Jadi, ceritanya sekitar 10-11 tahun lalu, yaitu tahun 2006-2007 (sudah lama ya...) sebagai mukimin di Madinah, saya, suami dan si sulung ( waktu itu anak baru satu) pernah menunaikan ibadah haji dengan cara Ngoboy a.k.a Mandiri. Karena begitu berkesan, kisah serunya haji ngoboy ini pernah saya tulis dan alhamdulillah dimuat di Majalah "Noor" terbitan bulan Desember tahun 2007 sebagai tulisan perdana saya yang dimuat di media massa. Nah setelah satu dasawarsa berlalu, saya ingin menyimpan tulisan atau catatan perjalanan ini di blog sebagai kenang-kenangan agar mungkin kelak anak-cucu saya dapat membacanya (jauh amat😝😂...) atau ada pembaca yang dapat menarik hikmahnya. Mudah-mudahan bermanfaat 😀
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah swt. Tak saya duga
sebelumnya, kesempatan menunaikan ibadah haji datang begitu cepat. Tadinya saya
tak berharap banyak. Biaya yang tak sedikit untuk melakukan perjalanan haji
membuat saya, yang kala itu baru memulai berumahtangga, tidak sampai berharap
terlalu banyak Namun alhamdulillah,
kesempatan seperti datang dengan begitu mudah, dengan izin Allah.
Persiapan Berhaji Membawa si Kecil
Persiapan Berhaji Membawa si Kecil
Awalnya,
ketika suami mendapat kesempatan bekerja di sebuah rumah sakit pemerintah di Madinah, Saudi
Arabia. Tujuh bulan setelah keberangkatan
suami, saya menyusul dengan membawa si kecil yang baru berusia sembilan bulan.
Saat itu, kami sudah memiliki keinginan untuk dapat menunaikan ibadah haji.
Namun karena melihat situasi dan kondisi, harapan itu pun disesuaikan dengan
realita. Izin suami untuk berhaji tak begitu saja mudah diperoleh, karena
kesempatan untuk cuti haji harus bergiliran dengan rekan-rekan suami.
Seiring bulan haji yang semakin mendekat, ternyata kami banyak mendapat kemudahan, termasuk izin cuti dari rumah sakit untuk melaksanakan haji. Dengan demikian, persiapan untuk berhaji pun mulai dilakukan. Satu hal yang menjadi pokok pikiran kami adalah si kecil yang hendak dibawa berhaji. Rencana membawa anak naik haji awalnya sempat menimbulkan rasa cemas dihati. Maklum saat itu usia anak kami, Fathan baru 15 bulan. Belum lagi nasihat dari keluarga dan teman-teman yang khawatir akan kesehatan fathan dalam perjalanan kelak. Namun karena niat yang sudah menggebu maka kami bulatkan tekad untuk berhaji tahun itu walaupun harus membawa fathan.
Seiring bulan haji yang semakin mendekat, ternyata kami banyak mendapat kemudahan, termasuk izin cuti dari rumah sakit untuk melaksanakan haji. Dengan demikian, persiapan untuk berhaji pun mulai dilakukan. Satu hal yang menjadi pokok pikiran kami adalah si kecil yang hendak dibawa berhaji. Rencana membawa anak naik haji awalnya sempat menimbulkan rasa cemas dihati. Maklum saat itu usia anak kami, Fathan baru 15 bulan. Belum lagi nasihat dari keluarga dan teman-teman yang khawatir akan kesehatan fathan dalam perjalanan kelak. Namun karena niat yang sudah menggebu maka kami bulatkan tekad untuk berhaji tahun itu walaupun harus membawa fathan.
Sebelum keberangkatan, sebisa
mungkin saya mempersiapkan segala kebutuhan Fathan selengkap lengkapnya, mulai
dari susu, makanan, pampers, pakaian
sampai obat-obatan. Namun masih terselip kekhawatiran karena baru kali ini kami
menempuh perjalanan jauh dalam waktu yang cukup lama (kurang lebih seminggu)
bersama Fathan. Kekhawatiran ini juga muncul karena dalam perjalanan haji
pertama kali ini, kami dan rombongan teman-teman akan berngoboy ria atau lazimnya disebut haji ngoboy. Disebut ngoboy
mungkin karena sifatnya mandiri seperti koboy, kemana-mana membawa ransel,
tinggal di kemah yang dibawa dan dibangun sendiri bahkan kendaraan pun harus
kami usahakan sendiri. Berbeda dengan biro perjalanan haji yang resmi,
akomodasi dan transportasi benar-benar kami urus sendiri, serta tidak memakai
tasyrih atau izin resmi untuk berhaji dari pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia
karena hanya diberikan pada biro travel resmi dan tidak dijual ke perorangan. Kami memilih ngoboy dengan pertimbangan ini ibadah haji wajib kami (pertama
kali) dan kami memilih mengerjakan haji
tamatu dimana amalan haji yang paling afdhol menurut Rasulullah SAW adalah haji tamatu. Kemandirian anggota rombongan benar-benar dituntut. Oleh karena
itu sempat terlintas dalam pikiran saya, akan sanggupkah saya berhaji koboy sambil membawa anak yang masih
batita ini? Dengan basmallah, saya dan suami memulai menempuh perjalanan
ini.
Ditolak Masuk Mekah
Ditolak Masuk Mekah
Perjalanan dimulai ba’da isya pada
tanggal 5 januari 2006 atau 5 Dzulhijah 1426
Hijriah. Anggota rombongan berjumlah sepuluh orang, terdiri dari tujuh orang
laki-laki, dua orang perempuan dan seorang bayi. Anggota perempuan hanya saya
berdua dengan dr. Tasfiyah yang berangkat haji berdua dengan suaminya.
Rombongan menumpang mobil GMC ( Chevrolet Suburban) yang bermuatan cukup banyak
dengan disopiri oleh sorang pria warga negara arab. Biaya yang dibayar untuk
perjalanan ini sekitar 250 real
perpenumpang. Memang karena musim haji, biaya perjalanan yang diminta
berlipat-lipat dari tarif normal. Biasanya untuk tarif perjalanan Mekah-Madinah
yang normal sekitar 50 real perpenumpang.
Setengah jam perjalanan kami tiba di Bir Ali atau miqot untuk daerah Madinah.
Saat itu suasana di Bir Ali sudah ramai oleh calon jamaah haji dari berbagai
negara. Setelah berniat ihrom dan sholat dua rakaat dimulailah perjalanan
panjang menuju kota
suci Mekah. Perjalanan relatif lancar sampai mendekati kota Mekah.
Sudah menjelang dini hari saat kami memasuki check point kota Mekah, di Kerajaan Saudi Arabia untuk keluar atau masuk satu kota ada pemeriksaan polisi untuk kelengkapan identitas atau di sebut juga check point. Setelah diperiksa oleh petugas di check point ternyata mobil kami ditolak masuk Mekah dan diminta kembali ke Madinah. Penyebabnya adalah karena rombongan kami tidak mempunyai tasyrih yaitu surat izin resmi memasuki kota Mekah. Memang menjelang pelaksanaan ibadah haji suasana pengamanan di pintu masuk kota Mekah luar biasa ketat. Polisi tidak segan-segan memulangkan setiap mobil yang tidak memiliki izin resmi. Itulah yang terjadi dengan kami. Apa boleh buat, meski Fathan sudah didudukkan di depan disebelah sopir, dengan tujuan polisi bakal tergugah hatinya, tetap saja hal itu tidak berpengaruh.
Sudah menjelang dini hari saat kami memasuki check point kota Mekah, di Kerajaan Saudi Arabia untuk keluar atau masuk satu kota ada pemeriksaan polisi untuk kelengkapan identitas atau di sebut juga check point. Setelah diperiksa oleh petugas di check point ternyata mobil kami ditolak masuk Mekah dan diminta kembali ke Madinah. Penyebabnya adalah karena rombongan kami tidak mempunyai tasyrih yaitu surat izin resmi memasuki kota Mekah. Memang menjelang pelaksanaan ibadah haji suasana pengamanan di pintu masuk kota Mekah luar biasa ketat. Polisi tidak segan-segan memulangkan setiap mobil yang tidak memiliki izin resmi. Itulah yang terjadi dengan kami. Apa boleh buat, meski Fathan sudah didudukkan di depan disebelah sopir, dengan tujuan polisi bakal tergugah hatinya, tetap saja hal itu tidak berpengaruh.
Akhirnya
dengan lunglai mobil diputar kembali ke arah Madinah. Plan B pun disusun. Perjanjian awal, sopir akan berusaha sedapatnya
sampai kami bisa masuk kota Mekah, namun apabila
gagal, kami harus pulang ke Madinah atau mencari alternatif masuk kota Mekah tanpa harus
melalui jalur resmi. Akhirnya pak sopir pun mencoba mencari jalan tikus yang
bisa digunakan memasuki kota
Mekah. Dini hari itu, kami berputar-putar mencari jalan masuk yang sekiranya
dapat digunakan masuk kota
Mekah. Namun berkali-kali gagal, mobil selalu akhirnya berputar arah karena
menemui jalan buntu. Suasana mulai tegang. Saya pun hanya dapat pasrah tapi
dalam hati saya tak henti berdo’a agar kami dapat masuk kota Mekah dengan lancar.
Kira-kira pukul 3 dinihari, setelah menanyakan kepada petugas pom bensin berkebangsaan pakistan, kami ditunjukkan arah jalan lama menuju kota mekah yang sudah lama tidak digunakan. Jalan itu melewati padang pasir. Suasana sangat gelap ketika mobil kami menelusuri jalan tersebut. Tidak ada penerangan sedikit pun selain dari lampu mobil. Rumah penduduk tidak nampak. Hanya ada patok-patok tanda jalan yang samar-samar terlihat. Suara anjing bersahut-sahutan mengejar mobil kami, mungkin merasa terganggu. Saat itu saya benar-benar pasrah. Bayangan kejadian apabila kami tersesat di padang pasir atau mobil tiba-tiba mogok dan bayangan lainnya bercampur baur dalam benak saya. Fathan tampak nyenyak dalam pangkuan saya, tidak terganggu kegelisahan seisi mobil.
Setelah beberapa lama berjalan menembus gelapnya padang pasir, akhirnya kami bertemu juga dengan jalan beraspal yang-sayangnya-lagi-lagi dijaga petugas polisi arab. Setelah menunjukkan bukti diri seperti Iqomah (surat izin menetap seperti KITAS) dan paspor, akhirnya kami dibiarkan lewat. Sepertinya polisi maklum bahwa kami adalah jamaah haji tidak resmi namun tetap memberikan kesempatan juga pada kami. Alhamdulillah, ketegangan mencair setelah melewati check point tersebut. Mobil kembali muncul di jalan raya Mekah – Madinah. Namun sayangnya lagi-lagi kami kembali harus dag-dig-dug karena munculnya mobil dekat sekali dengan check point pertama tempat kami ditolak tadi. Seruan kekecewaan terdengar. Terbayang perjalanan yang telah ditempuh sampai saat ini apabila kemudian kami ditolak lagi masuk kota Mekah. Namun kekecewaan kami segera berganti kegembiraan karena mobil ternyata dapat berputar arah ke jalur menuju Mekah tanpa melalui check point tersebut. Alhamdulillah… Subhanallah… Allahu Akbar.. puji syukur terdengar. Akhirnya kami bisa masuk Mekah dengan lancar.
Ternyata kami masih belum bisa tenang karena di perjalanan kembali ada gangguan. Pak sopir protes meminta tambahan biaya, mungkin karena kelelahan mencari jalan pintas ke Mekah tadi. Akhirnya kami sepakat memberikan tambahan. Rupa-rupanya dia masih kurang puas. Akhirnya untuk menghindari perselisihan lebih jauh, kami minta diturunkan di jalan. Masih beberapa kilometer lagi sebelum tempat pemondokan kami, sementara azan subuh telah berkumandang dari masjidil harom (perjalanan normal Madinah – Makkah hanya 3 sampai 4 jam dengan mobil pribadi dan 6 jam dengan memakai bus). Dari sana kami naik taksi menuju pemondokan. Subuh itu kami beristirahat sebelum siangnya mulai melaksanakan tawaf dan sa’i untuk umroh di Masjidil haram.
Kira-kira pukul 3 dinihari, setelah menanyakan kepada petugas pom bensin berkebangsaan pakistan, kami ditunjukkan arah jalan lama menuju kota mekah yang sudah lama tidak digunakan. Jalan itu melewati padang pasir. Suasana sangat gelap ketika mobil kami menelusuri jalan tersebut. Tidak ada penerangan sedikit pun selain dari lampu mobil. Rumah penduduk tidak nampak. Hanya ada patok-patok tanda jalan yang samar-samar terlihat. Suara anjing bersahut-sahutan mengejar mobil kami, mungkin merasa terganggu. Saat itu saya benar-benar pasrah. Bayangan kejadian apabila kami tersesat di padang pasir atau mobil tiba-tiba mogok dan bayangan lainnya bercampur baur dalam benak saya. Fathan tampak nyenyak dalam pangkuan saya, tidak terganggu kegelisahan seisi mobil.
Setelah beberapa lama berjalan menembus gelapnya padang pasir, akhirnya kami bertemu juga dengan jalan beraspal yang-sayangnya-lagi-lagi dijaga petugas polisi arab. Setelah menunjukkan bukti diri seperti Iqomah (surat izin menetap seperti KITAS) dan paspor, akhirnya kami dibiarkan lewat. Sepertinya polisi maklum bahwa kami adalah jamaah haji tidak resmi namun tetap memberikan kesempatan juga pada kami. Alhamdulillah, ketegangan mencair setelah melewati check point tersebut. Mobil kembali muncul di jalan raya Mekah – Madinah. Namun sayangnya lagi-lagi kami kembali harus dag-dig-dug karena munculnya mobil dekat sekali dengan check point pertama tempat kami ditolak tadi. Seruan kekecewaan terdengar. Terbayang perjalanan yang telah ditempuh sampai saat ini apabila kemudian kami ditolak lagi masuk kota Mekah. Namun kekecewaan kami segera berganti kegembiraan karena mobil ternyata dapat berputar arah ke jalur menuju Mekah tanpa melalui check point tersebut. Alhamdulillah… Subhanallah… Allahu Akbar.. puji syukur terdengar. Akhirnya kami bisa masuk Mekah dengan lancar.
Ternyata kami masih belum bisa tenang karena di perjalanan kembali ada gangguan. Pak sopir protes meminta tambahan biaya, mungkin karena kelelahan mencari jalan pintas ke Mekah tadi. Akhirnya kami sepakat memberikan tambahan. Rupa-rupanya dia masih kurang puas. Akhirnya untuk menghindari perselisihan lebih jauh, kami minta diturunkan di jalan. Masih beberapa kilometer lagi sebelum tempat pemondokan kami, sementara azan subuh telah berkumandang dari masjidil harom (perjalanan normal Madinah – Makkah hanya 3 sampai 4 jam dengan mobil pribadi dan 6 jam dengan memakai bus). Dari sana kami naik taksi menuju pemondokan. Subuh itu kami beristirahat sebelum siangnya mulai melaksanakan tawaf dan sa’i untuk umroh di Masjidil haram.
Labbaika Allahuma Labbaik….Tiba di
Masjidil haram, merupakan kenikmatan luar biasa setiap kali menatap ka’bah.
Keindahan yang terasa masuk menelusup disela-sela relung hati. Perasaan takjub
dan pasrah bercampur jadi satu. Meski sudah berkali-kali saya melihat ka’bah
ketika melaksanakan umroh sebelumnya namun tetap saja perasaan yang hadir
setiap kali melihat ka’bah selalu sama. Takjub dan pasrah pada kehendak Allah.
Perasaan saya bertambah takjub ketika melihat banyaknya jumlah jamaah haji yang
berada di masjidil haram. Suasana begitu padat. Tetapi ketika melihat selayang
pandang, saya jarang menjumpai anak-anak kecil yang ikut berhaji. Mungkin
karena khawatir, maka jamaah haji dalam negeri kebanyakan menitipkan anaknya
daripada harus membawa-bawa anak selama pelaksanaan haji. Kami sekeluarga yang
berhaji dengan membawa fathan menjadi pemandangan yang agak tidak biasa. Wajar
saja kalau ketika itu orang-orang tampak begitu gemas melihat fathan. Pipi
fathan dicubiti sampai merah. Selain pada dasarnya kebanyakan warga timur
tengah memang sangat menyukai anak-anak, mungkin mereka juga cukup appreciate melihat keberanian membawa
anak kecil untuk ikut berhaji.
Berkemah di Mina
Berkemah di Mina
Pada
tanggal 8 Dzulhijah1426 H, pagi itu kami mulai bersiap
menuju Mina. Perbekalan mie instan, tenda dan selimut pun dipersiapkan. Alhamdulillah Fathan sama sekali tidak menyusahkan,
tampaknya dia enjoy betul dengan
suasana sibuk disekelilingnya. Jam delapan pagi kami berangkat ke Mina
menumpang mobil angkutan dengan membayar 10 real
per orang. Sampai di Mina, kami mencari tempat yang cocok untuk mendirikan
tenda. Setelah sempat sedikit bersitegang dengan para ngoboyers dari negara lain untuk memperebutkan tempat strategis dan
terkadang diusir oleh petugas haji dari arab saudi, kami dapat mendirikan dua
buah tenda, satu untuk bapak-bapak dan yang lebih kecil untuk ibu-ibu.
Ternyata,
jumlah jamaah haji ngoboy ini cukup
banyak. Mereka berasal dari berbagai negara; Arab Saudi sendiri, Turki,
Bangladesh, Pakistan, india, Mesir, Sudan bahkan dari Chechnya. Subhanallah. Tampak kemah mereka
berbagai ukuran, mulai dari yang mungil sekali sampai ukuran jumbo. Ada pula yang tidak
bertenda alias hanya beratapkan langit dan beralaskan selimut untuk tidur.
Sambil melepas lelah, kami sempat memasak nasi dan mie instan. Kami waktu itu
telah menyiapkan dua buah kompor gas kecil yang dapat dibawa kemana-mana. Namun
sedang asyik-asyiknya berkumpul sambil menikmati teh susu panas, kedua kompor kami melayang disita petugas. Apa
boleh buat, terpaksa kami relakan kompor itu dibawa bersama lenyapnya angan-angan sedapnya makan mie
panas-panas.
Perjuangan Menuju Arafah dan Musdalifah
Perjuangan Menuju Arafah dan Musdalifah
Setelah
shalat subuh sambil menunggu matahari terbit kami bersiap menuju Arafah, suara
talbiyah, tasbih dan takbir terdengar menggema dari segala penjuru. Rombongan pun
berusaha mencegat mobil yang dapat membawa kami ke padang Arafah. Cukup lama berusaha tidak satu
jua mobil yang berhenti. Akhirnya kami pindah lokasi. Dengan sedikit
perjuangan, mobil dapat diperoleh. Sempat ada adegan yang lucu-lucu mendebarkan
antara saya, suami dan fathan. Saat itu, untuk menyetop mobil cukup sulit,
karena mobil sama sekali tidak boleh berhenti. Akhirnya saya naik lebih dulu
bersama dr. Tasfiyah, kami bersaing
berebut tempat duduk di mobil dengan beberapa perempuan asal Sudan.
Dibelakang, suami saya mengejar sembari menggendong fathan dan menarik kopor
yang lumayan berat. Sempat beberapa menit terjadi adegan kejar-kejaran bak film
sebelum fathan akhirnya berhasil masuk mobil. Demikian pula, kopor akhirnya
bertengger di atas mobil. Ya, saking penuhnya mobil, teman-teman duduk diatas
kap mobil bersama dengan kopor dan ransel bawaan kami.
Sampai di
Arafah menjelang dhuhur. Kami bergerak menuju Masjid Namirah. Subhanallah
padatnya. Bahkan karena padatnya arus manusia dan banyak yang tidak sabar
terjadilah saling dorong mendorong, saling desak sehingga ada yang terjatuh dan
terinjak injak sampai meninggal. Kami hanya dapat berputar-putar di halaman
masjid, tidak dapat masuk masjid. Rombongan sempat tercerai berai. Saya
menyaksikan suasana yang luar biasa padat sempat stress juga. Apalagi ketika
itu fathan dan ayahnya sempat terpisah dari saya. Pikiran saya saat itu kacau.
Bagaimana kondisi fathan ditengah orang sepadat ini. Saya hanya dapat berdoa
sembari dengan gelisah menunggu di pintu keluar. Dalam suasana padat ini,
dompet dr Tasfiyah sempat dicuri. Untungnya surat-surat berharga berupa dokumen
identitas diri masih bisa terselamatkan.
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya suami plus fathan dalam gendongan pun muncul. Tak terkira senangnya hati saya seraya berucap syukur. Menurut cerita suami, saking padatnya, ia sampai dua kali terdorong arus manusia berputar kembali ke mesjid saat hendak keluar. Akhirnya ia mencoba beristirahat terutama karena hendak melihat kondisi fathan yang anteng dalam gendongan serta sudah kehabisan tenaga untuk bisa menjaga Fathan supaya tidak tergencet bahkan sempat sudah membayangkan terjadi hal yang terburuk. Ia khawatir fathan pingsan. Alhamdulillah fathan hanya tertidur dalam gendongan ayahnya. Namun mencari tempat sekedar berteduh pun ternyata tidak semudah itu. Ia sempat berteduh di warung milik orang indonesia yang didirikan disana namun si pemilik keberatan. Untungnya tetangga warung yang juga orang indonesia kasihan dan mempersilakan fathan dan ayahnya berteduh sebentar. Malah sempat diberi minum dan susu segala.
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya suami plus fathan dalam gendongan pun muncul. Tak terkira senangnya hati saya seraya berucap syukur. Menurut cerita suami, saking padatnya, ia sampai dua kali terdorong arus manusia berputar kembali ke mesjid saat hendak keluar. Akhirnya ia mencoba beristirahat terutama karena hendak melihat kondisi fathan yang anteng dalam gendongan serta sudah kehabisan tenaga untuk bisa menjaga Fathan supaya tidak tergencet bahkan sempat sudah membayangkan terjadi hal yang terburuk. Ia khawatir fathan pingsan. Alhamdulillah fathan hanya tertidur dalam gendongan ayahnya. Namun mencari tempat sekedar berteduh pun ternyata tidak semudah itu. Ia sempat berteduh di warung milik orang indonesia yang didirikan disana namun si pemilik keberatan. Untungnya tetangga warung yang juga orang indonesia kasihan dan mempersilakan fathan dan ayahnya berteduh sebentar. Malah sempat diberi minum dan susu segala.
Akhirnya
kami sepakat untuk mencari tempat yang agak jauh dari mesjid Namirah tetapi
masih berada dalam area padang
Arafah. Setelah mendirikan tenda diterik siang yang menyengat, kami dapat
beristirahat. Alhamdulillah kami memperoleh
beberapa kotak minuman yang dibagikan gratis sebagai bekal. Untuk makanan,
karena sulit menemukan yang berjualan makanan akhirnya kami hanya makan roti kobus
dan ayam goreng sisa kemarin. Ba’da dhuhur kami wukuf, setelah itu kami beristirahat. Ketika terbangun pukul lima sore, subhanallah, sekeliling tenda telah
menjadi sangat ramai. Rombongan jamaah haji telah bersiap hendak berjalan kaki
menuju Musdalifah. Hanya tinggal satu dua tenda yang masih berdiri. Salah
satunya tenda kami. Secepat kilat kami merubuhkan dan membereskan tenda.
Saat matahari terbenam barulah rombongan bergerak menuju Musdalifah. Saking banyaknya orang, setelah sekitar dua jam barulah jalan agak sepi dari padatnya manusia yang berjalan kaki berganti dengan rombongan bus dan mobil pribadi. Saat itu kami menyempatkan diri untuk mandi di kamar mandi umum yang sebelumnya hanya untuk buang air kecilpun harus menunggu antrian yang sangat panjang sehingga dokter tasfiyah sempat menggunakan kartu dokternya hanya supaya kami berdua diperbolehkan buang air di layanan kesehatan haji Saudi. Ba’da isya kami berangkat ke Musdalifah. Lagi-lagi mencari tumpangan. Alhamdulillah kami mendapat bus yang lumayan nyaman, membayar sekitar 20 real perorang. Namun karena padatnya jalan, bus pun mengalami kemacetan. Berjam-jam kami menempuh jarak Arafah-Musdalifah yang sebenarnya tergolong dekat. Tengah malam kami turun di Musdalifah. Kami mabit dan mendirikan tenda sampai menjelang fajar. Di Musdalifah kami menemukan orang yang berjualan makanan sehingga kami bisa makan nasi kari hangat untuk mengganjal perut.
Saat matahari terbenam barulah rombongan bergerak menuju Musdalifah. Saking banyaknya orang, setelah sekitar dua jam barulah jalan agak sepi dari padatnya manusia yang berjalan kaki berganti dengan rombongan bus dan mobil pribadi. Saat itu kami menyempatkan diri untuk mandi di kamar mandi umum yang sebelumnya hanya untuk buang air kecilpun harus menunggu antrian yang sangat panjang sehingga dokter tasfiyah sempat menggunakan kartu dokternya hanya supaya kami berdua diperbolehkan buang air di layanan kesehatan haji Saudi. Ba’da isya kami berangkat ke Musdalifah. Lagi-lagi mencari tumpangan. Alhamdulillah kami mendapat bus yang lumayan nyaman, membayar sekitar 20 real perorang. Namun karena padatnya jalan, bus pun mengalami kemacetan. Berjam-jam kami menempuh jarak Arafah-Musdalifah yang sebenarnya tergolong dekat. Tengah malam kami turun di Musdalifah. Kami mabit dan mendirikan tenda sampai menjelang fajar. Di Musdalifah kami menemukan orang yang berjualan makanan sehingga kami bisa makan nasi kari hangat untuk mengganjal perut.
Kembali ke Mina
Setelah subuh sebelum matahari terbit kami bersiap pergi ke Mina. Dari Musdalifah, memperoleh mobil tidak terlalu sulit. Namun perjalanan dihadang kemacetan yang luar biasa. Perjalanan yang biasanya hanya dua jam molor sampai enam jam bahkan para pejalan kaki tiba di Mina lebih awal. Alhamdulillah Fathan tidak terlalu rewel. Kalaupun sedikit rewel hal itu sangat wajar, karena mobil hampir-hampir tidak bergerak selama beberapa jam. Suasana di mobil pengap dan badan pegal-pegal. Si sopir, mungkin saking bosannya dengan macet, lebih sering turun dari mobil untuk bertindak sebagai pengatur lalu lintas atau berjalan-jalan. Alhasil mobil akhirnya malah dikemudikan oleh salah seorang penumpangnya.
Jam dua
siang kami tiba di Mina. Setelah mencari tempat yang dekat dengan tempat
melempar jumroh, akhirnya kami mendirikan tenda. Sebanyak tiga tenda kami
dirikan berdekatan. Menjelang malam, tenda kami sudah berada ditengah lautan
tenda. Ketika malam tiba, suasana di sekitar tenda seperti pasar. Antara orang
yang memasang tenda dan yang berjualan sangat ramai. Celah atau jarak antar
tenda menjadi sedemikian sempit. Meskipun letak tenda cukup strategis namun
untuk mencari wc umum agak sulit. Selain jarak yang agak jauh dan antrian yang
penuh, wc seringkali dalam kondisi kotor
dan tidak ada air. Faktor sanitasi kadang memang tidak diindahkan dalam suasana
seperti itu. Dalam kondisi demikian, seringkali saya berjumpa dengan tenaga
kerja wanita asal indonesia
yang saat itu sedang menunaikan ibadah haji atas izin majikannya.
Terdesak Saat Melempar Jumroh
Pada saat
lempar jumroh pertama (jumroh Aqobah) tidak ada hambatan apapun
yang kami alami. Bahkan kami sempat membawa fathan ikut serta melempar jumroh.
Saat itu saya sempat takabur. Terlintas dipikiran saya… mana nih…katanya lempar jumroh padat, sepi begini koq… Hal itu
terjawab ketika kami melempar jumroh
kali ketiga pada tanggal 12 Ddzulhijah. Karena kami mengambil Nafar awal maka kami memutuskan untuk
pulang pada hari itu juga. Lempar jumroh
rencananya akan kami lakukan seusai sholat duhur karena sebelum ashar kami
harus secepatnya keluar dari Mina. Maka setelah menitipkan fathan pada seorang
teman, saya dan suami berangkat untuk melempar jumroh Sughra, Wustha dan Aqobah.
Ketika mendekati tempat lempar jumroh
suasana padat sudah mulai terasa. Bahkan saya sempat terdesak ketika baru
melangkah masuk. Padahal tempat kami masuk berada disekitar ambulans. Tentu
saja beberapa pasien yang sedang berdiri menunggu giliran di dekat ambulans pun
ikut terdesak. Ketika saya dan suami menyelinap masuk untuk melempar jumrah Sughra suasana kacau sekali. Orang saling mendorong.
Saya berpegangan kuat-kuat pada suami akan tetapi tetap saja butuh kekuatan
besar untuk lolos dari kerumunan. Saat itu saya benar-benar merasa sangat
lemah. Jilbab saya hampir terlepas, demikian pula kacamata sudah dalam posisi
rawan. Subhanallah….saat itu saya
benar-benar merasa sangat tak berdaya meskipun sudah berjuang sekuat tenaga.
Saya sempat melihat beberapa orang wanita yang berhasil keluar dari kerumunan,
jilbabnya sudah terlepas. Dengan mengerahkan tenaga, akhirnya saya dan suami
berhasil keluar dari kerumunan. Dalam keadaan shock dan gemetaran serta jilbab dan kacamata yang miring akhirnya
suami mengambil keputusan untuk mewakili saya dan fathan pada lempar jumrah selanjutnya. Sebenarnya saya
sangat ingin melakukannya sendiri tetapi mengingat hal yang baru saja saya
lalui, saya merasa tidak sanggup.
Saya
kembali ke tenda dan menunggu disana. Awalnya saya pikir saya saja yang
mengalami nasib demikian, namun ternyata kawan-kawan kami juga bernasib sama. Ada sepasang suami istri
yang juga rekan sejawat di saudi mengalami peristiwa mendebarkan. Saat itu
mereka bermaksud akan melempar jumroh
dan menitipkan putrinya yang berusia 6 tahun kepada kami. Lama kami tunggu
mereka tidak juga muncul, sementara kami sudah bersiap untuk pergi secepatnya
menuju Aziziah. Akhirnya dengan wajah pucat dan kondisi shock mereka muncul. Ternyata pada saat melempar jumroh di lantai atas, mereka nyaris
terjepit dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Orang-orang disekitar mereka
banyak yang sudah menemui ajal karena terjepit. Sang istri bahkan nyaris tak
tertolong kalau tidak diselamatkan oleh seorang polisi saudi yang berjaga.
Ketika bertemu kami, mereka sampai meneteskan air mata disertai ucapan puji
syukur Allah masih berkenan memanjangkan usia mereka.
Kembali Berhaji
Kembali Berhaji
Demikian
perjalanan haji yang kami lalui di awal tahun 2006. Alhamdulillah tahun berikutnya, saya sekeluarga masih mendapat
kesempatan untuk melakukan ibadah haji, namun tidak disangka, kami kembali
melakukan haji ngoboy atau tepatnya
semi ngoboy. Berbeda dengan tahun
lalu dimana cuaca pada saat kami berhaji cukup bersahabat, tahun ini kebetulan
sedang puncaknya musim dingin. Saya berangkat menunaikan ibadah haji bersama
suami dan ibu mertua, tentu tak lupa fathan juga dibawa serta. Sempat terpikir
untuk menitipkannya pada seorang kawan karena ibu mertua sudah cukup sepuh dan
tidak kuat untuk melakukan aktifitas berat atau berjalan jauh. Namun mengingat
usian Fathan yang masih batita, rasanya tidak tega apalagi tingkat
ketergantungannya masih cukup tinggi
seperti untuk makan yang masih harus “dikejar-kejar”. Akhirnya kami sekeluarga
beserta rombongan teman-teman, masih sama dengan yang dulu yaitu dr. Tasfiyah
ditambah dr. Budi dan dr. Ali yang
membawa orang tuanya masing-masing. Kami juga didampingi rekan kami sebagai
ustad yaitu mas Bahrein. Kali ini kami pergi dengan melalui syarikah atau biro
perjalanan lokal. Bersama syarikah berarti kami dianggap sebagai rombongan haji
yang resmi karena identitas kami sebagai jamaah haji tercatat, demikian pula
masalah transportasi maupun akomodasi juga sudah ditanggung oleh penyelenggara.
Biaya yang harus kami bayarkan sekitar 1200 real.
Melalui agen resmi ini insya Allah kami dapat masuk kota Mekah melalui jalur resmi, dengan
demikian tidak harus kucing-kucingan seperti tahun lalu. Tahun ini kami
berangkat dengan lebih percaya diri berbekal pengalaman haji tahun lalu.
Tanggal 27 Desember 2006 atau 7 dzulhijah 1427 kami
serombongan pergi, satu bus bersama para TKW yang jumlahnya cukup banyak.
Mereka kebanyakan diantarkan sendiri ke basecamp
oleh majikan masing-masing. Basecamp
untuk calon jamaah haji dalam negeri asal Asia tenggara ini berada di kawasan
Asia, suatu kawasan yang banyak terdapat toko dan restoran khusus menjual
makanan dari Asia tenggara seperti Indonesia, Malaysia dan Filiphina. Hal ini
disebabkan karena kebanyakan penyelenggara haji atau syarikah berkantor disini.
Bus yang berangkat bersama rombongan kami cukup banyak, sekitar 11 bus. Hal itu
pula yang menyebabkan keterlambatan perjalanan. Jadwal keberangkatan yang
sekiranya dimulai pukul 7 molor
sampai tiga jam sehingga kami tiba di bir Ali sudah dekat waktu dhuhur. Malam
hari kami baru masuk check point Mekah.
Nyata benar pengamanan superketat yang diterapkan oleh pemerintah kerajaan
Saudi, karena kami harus antri berjam-jam di check point. Hingga menjelang tengah malam kami baru masuk kota Mekah. Perjalanan
yang ditempuh mencapai 12 jam atau dua-tiga kali lipat dari waktu tempuh
Madinah-Mekah diwaktu biasa. Terlihat banyak deretan mobil pribadi yang
diparkir di check point. Entah
menunggu antrian atau karena ditolak masuk Mekah. Yang jelas pengamanannya jauh
lebih ketat dari pada tahun lalu. Hal ini mungkin berkaitan dengan jatuhnya
pelaksanaan haji akbar pada tahun ini.
Memasuki kota Mekah, kami
beristirahat di Aziziah ketika jarum jam menunjukkan pukul 3 dinihari untuk
kemudian esok paginya kami melakukan tawaf
dan sa’i. Banyak hal terjadi yang
tidak kami duga sebelumnya. Mungkin karena kurang koordinasi, sehingga syarikah
yang kami ikuti kurang memuaskan terutama untuk pelaksanaan rukun, wajib dan
sunah haji. Melihat kondisi ini, akhirnya suami dan teman-teman berinisiatif
untuk melakukan beberapa amalan haji secara mandiri, artinya tidak ikut dengan
rombongan. Kami mengambil keputusan untuk keluar dari rombongan karena ingin
betul-betul mengamalkan rukun haji secara menyeluruh walaupun harus kembali
menjalani haji ngoboy, artinya semua
urusan transportasi dan akomodasi di Mina menjadi tanggungjawab kami sendiri.
Namun demikian, basecamp kami tetap
di Aziziah sehingga sebagian besar barang tetap kami tinggal disana. Subhanallah, mungkin karena pengalaman
tahun lalu, kali ini saya merasa lebih tangguh untuk ngoboy kembali bersama Fathan, apalagi karena usianya sudah lebih
besar, insya Allah lebih kuat. Ada
pula teman kami yang membawa serta bayinya untuk berhaji.
Dikejar-kejar Ambulance
Dikejar-kejar Ambulance
Alhamdulillah, tidak seperti tahun lalu, tahun
ini kami mendapat tempat yang benar-benar nyaman di Arafah karena dikelilingi
oleh berbagai macam tukang jualan makanan. Tepat di depan tenda yang kami
dirikan ada yang berjualan bakso dan sate lengkap dengan arang dan kipasnya,
sementara di seberang ada pula gado-gado dan gorengan lengkap dengan cobek
untuk mengulek sambal kacang. Semua
harganya rata-rata 5 sampai 10 real
perporsi. Pendeknya, tidak perlu khawatir terhadap isi perut. Yang sempat jadi
masalah adalah cuaca dingin pada pagi itu yang begitu menggigit sehingga saya,
fathan dr. tasfiyah beserta ibu kami masing-masing tidur berdempetan dalam satu
tenda saling menghangatkan. Ba’da dhuhur kami wukuf kemudian selepas isya kami bersiap pergi ke Musdalifah.
Perjalanan ke Musdalifah luar biasa padat dan macet. Sehingga waktu tempuh pun
bahkan hampir dua kali dari tahun lalu. Kami menghabiskan malam di mobil
sehingga baru tiba di musdalifah menjelang dini hari, sekitar pukul 4 pagi
dalam cuaca dingin. Kami menggelar tikar di musdalifah sambil duduk berselimut.
Karena dinginnya, selama di Musdalifah saya memeluk Fathan erat-erat meskipun
ia sudah memakai jaket tebal. Setelah fajar, kami berangkat menuju Mina namun
kali ini jumlah haji benar benar luar biasa sehingga kami baru mencapai Mina
ketika waktu shalat asyar. Subhanallah
perasaan saya kagum begitu menjumpai Mina yang sudah jauh berbeda dari tahun
lalu. Yang sangat terasa adalah semakin
lapangnya jalur dari dan ke tempat lempar jumroh.
Selain itu, untuk tempat lempar jumroh
pun sudah diperluas hingga jauh lebih luas dari tahun lalu dan menjadi satu
arah sehingga tempat masuk untuk jumroh dan tempat keluar menjadi jauh.
Dengan
kondisi Mina yang demikian, kami sempat kesulitan mencari tempat menggelar
tikar untuk duduk beristirahat. Akhirnya kami dapat menggelar tikar di depan
sebuah masjid dan rumah sakit. Saat itu tidak hanya kami, rupanya banyak
jama’ah haji lain yang bertikar. Namun karena banyaknya orang yang duduk di
depan rumah sakit, rupanya menghalangi jalan masuk ambulance ke rumah sakit.
Sehingga ambulance terpaksa melewati kumpulan orang yang duduk bertikar. Kami
pun sempat “dikejar-kejar” ambulance sehingga terpaksa tergusur dan menyingkir
sementara. Saking hebohnya, saya
sempat merasa jadi korban penggusuran. Bahkan ketika beberapa kali ambulance
lewat, saya sempat berjaga terus, khawatir ambulance menuju ke arah kami. Cuaca
waktu itu dingin sekali dan angin bertiup deras. Alhamdulillah dr. Tasfiyah
tidak lupa membawa bed cover yang
cukup tebal sehingga dapat melindungi kami dari dingin yang begitu menggigit. Setelah
lewat tengah malam kami memutuskan untuk kembali ke basecamp mengingat saat itu
tidak boleh mendirikan tenda dan terus “dikejar kejar” ambulance juga kami
mengkhawatirkan kondisi ibu mertua.
Selain pada
mabit pertama, kami juga sempat mengalami pengusiran pada mabit kedua. Ketika
itu waktu sholat subuh. Kami bergantian sholat agar dapat bergiliran menjaga
barang dan tenda. Pada saat kami sholat sempat dihampiri oleh petugas keamanan
Saudi yang mendesak kami untuk secepatnya angkat kaki dengan alasan tempat kami
mendirikan tenda merupakan tempat orang lewat. Sempat terjadi adu mulut karena
kami meminta waktu untuk dapat melaksanakan ibadah sholat dengan khusyu’ dan
tenang. Seru juga rasanya karena kami melaksanakan sholat ditengah pagar betis
para petugas.
Tarik ya Hajj...
Tarik ya Hajj...
Selama menunaikan ibadah
haji, suami saya membawa kursi roda untuk
dinaiki oleh ibu mertua dan fathan. Tidak hanya itu, terkadang kursi
roda juga berfungsi ganda untuk membawa beberapa barang yang cukup berat
sehingga dapat meringankan beban bawaan kami. Seni mendorong kursi roda
ternyata tidak mudah. Seringkali jalan yang kami lalui mendaki sementara
suasana jalan padat sehingga kadang kursi roda terhalang oleh ramainya lalu
lalang orang. Kalau sudah bergitu, kata-kata yang paling sering terucap dari
mulut saya dan suami adalah,” tarik ya
haj…hajjah…!!” yang maksudnya meminta ijin agar kursi roda kami dapat lewat
atau mendahului. Karena terdengar serupa, sampai-sampai ada yang
menyangka kami berteriak, “penjahat-penjahat…” .
Banyak kejadian lucu dan
menegangkan selama kami berhaji. Melihat pengamanan yang berlaku, kami maklum
adanya bahwa hal itu berkaitan dengan
ketertiban yang ingin diterapkan pemerintah Saudi selama di Mina dan untuk
ibadah haji secara keseluruhan. Fasilitas haji tahun 2007 ini dapat dikatakan
merupakan suatu kemajuan, baik bagi pemerintah Saudi sebagai penyelenggara
maupun bagi kenyamanan dan keamanan jamaah haji sendiri. Hal itu terbukti
dengan cukup terkendalinya pelaksanaan haji yang merupakan haji akbar dimana
umumnya jumlah jamaah haji menjadi lebih banyak dari biasa. Penataan tempat
melempar jumroh, lalu lintas jamaah
yang hendak dan sudah selesai melempar jumroh
bahkan tempat berkemahnya para haji ngoboy
seperti kami pun sudah lebih tertib dari tahun sebelumnya. Hal ini sangat saya
rasakan karena membandingkan dengan pelaksanaan tahun lalu.
Kalaupun ada sedikit kekecewaan yang saya rasakan hal itu lebih pada pelayanan syarikah yang kami ikuti. Tampaknya kurangnya koordinasi menjadi sebab utama tidak maksimalnya pelayanan syarikah tersebut. Banyak hal yang terabaikan dari pihak penyelenggara yang notabene adalah orang Indonesia yang bekerja sebagai TKI di saudi. Memang kebanyakan dari mereka mengambil momentum ibadah haji sebagai waktu untuk memperoleh rezeki lebih dari biasanya. Meskipun demikian, hal itu tentunya bukanlah pengingkaran dari keikhlasan dan upaya memperoleh pahala yang sebesar-besarnya dalam melayani tamu-tamu Allah yang kebetulan saudara sebangsa. Hal yang terasa betul oleh saya adalah masalah akomodasi dan konsumsi. Karena saya membawa anak kecil dan bersama orang tua, maka masalah ketersediaan makanan adalah hal yang sangat saya perhatikan betul. Kenyataannya, kami seringkali tidak mendapat sesuai apa yang dijanjikan sebelumnya. Demikian pula dengan rukun haji yang harus diamalkan. Terkadang seperti mengabaikan rukun haji dan tidak memperhatikan aspek kualitatifnya. Sehingga praktis para peserta menjadi sangat kurang mendapat bimbingan dalam pelaksanaan hajinya. Hal ini terjadi mungkin karena banyaknya jumlah peserta yang ikut tanpa koordinasi yang tepat karena saya mendengar syarikah lain adapula yang mampu menangani pelaksanaan haji para jama’ahnya dengan lebih baik.
Kalaupun ada sedikit kekecewaan yang saya rasakan hal itu lebih pada pelayanan syarikah yang kami ikuti. Tampaknya kurangnya koordinasi menjadi sebab utama tidak maksimalnya pelayanan syarikah tersebut. Banyak hal yang terabaikan dari pihak penyelenggara yang notabene adalah orang Indonesia yang bekerja sebagai TKI di saudi. Memang kebanyakan dari mereka mengambil momentum ibadah haji sebagai waktu untuk memperoleh rezeki lebih dari biasanya. Meskipun demikian, hal itu tentunya bukanlah pengingkaran dari keikhlasan dan upaya memperoleh pahala yang sebesar-besarnya dalam melayani tamu-tamu Allah yang kebetulan saudara sebangsa. Hal yang terasa betul oleh saya adalah masalah akomodasi dan konsumsi. Karena saya membawa anak kecil dan bersama orang tua, maka masalah ketersediaan makanan adalah hal yang sangat saya perhatikan betul. Kenyataannya, kami seringkali tidak mendapat sesuai apa yang dijanjikan sebelumnya. Demikian pula dengan rukun haji yang harus diamalkan. Terkadang seperti mengabaikan rukun haji dan tidak memperhatikan aspek kualitatifnya. Sehingga praktis para peserta menjadi sangat kurang mendapat bimbingan dalam pelaksanaan hajinya. Hal ini terjadi mungkin karena banyaknya jumlah peserta yang ikut tanpa koordinasi yang tepat karena saya mendengar syarikah lain adapula yang mampu menangani pelaksanaan haji para jama’ahnya dengan lebih baik.
Demikian,
cerita haji ngoboy yang kami lakukan
di tanah suci. Berbagai macam kejadian yang saya alami selama menunaikan ibadah
haji disana sangat meninggalkan kesan mendalam dihati. Dan ketika saya sudah
kembali ke tanah air, selalu saja ada kerinduan yang begitu kuat-bila Allah
mengijinkan saya-untuk suatu hari dapat
kembali bersimpuh di rumahNYA. Aamiin Allahumma aamiin..
Haji biasa aja pasti berkesan, apalagi yg ngoboy... Makasih sharingnya mba :)
BalasHapusIya betul:)).. sama2.. Makasih juga sudah mampir
HapusSaya gregetan baca kisahnya mbak,Subhanallah keren...saya pingin banget tinggal dimekkah tapi blum ada jalan,mhon doanya y mba,mba ada akun instagramny kah?
BalasHapusMudah2an Allah berikan kemudahan ya
HapusSeru baca tulisan nya mb, haji ngoboy bisa Ndak mb berangkat dari Indonesia
BalasHapusSepertinya belum bisa Mba/Mas. Selain datang kesana harus melalui jalur resmi, akhir2 ini kabarnya pemerintah saudi lebih memperketat penyelenggaraan haji. Mudah2an diberi kemudahan untuk menunaikan ibadah haji ya.
HapusMb ada akun Instagram
BalasHapusTerimakasih sharing pengalaman nya selama dinegara saudi juga saat ibadah haji cara coboy dan semi coboy nya ... Luar biasa menambah pengalaman buat kami dan wawasan kami... Sebenarnya kami lagi cari info u bisa tinggal disana selama 2 tahun... Tapi belum tahu jalan nya.. Semoga Allah mudah kan saya bisa tinggal di Madinah u belajar disana
BalasHapusSebaiknya melalui jalur resmi, setahu saya ada beberapa warga Indonesia yang bekerja atau melanjutkan sekolah disana.
Hapus