Kamis, 18 Januari 2018

Catatan Perjalanan 10 Tahun lalu: Kisah Haji Ngoboy

Jadi, ceritanya sekitar 10-11 tahun lalu, yaitu tahun 2006-2007 (sudah lama ya...) sebagai  mukimin  di Madinah, saya, suami dan si sulung ( waktu itu anak baru satu)  pernah  menunaikan ibadah haji dengan cara Ngoboy a.k.a Mandiri. Karena begitu berkesan, kisah serunya haji ngoboy ini  pernah saya  tulis dan alhamdulillah dimuat di Majalah "Noor" terbitan  bulan Desember tahun 2007 sebagai tulisan perdana saya yang dimuat di media massa. Nah setelah satu dasawarsa berlalu,  saya  ingin menyimpan tulisan atau catatan  perjalanan ini di blog sebagai kenang-kenangan agar mungkin kelak anak-cucu saya dapat membacanya (jauh amat😝😂...) atau ada pembaca yang dapat menarik hikmahnya. Mudah-mudahan bermanfaat 😀






       Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah swt. Tak saya duga sebelumnya, kesempatan menunaikan ibadah haji datang begitu cepat. Tadinya saya tak berharap banyak. Biaya yang tak sedikit untuk melakukan perjalanan haji membuat saya, yang kala itu baru memulai berumahtangga, tidak sampai berharap terlalu banyak Namun alhamdulillah, kesempatan seperti datang dengan begitu mudah, dengan izin Allah.

Persiapan Berhaji Membawa si Kecil
              Awalnya, ketika suami mendapat kesempatan bekerja di sebuah rumah sakit pemerintah di Madinah, Saudi Arabia. Tujuh bulan setelah keberangkatan suami, saya menyusul dengan membawa si kecil yang baru berusia sembilan bulan. Saat itu, kami sudah memiliki keinginan untuk dapat menunaikan ibadah haji. Namun karena melihat situasi dan kondisi, harapan itu pun disesuaikan dengan realita. Izin suami untuk berhaji tak begitu saja mudah diperoleh, karena kesempatan untuk cuti haji harus bergiliran dengan rekan-rekan suami.
             Seiring bulan haji yang semakin mendekat, ternyata kami banyak mendapat kemudahan, termasuk izin cuti dari rumah sakit untuk melaksanakan haji. Dengan demikian, persiapan untuk berhaji pun mulai dilakukan. Satu hal yang menjadi pokok pikiran kami adalah si kecil yang hendak dibawa berhaji. Rencana membawa anak naik haji awalnya sempat menimbulkan rasa cemas dihati. Maklum saat itu usia anak kami,  Fathan  baru 15 bulan. Belum lagi nasihat dari keluarga dan teman-teman yang khawatir akan kesehatan fathan dalam perjalanan kelak. Namun karena niat yang sudah menggebu maka kami bulatkan tekad untuk berhaji tahun itu walaupun harus membawa fathan. 

            Sebelum keberangkatan, sebisa mungkin saya mempersiapkan segala kebutuhan Fathan selengkap lengkapnya, mulai dari susu, makanan, pampers, pakaian sampai obat-obatan. Namun masih terselip kekhawatiran karena baru kali ini kami menempuh perjalanan jauh dalam waktu yang cukup lama (kurang lebih seminggu) bersama Fathan. Kekhawatiran ini juga muncul karena dalam perjalanan haji pertama kali ini, kami dan rombongan teman-teman akan berngoboy ria atau lazimnya disebut haji ngoboy. Disebut ngoboy mungkin karena sifatnya mandiri seperti koboy, kemana-mana membawa ransel, tinggal di kemah yang dibawa dan dibangun sendiri bahkan kendaraan pun harus kami usahakan sendiri. Berbeda dengan biro perjalanan haji yang resmi, akomodasi dan transportasi benar-benar kami urus sendiri, serta tidak memakai tasyrih atau izin resmi untuk berhaji dari pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia karena hanya diberikan pada biro travel resmi dan tidak dijual ke perorangan.  Kami memilih ngoboy dengan pertimbangan ini ibadah haji wajib kami (pertama kali) dan kami memilih mengerjakan haji tamatu dimana amalan haji yang paling afdhol menurut Rasulullah SAW adalah haji tamatu. Kemandirian anggota rombongan benar-benar dituntut. Oleh karena itu sempat terlintas dalam pikiran saya, akan sanggupkah saya berhaji koboy sambil membawa anak yang masih batita ini? Dengan basmallah,  saya dan suami memulai menempuh perjalanan ini.

 Ditolak Masuk Mekah
               Perjalanan dimulai ba’da isya pada tanggal 5 januari 2006 atau 5 Dzulhijah 1426 Hijriah. Anggota rombongan berjumlah sepuluh orang, terdiri dari tujuh orang laki-laki, dua orang perempuan dan seorang bayi. Anggota perempuan hanya saya berdua dengan dr. Tasfiyah yang berangkat haji berdua dengan suaminya. Rombongan menumpang mobil GMC ( Chevrolet Suburban) yang bermuatan cukup banyak dengan disopiri oleh sorang pria warga negara arab. Biaya yang dibayar untuk perjalanan ini sekitar 250 real perpenumpang. Memang karena musim haji, biaya perjalanan yang diminta berlipat-lipat dari tarif normal. Biasanya untuk tarif perjalanan Mekah-Madinah yang normal sekitar 50 real perpenumpang. Setengah jam perjalanan kami tiba di Bir Ali atau miqot untuk daerah Madinah. Saat itu suasana di Bir Ali sudah ramai oleh calon jamaah haji dari berbagai negara. Setelah berniat ihrom dan sholat dua rakaat dimulailah perjalanan panjang menuju kota suci Mekah. Perjalanan relatif lancar sampai mendekati kota Mekah. 
                    Sudah menjelang dini hari saat kami memasuki check point kota Mekah, di Kerajaan Saudi Arabia untuk keluar atau masuk satu kota ada pemeriksaan polisi untuk kelengkapan identitas atau di sebut juga check point. Setelah diperiksa oleh petugas di check point ternyata mobil kami ditolak masuk Mekah dan diminta kembali ke Madinah. Penyebabnya adalah karena rombongan kami tidak mempunyai tasyrih yaitu surat izin resmi memasuki kota Mekah. Memang menjelang pelaksanaan ibadah haji suasana pengamanan di pintu masuk kota Mekah luar biasa ketat. Polisi tidak segan-segan memulangkan setiap mobil yang tidak memiliki izin resmi. Itulah yang terjadi dengan kami. Apa boleh buat, meski Fathan sudah didudukkan di depan disebelah sopir, dengan tujuan polisi bakal tergugah hatinya, tetap saja hal itu tidak berpengaruh.
          Akhirnya dengan lunglai mobil diputar kembali ke arah Madinah. Plan B pun disusun. Perjanjian awal, sopir akan berusaha sedapatnya sampai kami bisa masuk kota Mekah, namun apabila gagal, kami harus pulang ke Madinah atau mencari alternatif masuk kota Mekah tanpa harus melalui jalur resmi. Akhirnya pak sopir pun mencoba mencari jalan tikus yang bisa digunakan memasuki kota Mekah. Dini hari itu, kami berputar-putar mencari jalan masuk yang sekiranya dapat digunakan masuk kota Mekah. Namun berkali-kali gagal, mobil selalu akhirnya berputar arah karena menemui jalan buntu. Suasana mulai tegang. Saya pun hanya dapat pasrah tapi dalam hati saya tak henti berdo’a agar kami dapat masuk kota Mekah dengan lancar. 
      Kira-kira pukul 3 dinihari, setelah menanyakan kepada petugas pom bensin berkebangsaan pakistan, kami ditunjukkan arah jalan lama menuju kota mekah yang sudah lama tidak digunakan. Jalan itu melewati padang pasir. Suasana sangat gelap ketika mobil kami  menelusuri jalan tersebut. Tidak ada penerangan sedikit pun selain dari lampu mobil. Rumah penduduk tidak nampak. Hanya ada patok-patok tanda jalan yang samar-samar terlihat. Suara anjing bersahut-sahutan mengejar mobil kami, mungkin merasa terganggu. Saat itu saya benar-benar pasrah. Bayangan kejadian apabila kami tersesat di padang pasir atau mobil tiba-tiba mogok dan bayangan lainnya bercampur baur dalam benak saya. Fathan tampak nyenyak dalam pangkuan saya, tidak terganggu kegelisahan seisi mobil. 
       Setelah beberapa lama berjalan menembus gelapnya padang pasir, akhirnya kami bertemu juga dengan jalan beraspal yang-sayangnya-lagi-lagi dijaga petugas polisi arab. Setelah menunjukkan bukti diri seperti Iqomah (surat izin menetap seperti KITAS) dan paspor, akhirnya kami dibiarkan lewat. Sepertinya polisi maklum bahwa kami adalah jamaah haji tidak resmi namun tetap memberikan kesempatan juga pada kami. Alhamdulillah, ketegangan mencair setelah melewati check point tersebut. Mobil kembali muncul di jalan raya Mekah – Madinah. Namun sayangnya lagi-lagi kami kembali harus dag-dig-dug karena  munculnya mobil dekat sekali dengan check point pertama tempat kami ditolak tadi. Seruan kekecewaan terdengar. Terbayang perjalanan yang telah ditempuh sampai saat ini apabila kemudian kami ditolak lagi masuk kota Mekah. Namun kekecewaan kami segera berganti kegembiraan karena mobil ternyata dapat berputar arah ke jalur menuju Mekah tanpa melalui check point tersebut. Alhamdulillah… Subhanallah… Allahu Akbar.. puji syukur terdengar. Akhirnya kami bisa masuk Mekah dengan lancar. 
     Ternyata kami masih belum bisa tenang karena di perjalanan kembali ada gangguan. Pak sopir protes meminta tambahan biaya, mungkin karena kelelahan mencari jalan pintas ke Mekah tadi. Akhirnya kami sepakat memberikan tambahan. Rupa-rupanya dia masih kurang puas. Akhirnya untuk menghindari perselisihan lebih jauh, kami minta diturunkan di jalan.  Masih beberapa kilometer lagi sebelum tempat pemondokan kami, sementara azan subuh telah berkumandang dari masjidil harom (perjalanan normal Madinah – Makkah hanya 3 sampai 4 jam dengan mobil pribadi dan 6 jam dengan memakai bus). Dari sana kami naik taksi menuju pemondokan. Subuh itu kami beristirahat sebelum siangnya mulai melaksanakan tawaf  dan sa’i untuk umroh di Masjidil haram.


       Labbaika Allahuma Labbaik….Tiba di Masjidil haram, merupakan kenikmatan luar biasa setiap kali menatap ka’bah. Keindahan yang terasa masuk menelusup disela-sela relung hati. Perasaan takjub dan pasrah bercampur jadi satu. Meski sudah berkali-kali saya melihat ka’bah ketika melaksanakan umroh sebelumnya namun tetap saja perasaan yang hadir setiap kali melihat ka’bah selalu sama. Takjub dan pasrah pada kehendak Allah. Perasaan saya bertambah takjub ketika melihat banyaknya jumlah jamaah haji yang berada di masjidil haram. Suasana begitu padat. Tetapi ketika melihat selayang pandang, saya jarang menjumpai anak-anak kecil yang ikut berhaji. Mungkin karena khawatir, maka jamaah haji dalam negeri kebanyakan menitipkan anaknya daripada harus membawa-bawa anak selama pelaksanaan haji. Kami sekeluarga yang berhaji dengan membawa fathan menjadi pemandangan yang agak tidak biasa. Wajar saja kalau ketika itu orang-orang tampak begitu gemas melihat fathan. Pipi fathan dicubiti sampai merah. Selain pada dasarnya kebanyakan warga timur tengah memang sangat menyukai anak-anak, mungkin mereka juga cukup appreciate melihat keberanian membawa anak kecil untuk ikut berhaji.

Berkemah di Mina  
     Pada tanggal  8 Dzulhijah1426 H, pagi itu kami mulai bersiap menuju Mina. Perbekalan mie instan, tenda dan selimut pun dipersiapkan. Alhamdulillah Fathan sama sekali tidak menyusahkan, tampaknya dia enjoy betul dengan suasana sibuk disekelilingnya. Jam delapan pagi kami berangkat ke Mina menumpang mobil angkutan dengan membayar 10 real per orang. Sampai di Mina, kami mencari tempat yang cocok untuk mendirikan tenda. Setelah sempat sedikit bersitegang dengan para ngoboyers dari negara lain untuk memperebutkan tempat strategis dan terkadang diusir oleh petugas haji dari arab saudi, kami dapat mendirikan dua buah tenda, satu untuk bapak-bapak dan yang lebih kecil untuk ibu-ibu. 
              Ternyata, jumlah jamaah haji ngoboy ini cukup banyak. Mereka berasal dari berbagai negara; Arab Saudi sendiri, Turki, Bangladesh, Pakistan, india, Mesir, Sudan bahkan dari Chechnya. Subhanallah. Tampak kemah mereka berbagai ukuran, mulai dari yang mungil sekali sampai ukuran jumbo. Ada pula yang tidak bertenda alias hanya beratapkan langit dan beralaskan selimut untuk tidur. Sambil melepas lelah, kami sempat memasak nasi dan mie instan. Kami waktu itu telah menyiapkan dua buah kompor gas kecil yang dapat dibawa kemana-mana. Namun sedang asyik-asyiknya berkumpul sambil menikmati teh susu panas,  kedua kompor kami melayang disita petugas. Apa boleh buat, terpaksa kami relakan kompor itu dibawa bersama  lenyapnya angan-angan sedapnya makan mie panas-panas.

Perjuangan Menuju Arafah dan Musdalifah
Setelah shalat subuh sambil menunggu matahari terbit kami bersiap menuju Arafah, suara talbiyah, tasbih dan takbir terdengar menggema dari segala penjuru. Rombongan pun berusaha mencegat mobil yang dapat membawa kami ke padang Arafah. Cukup lama berusaha tidak satu jua mobil yang berhenti. Akhirnya kami pindah lokasi. Dengan sedikit perjuangan, mobil dapat diperoleh. Sempat ada adegan yang lucu-lucu mendebarkan antara saya, suami dan fathan. Saat itu, untuk menyetop mobil cukup sulit, karena mobil sama sekali tidak boleh berhenti. Akhirnya saya naik lebih dulu bersama dr. Tasfiyah, kami bersaing  berebut tempat duduk di mobil dengan beberapa perempuan asal Sudan. Dibelakang, suami saya mengejar sembari menggendong fathan dan menarik kopor yang lumayan berat. Sempat beberapa menit terjadi adegan kejar-kejaran bak film sebelum fathan akhirnya berhasil masuk mobil. Demikian pula, kopor akhirnya bertengger di atas mobil. Ya, saking penuhnya mobil, teman-teman duduk diatas kap mobil bersama dengan kopor dan ransel bawaan kami.
 Sampai di Arafah menjelang dhuhur. Kami bergerak menuju Masjid Namirah. Subhanallah padatnya. Bahkan karena padatnya arus manusia dan banyak yang tidak sabar terjadilah saling dorong mendorong, saling desak sehingga ada yang terjatuh dan terinjak injak sampai meninggal. Kami hanya dapat berputar-putar di halaman masjid, tidak dapat masuk masjid. Rombongan sempat tercerai berai. Saya menyaksikan suasana yang luar biasa padat sempat stress juga. Apalagi ketika itu fathan dan ayahnya sempat terpisah dari saya. Pikiran saya saat itu kacau. Bagaimana kondisi fathan ditengah orang sepadat ini. Saya hanya dapat berdoa sembari dengan gelisah menunggu di pintu keluar. Dalam suasana padat ini, dompet dr Tasfiyah sempat dicuri. Untungnya surat-surat berharga berupa dokumen identitas diri masih bisa terselamatkan. 
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya suami plus fathan dalam gendongan pun muncul. Tak terkira senangnya hati saya seraya berucap syukur. Menurut cerita suami, saking padatnya, ia sampai dua kali terdorong arus manusia berputar kembali ke mesjid saat hendak keluar. Akhirnya ia mencoba beristirahat terutama karena hendak melihat kondisi fathan yang anteng dalam gendongan serta sudah kehabisan tenaga untuk bisa menjaga Fathan supaya tidak tergencet bahkan sempat sudah membayangkan terjadi hal yang terburuk. Ia khawatir fathan pingsan. Alhamdulillah fathan hanya tertidur dalam gendongan ayahnya. Namun mencari tempat sekedar berteduh pun ternyata tidak semudah itu. Ia sempat berteduh di warung milik orang indonesia yang didirikan disana namun si pemilik keberatan. Untungnya tetangga warung yang juga orang indonesia kasihan dan mempersilakan fathan dan ayahnya berteduh sebentar. Malah sempat diberi minum dan susu segala.
             Akhirnya kami sepakat untuk mencari tempat yang agak jauh dari mesjid Namirah tetapi masih berada dalam area padang Arafah. Setelah mendirikan tenda diterik siang yang menyengat, kami dapat beristirahat. Alhamdulillah kami memperoleh beberapa kotak minuman yang dibagikan gratis sebagai bekal. Untuk makanan, karena sulit menemukan yang berjualan makanan akhirnya kami hanya makan roti kobus dan ayam goreng sisa kemarin. Ba’da dhuhur kami wukuf, setelah itu kami beristirahat. Ketika terbangun pukul lima sore, subhanallah, sekeliling tenda telah menjadi sangat ramai. Rombongan jamaah haji telah bersiap hendak berjalan kaki menuju Musdalifah. Hanya tinggal satu dua tenda yang masih berdiri. Salah satunya tenda kami. Secepat kilat kami merubuhkan dan membereskan tenda. 
             Saat  matahari terbenam barulah rombongan bergerak menuju Musdalifah. Saking banyaknya orang, setelah sekitar dua jam barulah jalan agak sepi dari padatnya manusia yang berjalan kaki berganti dengan rombongan bus dan mobil pribadi. Saat itu kami menyempatkan diri untuk mandi di kamar mandi umum yang sebelumnya hanya untuk buang air kecilpun harus menunggu antrian yang sangat panjang sehingga dokter tasfiyah sempat menggunakan kartu dokternya hanya supaya kami berdua diperbolehkan buang air di layanan kesehatan haji Saudi. Ba’da isya kami berangkat ke Musdalifah. Lagi-lagi mencari tumpangan. Alhamdulillah kami mendapat bus yang lumayan nyaman, membayar sekitar 20 real perorang. Namun karena padatnya jalan, bus pun mengalami kemacetan. Berjam-jam kami menempuh jarak Arafah-Musdalifah yang sebenarnya tergolong dekat. Tengah malam kami turun di Musdalifah. Kami mabit dan mendirikan tenda sampai menjelang fajar. Di Musdalifah kami menemukan orang yang berjualan makanan sehingga kami bisa makan nasi kari hangat untuk mengganjal perut.        

Kembali ke Mina
           Setelah subuh sebelum matahari terbit kami bersiap pergi ke Mina. Dari Musdalifah, memperoleh mobil tidak terlalu sulit. Namun perjalanan dihadang kemacetan yang luar biasa. Perjalanan yang biasanya hanya dua jam molor sampai enam jam bahkan para pejalan kaki tiba di Mina lebih awal. Alhamdulillah Fathan tidak terlalu rewel. Kalaupun sedikit rewel hal itu sangat wajar, karena mobil hampir-hampir tidak bergerak selama beberapa jam. Suasana di mobil pengap dan badan pegal-pegal. Si sopir, mungkin saking bosannya dengan macet, lebih sering turun dari mobil untuk bertindak sebagai pengatur lalu lintas atau berjalan-jalan. Alhasil mobil akhirnya malah dikemudikan oleh salah seorang penumpangnya.       
  Jam dua siang kami tiba di Mina. Setelah mencari tempat yang dekat dengan tempat melempar jumroh, akhirnya kami mendirikan tenda. Sebanyak tiga tenda kami dirikan berdekatan. Menjelang malam, tenda kami sudah berada ditengah lautan tenda. Ketika malam tiba, suasana di sekitar tenda seperti pasar. Antara orang yang memasang tenda dan yang berjualan sangat ramai. Celah atau jarak antar tenda menjadi sedemikian sempit. Meskipun letak tenda cukup strategis namun untuk mencari wc umum agak sulit. Selain jarak yang agak jauh dan antrian yang penuh, wc  seringkali dalam kondisi kotor dan tidak ada air. Faktor sanitasi kadang memang tidak diindahkan dalam suasana seperti itu. Dalam kondisi demikian, seringkali saya berjumpa dengan tenaga kerja wanita asal indonesia yang saat itu sedang menunaikan ibadah haji atas izin majikannya. 


Terdesak Saat Melempar Jumroh 
Pada saat lempar jumroh pertama (jumroh Aqobah) tidak ada hambatan apapun yang kami alami. Bahkan kami sempat membawa fathan ikut serta melempar jumroh. Saat itu saya sempat takabur. Terlintas dipikiran saya… mana nih…katanya lempar jumroh padat, sepi begini koq… Hal itu terjawab ketika kami melempar jumroh kali ketiga pada tanggal 12 Ddzulhijah. Karena kami mengambil Nafar awal maka kami memutuskan untuk pulang pada hari itu juga. Lempar jumroh rencananya akan kami lakukan seusai sholat duhur karena sebelum ashar kami harus secepatnya keluar dari Mina. Maka setelah menitipkan fathan pada seorang teman, saya dan suami berangkat untuk melempar jumroh Sughra, Wustha dan Aqobah. Ketika mendekati tempat lempar jumroh suasana padat sudah mulai terasa. Bahkan saya sempat terdesak ketika baru melangkah masuk. Padahal tempat kami masuk berada disekitar ambulans. Tentu saja beberapa pasien yang sedang berdiri menunggu giliran di dekat ambulans pun ikut terdesak. Ketika saya dan suami menyelinap masuk untuk melempar jumrah Sughra  suasana kacau sekali. Orang saling mendorong. Saya berpegangan kuat-kuat pada suami akan tetapi tetap saja butuh kekuatan besar untuk lolos dari kerumunan. Saat itu saya benar-benar merasa sangat lemah. Jilbab saya hampir terlepas, demikian pula kacamata sudah dalam posisi rawan. Subhanallah….saat itu saya benar-benar merasa sangat tak berdaya meskipun sudah berjuang sekuat tenaga. Saya sempat melihat beberapa orang wanita yang berhasil keluar dari kerumunan, jilbabnya sudah terlepas. Dengan mengerahkan tenaga, akhirnya saya dan suami berhasil keluar dari kerumunan. Dalam keadaan shock dan gemetaran serta jilbab dan kacamata yang miring akhirnya suami mengambil keputusan untuk mewakili saya dan fathan pada lempar jumrah selanjutnya. Sebenarnya saya sangat ingin melakukannya sendiri tetapi mengingat hal yang baru saja saya lalui,  saya merasa tidak sanggup. 
Saya kembali ke tenda dan menunggu disana. Awalnya saya pikir saya saja yang mengalami nasib demikian, namun ternyata kawan-kawan kami juga bernasib sama. Ada sepasang suami istri yang juga rekan sejawat di saudi mengalami peristiwa mendebarkan. Saat itu mereka bermaksud akan melempar jumroh dan menitipkan putrinya yang berusia 6 tahun kepada kami. Lama kami tunggu mereka tidak juga muncul, sementara kami sudah bersiap untuk pergi secepatnya menuju Aziziah. Akhirnya dengan wajah pucat dan kondisi shock mereka muncul. Ternyata pada saat melempar jumroh di lantai atas, mereka nyaris terjepit dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Orang-orang disekitar mereka banyak yang sudah menemui ajal karena terjepit. Sang istri bahkan nyaris tak tertolong kalau tidak diselamatkan oleh seorang polisi saudi yang berjaga. Ketika bertemu kami, mereka sampai meneteskan air mata disertai ucapan puji syukur Allah masih berkenan memanjangkan usia mereka.

Kembali Berhaji

Demikian perjalanan haji yang kami lalui di awal tahun 2006. Alhamdulillah tahun berikutnya, saya sekeluarga masih mendapat kesempatan untuk melakukan ibadah haji, namun tidak disangka, kami kembali melakukan haji ngoboy atau tepatnya semi ngoboy. Berbeda dengan tahun lalu dimana cuaca pada saat kami berhaji cukup bersahabat, tahun ini kebetulan sedang puncaknya musim dingin. Saya berangkat menunaikan ibadah haji bersama suami dan ibu mertua, tentu tak lupa fathan juga dibawa serta. Sempat terpikir untuk menitipkannya pada seorang kawan karena ibu mertua sudah cukup sepuh dan tidak kuat untuk melakukan aktifitas berat atau berjalan jauh. Namun mengingat usian Fathan yang masih batita, rasanya tidak tega apalagi tingkat ketergantungannya  masih cukup tinggi seperti untuk makan yang masih harus “dikejar-kejar”. Akhirnya kami sekeluarga beserta rombongan teman-teman, masih sama dengan yang dulu yaitu dr. Tasfiyah ditambah dr. Budi dan  dr. Ali yang membawa orang tuanya masing-masing. Kami juga didampingi rekan kami sebagai ustad yaitu mas Bahrein. Kali ini kami pergi dengan melalui syarikah atau biro perjalanan lokal. Bersama syarikah berarti kami dianggap sebagai rombongan haji yang resmi karena identitas kami sebagai jamaah haji tercatat, demikian pula masalah transportasi maupun akomodasi juga sudah ditanggung oleh penyelenggara. Biaya yang harus kami bayarkan sekitar 1200 real. Melalui agen resmi ini insya Allah kami dapat masuk kota Mekah melalui jalur resmi, dengan demikian tidak harus kucing-kucingan seperti tahun lalu. Tahun ini kami berangkat dengan lebih percaya diri berbekal pengalaman haji tahun lalu. 
Tanggal  27 Desember 2006 atau 7 dzulhijah 1427 kami serombongan pergi, satu bus bersama para TKW yang jumlahnya cukup banyak. Mereka kebanyakan diantarkan sendiri ke basecamp oleh majikan masing-masing. Basecamp untuk calon jamaah haji dalam negeri asal Asia tenggara ini berada di kawasan Asia, suatu kawasan yang banyak terdapat toko dan restoran khusus menjual makanan dari Asia tenggara seperti Indonesia, Malaysia dan Filiphina. Hal ini disebabkan karena kebanyakan penyelenggara haji atau syarikah berkantor disini. Bus yang berangkat bersama rombongan kami cukup banyak, sekitar 11 bus. Hal itu pula yang menyebabkan keterlambatan perjalanan. Jadwal keberangkatan yang sekiranya dimulai pukul 7 molor sampai tiga jam sehingga kami tiba di bir Ali sudah dekat waktu dhuhur. Malam hari kami baru masuk check point Mekah. Nyata benar pengamanan superketat yang diterapkan oleh pemerintah kerajaan Saudi, karena kami harus antri berjam-jam di check point. Hingga menjelang tengah malam kami baru masuk kota Mekah. Perjalanan yang ditempuh mencapai 12 jam atau dua-tiga kali lipat dari waktu tempuh Madinah-Mekah diwaktu biasa. Terlihat banyak deretan mobil pribadi yang diparkir di check point. Entah menunggu antrian atau karena ditolak masuk Mekah. Yang jelas pengamanannya jauh lebih ketat dari pada tahun lalu. Hal ini mungkin berkaitan dengan jatuhnya pelaksanaan haji akbar pada tahun ini.
Memasuki kota Mekah, kami beristirahat di Aziziah ketika jarum jam menunjukkan pukul 3 dinihari untuk kemudian esok paginya kami melakukan tawaf dan sa’i. Banyak hal terjadi yang tidak kami duga sebelumnya. Mungkin karena kurang koordinasi, sehingga syarikah yang kami ikuti kurang memuaskan terutama untuk pelaksanaan rukun, wajib dan sunah haji. Melihat kondisi ini, akhirnya suami dan teman-teman berinisiatif untuk melakukan beberapa amalan haji secara mandiri, artinya tidak ikut dengan rombongan. Kami mengambil keputusan untuk keluar dari rombongan karena ingin betul-betul mengamalkan rukun haji secara menyeluruh walaupun harus kembali menjalani haji ngoboy, artinya semua urusan transportasi dan akomodasi di Mina menjadi tanggungjawab kami sendiri. Namun demikian, basecamp kami tetap di Aziziah sehingga sebagian besar barang tetap kami tinggal disana. Subhanallah, mungkin karena pengalaman tahun lalu, kali ini saya merasa lebih tangguh untuk ngoboy kembali bersama Fathan, apalagi karena usianya sudah lebih besar, insya Allah lebih kuat. Ada pula teman kami yang membawa serta bayinya untuk berhaji. 

Dikejar-kejar Ambulance
Alhamdulillah, tidak seperti tahun lalu, tahun ini kami mendapat tempat yang benar-benar nyaman di Arafah karena dikelilingi oleh berbagai macam tukang jualan makanan. Tepat di depan tenda yang kami dirikan ada yang berjualan bakso dan sate lengkap dengan arang dan kipasnya, sementara di seberang ada pula gado-gado dan gorengan lengkap dengan cobek untuk mengulek sambal kacang. Semua  harganya rata-rata 5 sampai 10 real perporsi. Pendeknya, tidak perlu khawatir terhadap isi perut. Yang sempat jadi masalah adalah cuaca dingin pada pagi itu yang begitu menggigit sehingga saya, fathan dr. tasfiyah beserta ibu kami masing-masing tidur berdempetan dalam satu tenda saling menghangatkan. Ba’da dhuhur kami wukuf kemudian selepas isya kami bersiap pergi ke Musdalifah. Perjalanan ke Musdalifah luar biasa padat dan macet. Sehingga waktu tempuh pun bahkan hampir dua kali dari tahun lalu. Kami menghabiskan malam di mobil sehingga baru tiba di musdalifah menjelang dini hari, sekitar pukul 4 pagi dalam cuaca dingin. Kami menggelar tikar di musdalifah sambil duduk berselimut. Karena dinginnya, selama di Musdalifah saya memeluk Fathan erat-erat meskipun ia sudah memakai jaket tebal. Setelah fajar, kami berangkat menuju Mina namun kali ini jumlah haji benar benar luar biasa sehingga kami baru mencapai Mina ketika waktu shalat asyar. Subhanallah perasaan saya kagum begitu menjumpai Mina yang sudah jauh berbeda dari tahun lalu. Yang  sangat terasa adalah semakin lapangnya jalur dari dan ke tempat lempar jumroh. Selain itu, untuk tempat lempar jumroh pun sudah diperluas hingga jauh lebih luas dari tahun lalu dan menjadi satu arah sehingga tempat masuk untuk jumroh dan tempat keluar menjadi jauh.
          Dengan kondisi Mina yang demikian, kami sempat kesulitan mencari tempat menggelar tikar untuk duduk beristirahat. Akhirnya kami dapat menggelar tikar di depan sebuah masjid dan rumah sakit. Saat itu tidak hanya kami, rupanya banyak jama’ah haji lain yang bertikar. Namun karena banyaknya orang yang duduk di depan rumah sakit, rupanya menghalangi jalan masuk ambulance ke rumah sakit. Sehingga ambulance terpaksa melewati kumpulan orang yang duduk bertikar. Kami pun sempat “dikejar-kejar” ambulance sehingga terpaksa tergusur dan menyingkir sementara. Saking hebohnya, saya sempat merasa jadi korban penggusuran. Bahkan ketika beberapa kali ambulance lewat, saya sempat berjaga terus, khawatir ambulance menuju ke arah kami. Cuaca waktu itu dingin sekali dan angin bertiup deras. Alhamdulillah dr. Tasfiyah tidak lupa membawa bed cover yang cukup tebal sehingga dapat melindungi kami dari dingin yang begitu menggigit. Setelah lewat tengah malam kami memutuskan untuk kembali ke basecamp mengingat saat itu tidak boleh mendirikan tenda dan terus “dikejar kejar” ambulance juga kami mengkhawatirkan kondisi ibu mertua.


Selain pada mabit pertama, kami juga sempat mengalami pengusiran pada mabit kedua. Ketika itu waktu sholat subuh. Kami bergantian sholat agar dapat bergiliran menjaga barang dan tenda. Pada saat kami sholat sempat dihampiri oleh petugas keamanan Saudi yang mendesak kami untuk secepatnya angkat kaki dengan alasan tempat kami mendirikan tenda merupakan tempat orang lewat. Sempat terjadi adu mulut karena kami meminta waktu untuk dapat melaksanakan ibadah sholat dengan khusyu’ dan tenang. Seru juga rasanya karena kami melaksanakan sholat ditengah pagar betis para petugas.

Tarik ya Hajj...
              Selama menunaikan ibadah haji, suami saya membawa kursi roda untuk  dinaiki oleh ibu mertua dan fathan. Tidak hanya itu, terkadang kursi roda juga berfungsi ganda untuk membawa beberapa barang yang cukup berat sehingga dapat meringankan beban bawaan kami. Seni mendorong kursi roda ternyata tidak mudah. Seringkali jalan yang kami lalui mendaki sementara suasana jalan padat sehingga kadang kursi roda terhalang oleh ramainya lalu lalang orang. Kalau sudah bergitu, kata-kata yang paling sering terucap dari mulut saya dan suami adalah,” tarik ya haj…hajjah…!!” yang maksudnya meminta ijin agar kursi roda kami dapat lewat atau mendahului. Karena terdengar serupa,  sampai-sampai ada yang menyangka kami berteriak, “penjahat-penjahat…” .

             Banyak kejadian lucu dan menegangkan selama kami berhaji. Melihat pengamanan yang berlaku, kami maklum adanya  bahwa hal itu berkaitan dengan ketertiban yang ingin diterapkan pemerintah Saudi selama di Mina dan untuk ibadah haji secara keseluruhan. Fasilitas haji tahun 2007 ini dapat dikatakan merupakan suatu kemajuan, baik bagi pemerintah Saudi sebagai penyelenggara maupun bagi kenyamanan dan keamanan jamaah haji sendiri. Hal itu terbukti dengan cukup terkendalinya pelaksanaan haji yang merupakan haji akbar dimana umumnya jumlah jamaah haji menjadi lebih banyak dari biasa. Penataan tempat melempar jumroh, lalu lintas jamaah yang hendak dan sudah selesai melempar jumroh bahkan tempat berkemahnya para haji ngoboy seperti kami pun sudah lebih tertib dari tahun sebelumnya. Hal ini sangat saya rasakan karena membandingkan dengan pelaksanaan tahun lalu.
                Kalaupun ada sedikit kekecewaan yang saya rasakan hal itu lebih pada pelayanan syarikah yang kami ikuti. Tampaknya kurangnya koordinasi menjadi sebab utama tidak maksimalnya pelayanan syarikah tersebut. Banyak hal yang terabaikan dari pihak penyelenggara yang notabene adalah orang Indonesia yang bekerja sebagai TKI di saudi. Memang kebanyakan dari mereka mengambil momentum ibadah haji sebagai waktu untuk memperoleh rezeki lebih dari biasanya. Meskipun demikian, hal itu tentunya bukanlah pengingkaran dari keikhlasan dan upaya memperoleh pahala yang sebesar-besarnya dalam melayani tamu-tamu Allah yang kebetulan saudara sebangsa. Hal yang terasa betul oleh saya adalah masalah akomodasi dan konsumsi. Karena saya membawa anak kecil dan bersama orang tua, maka masalah ketersediaan makanan adalah hal yang sangat saya perhatikan betul. Kenyataannya, kami seringkali tidak mendapat sesuai apa yang dijanjikan sebelumnya. Demikian pula dengan rukun haji yang harus diamalkan. Terkadang seperti mengabaikan rukun haji dan tidak memperhatikan aspek kualitatifnya. Sehingga praktis para peserta menjadi sangat kurang mendapat bimbingan dalam pelaksanaan hajinya. Hal ini terjadi mungkin karena banyaknya jumlah peserta yang ikut tanpa koordinasi yang tepat karena saya mendengar syarikah lain adapula yang mampu menangani pelaksanaan haji para jama’ahnya dengan lebih baik.
Demikian, cerita haji ngoboy yang kami lakukan di tanah suci. Berbagai macam kejadian yang saya alami selama menunaikan ibadah haji disana sangat meninggalkan kesan mendalam dihati. Dan ketika saya sudah kembali ke tanah air, selalu saja ada kerinduan yang begitu kuat-bila Allah mengijinkan saya-untuk  suatu hari dapat kembali bersimpuh di rumahNYA. Aamiin Allahumma aamiin..







9 komentar:

  1. Haji biasa aja pasti berkesan, apalagi yg ngoboy... Makasih sharingnya mba :)

    BalasHapus
  2. Saya gregetan baca kisahnya mbak,Subhanallah keren...saya pingin banget tinggal dimekkah tapi blum ada jalan,mhon doanya y mba,mba ada akun instagramny kah?

    BalasHapus
  3. Seru baca tulisan nya mb, haji ngoboy bisa Ndak mb berangkat dari Indonesia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya belum bisa Mba/Mas. Selain datang kesana harus melalui jalur resmi, akhir2 ini kabarnya pemerintah saudi lebih memperketat penyelenggaraan haji. Mudah2an diberi kemudahan untuk menunaikan ibadah haji ya.

      Hapus
  4. Terimakasih sharing pengalaman nya selama dinegara saudi juga saat ibadah haji cara coboy dan semi coboy nya ... Luar biasa menambah pengalaman buat kami dan wawasan kami... Sebenarnya kami lagi cari info u bisa tinggal disana selama 2 tahun... Tapi belum tahu jalan nya.. Semoga Allah mudah kan saya bisa tinggal di Madinah u belajar disana

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebaiknya melalui jalur resmi, setahu saya ada beberapa warga Indonesia yang bekerja atau melanjutkan sekolah disana.

      Hapus