PELAJARAN DARI HONGKONG
PELAJARAN DARI HONGKONG
Pagi itu di bus,
dalam perjalanan wisataku di Hongkong. Sebuah perjalanan yang aku cita-citakan
sejak lama. Sampai aku rela banting tulang untuk menggapainya. Kini, di tengah
semilir dingin AC bus, tak puas-puasnya aku melahap pemandangan yang terbingkai
di jendela. Gedung-gedung pencakar langit, lalu lintas yang sibuk, lalu-lalang gadis-gadis
dengan dandanan yang modis serta jajaran toko tak berkesudahan.
Guide kami yang cantik, seorang wanita
setengah baya, sebut saja Achi. Ia penduduk Hongkong namun memiliki banyak kerabat di
Indonesia, dengan fasihnya menceritakan berbagai tempat yang kami lewati. Saat
itu bus yang kami tumpangi melewati
sebuah taman cantik yang tertata rapi, sayangnya tampak sepi. Hmm… mungkinkah
karena ini adalah jamnya anak sekolah dan orang bekerja? batinku. Seolah mengetahui apa yang kupikirkan, Achi
berkata “ Taman tadi sepi ya…. Kalau di Indonesia mungkin jam-jam segini ada anak kecil yang sedang main.
Di sini jarang ada anak kecil. Biayanya mahal kalau punya anak. Jangankan punya
anak, untuk menikahpun banyak yang menunda. Living
cost disini sangat tinggi” Ia lalu
melanjutkan “ Anda semua sangat beruntung
tinggal di Indonesia. Disini, karena biaya
hidup yang tinggi, maka suami-istri harus bekerja. Lalu siapa yang akan menjaga
anak? membayar pengasuh anak, gajinya sangat besar. Untuk makan sehari-hari harus
hitung-hitungan.. Anda semua enak…bisa makan ayam kampung yang sehat dan segar.
Kalau disini, saya makan ayam yang sudah diinjeksi. Itu pun tak murah. Tempat tinggal
saya juga sempit….coba Anda lihat sebelah kiri Anda….” Aku menengok ke jendela.
Di depanku terpampang deretan flat
sekitar 5 sampai 8 tingkat. Bangunannya
padat dan tampak kumuh. Ini kah tempat
tinggalnya? “ Ya, ini tempat tinggal saya. Sudah 20 tahun saya tinggal di
Hongkong tapi sehari-hari seperti itulah tempat saya tinggal. Sempit. Hanya 2
kamar kecil-kecil dan tak ada halaman.
Andai tua kelak, saya ingin pulang ke Indonesia. Saya ingin punya rumah yang ada
halamannya. Tempat saya bisa duduk-duduk sambil menikmati kebun yang saya tanam
dan memandang ayam-ayam peliharaan saya yang bebas berkeliaran di halaman”
katanya dengan pandangan mata menerawang.
Aku tertegun.
Tiba-tiba rasa rindu pada rumah mungilku
di Bandung begitu mengigit. Sangat.
Dimuat di Rubrik Kata Hati Majalah Sekar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar