman. Andai tua kelak, saya ingin pulang ke Indonesia. Saya ingin punya rumah yang ada halamannya. Tempat saya bisa duduk-duduk sambil menikmati kebun yang saya tanam dan memandang ayam-ayam peliharaan saya yang bebas berkeliaran di halaman” katanya dengan pandangan mata menerawang.
Aku tertegun. Tiba-tiba  rasa rindu pada rumah mungilku di Bandung begitu mengigit. Sangat.

Dimuat di Rubrik Kata Hati Majalah Sekar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar