Sabtu, 23 Mei 2015

Travelling with baby, Bandung-Malang (Jatim Park Part 1)





Perjalanan kami kali ini tidak biasa. Selain  mengangkut new comer di Ikbal’s family, si bungsu baby Maryam  (4,5 month), perjalanan ini jaraknya tergolong  jauh bagi anak-anak; Fathan (10 thn) dan Hanif (6 thn),  Menempuh jarak 770 km dari Bandung menuju ke Jatim Park yang terletak di daerah Batu, Malang melalui jalan darat. Hmmm… sungguh  sesuatu banget…  Benar-benar perjalanan yang menantang.
Jujur, awalnya saya sempat ragu karena baby Maryam  masih  berusia 4,5 bulan. Meski ini bukan kali pertama perjalanan saya  membawa bayi. Sekitar sembilan tahun lalu pun saya pernah membawa Fathan saat bayi (9 month) menyebrangi Samudra Hindia menuju Saudi Arabia (baca kisahnya di  Panduan Perjalanan Haji untuk Perempuan). Sempat merasa khawatir juga, takut Maryam  tidak nyaman dan rewel dalam perjalanan yang diperkirakan akan memakan waktu lebih dari 24 jam ini. 24 jam dalam perjalanan tentu bukan waktu yang sebentar. Untuk orang dewasa saja sudah pasti melelahkan, apalagi untuk anak-anak. Harus pintar-pintar mengkondisikan  suasana dalam mobil supaya tidak membosankan bagi mereka. Apalagi  dengan bawaan yang seabreg-abreg berisi perlengkapan untuk 2 krucil, 1 bayi dan dua orang dewasa  - -
Tapi apa boleh buat….  The show must go on. Terus terang, kalau boleh mengaku dosa, memang si Emak alias bunda alias saya inilah sutradara dan provokator travelling ke Jatim Park (tutup muka). Beberapa kali membaca reportase perjalanan orang lain ke Jatim Park sukses membuat saya kepingin berat dan menjadikan  Jatim Park sebagai  “tempat yang kudu  wajib dikunjungi tahun ini”. Berhubung waktu yang pas baru ketemu bulan April kemarin dan proposal langsung diacc oleh si Ayah tanpa syarat jadilah… Bismillah….
Meski ragu dan sempat khawatir, salah satu pertimbangan saya tetap membawa baby Maryam  adalah karena ia masih full ASI. Jadi insya Allah tidak terlalu ribet memikirkan makannya dan membawa printilan atau perlengkapan makanannya. Yang wajib dan kudu dibawa adalah stroller karena sejauh informasi yang saya  ketahui, perjalanan ke Jatim Park lumayan banyak jalan-jalannya. Lumayan gempor sepertinya kalau harus menggendong baby Maryam. Oya stroller baby yang kami bawa adalah stroller baby yang juga digunakan Fathan ketika menyusuri jalan-jalan Madinah sepuluh tahun yang lalu. Benar-benar stroller yang sarat kenangan. 
Bagaimana hasil dari perjalanan itu? Wow... amazing... Alhamdulillah. 
Hasilnya...Jatim Park merupakan salah satu tempat yang saya rekomendasikan untuk dikunjungi...

Berikut beberapa tips travelling with baby :
-          Cari informasi yang lengkap tentang destinasi. Apakah objek-objek wisata banyak ditempuh dengan berjalan kaki atau tidak. Kalau iya, pastikan kelengkapan untuk membawa anak  sudah kita siapkan seperti gendongan bayi atau stroller. Selain itu pastikan juga  bahwa tempat wisata yang dituju merupakan tempat wisata yang ramah dan support terhadap keperluan ibu dan anak misalnya banyak tersedia toilet, ada tempat untuk menyusui, dll
-          Pertimbangkan kondisi dan usia bayi saat akan diajak travelling. Pertimbangkan masalah  kesehatan dan daya tahan anak (imunitas) selama perjalanan dan di tempat wisata, masalah perlengkapan seperti baju, pampers, kaos kaki, topi serta ketersediaan makan dan perlengkapannya ( kalau sudah makan).
-          Kalau memungkinkan  mencari tempat  menginap yang tidak jauh dari tempat wisata. Jadi pada saat bayi merasa lelah kita mudah menepi untuk  beristirahat sejenak.
-          Sesuaikan ritme perjalanan dengan kondisi bayi. Jangan memforsir keinginan untuk mengunjungi semua tempat wisata namun tetap perhatikan dan utamakan kondisi  dan kenyamanan bayi. Yang pasti kondisi bayi tetap berbeda dengan kondisi orang dewasa, jadi jangan coba-coba memaksakan yaa…
(bersambung)

Senin, 11 Mei 2015

Cerita Anak : Bawang Putih Pesanan Bunda





Hanif sedang asyik menggambar di teras rumah ketika terdengar suara lembut memanggil.
“Hanif….Hanif….” Itu suara Bunda.
Dengan sigap Hanif menghampiri, ”Ada apa Bunda?” 
“Hanif, bisa minta tolong pergi sebentar ke warungnya Bu Mar? Bunda perlu bawang putih, nih.”  
Hanif  mengangguk. Warung Bu Mar tidak jauh dari rumahnya, hanya berjarak enam rumah, terletak dipojok jalan. Hanif sudah  beberapa kali ke sana. Warung Bu Mar bersebelahan dengan rumah Agung, teman Hanif. Selain itu, yang lebih penting, tampaknya Bunda sedang sangat membutuhkan pertolongan Hanif.
Bunda mengulurkan selembar uang dua ribu rupiah,“ Ini uangnya. Terimakasih ya, Nak.”
Hanif bergegas pergi.  Tidak lama, ia sampai di warung Bu Mar. Warung itu sedang sepi. Tidak ada seorang pun disana. Hanif melihat-lihat barang-barang yang dijajakan di dalam etalase warung. Tampak beberapa toples permen, coklat dan kacang. Semuanya kesukaan Hanif.
Ssst… Jangan bilang-bilang ya! Sebenarnya Hanif suka sekali dengan macam-macam kue dan coklat yang sering dijajakan di warung-warung, termasuk warung Bu  Mar. Rasanya sedap sekali! Tetapi Bunda berpesan supaya Hanif tidak terlalu sering jajan. Lebih baik makan kue  yang dibuat Bunda di rumah, seperti pisang goreng keju, martabak mini, atau  puding roti. Kue-kue bikinan Bunda sebenarnya enak sekali. Tapi sekali-sekali Hanif ingin juga jajan seperti teman-temannya yang lain. Kadang-kadang memang Hanif diizinkan Bunda membeli kue di warung, tapi tidak banyak dan tidak sering.
Kini Hanif memandang lapar ke arah toples-toples berisi berbagai macam penganan itu. Saking asyiknya Hanif, ia tidak sadar Bu Mar sudah muncul dari dalam rumah dan menghampirinya.
”Hanif, mau beli apa?” tanya Bu Mar.
Hanif masih berpikir. Tiba-tiba terlintas ide di kepalanya.
“Bu, berapa paling sedikit jika ingin beli  bawang putih?”
“Paling sedikit seribu rupiah” kata Bu Mar.
“Kalau coklat itu berapa harganya? “ Hanif menunjuk toples berisi coklat kesukaannya.
“ Itu seribu rupiah”  
Hanif kembali berpikir. Hmmm… Jika aku membeli bawang putih seribu rupiah, lalu sisa uangnya untuk membeli coklat, sepertinya tidak apa-apa. Bunda  tidak akan tahu.  Cuma bawang putih yang didapatnya  menjadi lebih sedikit. Tidak lama, Hanif sudah memutuskan keinginannya.
 “ Bu,beli bawang putih seribu rupiah dan satu coklat.”  Kata hanif sambil mengangsurkan uang yang digenggamnya.
Ketika sedang menunggu Bu Mar selesai membungkus pesanannya, tiba-tiba Hanif teringat Bunda. Memang Bunda tidak tahu. Tetapi kira-kira, tindakannya ini jujur atau tidak, ya? Bunda pernah berpesan padanya agar  menjadi anak yang jujur. Membeli coklat menggunakan uang pembeli bawang putih, apakah itu jujur? Tanpa sepengetahuan Bunda pula. Meskipun Bunda tidak melihat, bukankah Allah Maha Melihat? Kata Bunda, Allah Maha Melihat apa pun yang disembunyikan  manusia. Jadi?
“Hanif, ini pesanannya” suara Bu Mar mengagetkan Hanif.
 “Mmmh….saya nggak jadi beli coklat deh, Bu. Saya beli bawang putih saja,  dua ribu rupiah,” ujar Hanif.
Hanif pulang dengan langkah gontai. Diserahkannya kantong plastik berisi bawang putih  itu kepada Bunda..
“ Wah, anak bunda memang hebat! Terimakasih banyak ya sayang” Puji Bunda sambil mengelus rambut Hanif. Hanif hanya mengangguk sambil membalikkan badannya. Terbayang olehnya potongan coklat yang lezat itu. Duh!
Tiba-tiba Bunda menyentuh bahunya dan  mengangsurkan sebuah kotak berwarna hitam dengan gambar coklat.
“Ini, ada oleh-oleh coklat dari Om Ris. Kemarin Om Ris baru pulang dari Pekanbaru dan menitipkan oleh-oleh buat Hanif dan Fathan. Bunda lupa, baru teringat sekarang.”
Wow! Hanif melonjak senang. Oleh-oleh dari Om Ris selalu lezat, apalagi coklatnya. Tersenyum lebar, Hanif menerima kotak itu.
“Terima kasih Bunda!”
Bunda mengangguk, “Jangan lupa berbagi dengan Abangmu, ya!”
“Oke Bun..” sahut Hanif riang. Tentu, coklat dari Om Ris jauuuh lebih lezat dari coklat yang ada di warung Bu Mar tadi. Dan yang lebih penting, Hanif memperolehnya dengan jujur!

 Note: Huruf merah adalah tulisan saya  yang diedit  oleh  sang editor. Huruf biru adalah tulisan saya yang dihapus sang editor. Nah... ini artinya kudu belajar lebih keras lagi untuk edit tulisan sendiri :). Oya tulisan ini dimuat di majalah Irfan vol 6. Satu-satunya cerita anak yang baru sempat ditulis dan kebetulan dimuat. Alhamdulillah

being full time mommy at home





Setelah sekian lama off menulis, kembali  membuka blog lagi. Ya, kebetulan kondisi kemarin yang tidak  memungkinkan menuangkan isi hati *tsah* berhubung pekerjaan sedang banyak2nya, kondisi kehamilan anak ketiga yang lebih berat dari dua kehamilan sebelumnya dan banyak alasan-alasan lain membuat saya  off dulu dari dunia tulis-menulis.
Hanya saja akhir-akhir ini ada satu topic yang membuat saya  tergelitik kembali menulis. Tak lain setelah memantau dan merasakan kembali bagaimana rasanya jadi full time mommy at home….Hihi .. bener2 dah full timenya karena asisten pun sedang tak punya. Semua dikerjakan sendiri- tentu dengan bantuan suami plus anak-anak yang “dipaksa”  jadi asisten cilik haha..  Hal-hal yang kemarin terlewat karena kesibukan pekerjaan plus tinggal delegasi ke asisten jadi terperhatikan sekarang. Ternyata oh ternyata…. Memang banyak hal yang saya lewatkan.
Satu  hal yang bisa saya tarik kesimpulan sekarang adalah tidak mudah menjadi full time mommy at home. Bahkan menurut saya *pendapat pribadi* ternyata secara  mental jauh lebih berat dibanding menjadi  ibu  bekerja. Ini benar-benar pendapat pribadi saya ya. Kalau ada yang punya pendapat berbeda, silakan.
Berikut  hal-hal yang perlu proses adaptasi dari ibu yang sebelumnya bekerja kemudian beralih peran  menjadi full time mommy at home:
1.       Jenis Aktivitas
Tuntutan dan deskripsi pekerjaan yang  berbeda. Kalau Ibu bekerja tentunya sesuai dengan job desc dari masing-masing profesinya. Misalnya kalau bekerja di bidang keuangan dan administrasi  berkutat di masalah angka-angka ataupun data-data, kalau dokter ya kudu melayani pasien, melakukan diagnosa dll, kalau seperti saya di bidang psikologi yang ketemu klien ya mesti banyak observasi, melakukan interview, melakukan pemeriksaan dan  membuat laporan. Sementara  rata-rata  kalau full time mommy at home apalagi yang no asisten ya… pekerjaannya nyaris seragam; bersih-bersih rumah, mencuci, menyetrika dan memasak. Ada pula yang ibu bekerja di rumah sekaligus full time mommy at home, kerjaannya double; ya bekerja sesuai profesinya atau bisnisnya ya beresin  pekerjaan rumah juga.
2.       Lingkungan
Tak bisa dipungkiri, satu hal yang menarik dari ibu  bekerja adalah  lingkungan kerja dan pergaulan yang lebih dinamis. Bisa berinteraksi dengan  klien yang  terdiri dari beragam jenis karakternya,  bergaul dengan  teman-teman kerja yang kompak, senasib sepenanggungan, dll. Apalagi kalau  mendapat kesempatan jalan-jalan entah ke tempat klien atau ada urusan pekerjaan  lainnya yang  mengharuskan keluar kota, bisa dapat pengalaman  dan suasana baru.   Pendeknya  lingkungan yang lebih dinamislah. Untuk full time mommy  at home sebenarnya cukup beragam. Ada yang lebih ke lingkungan dalam & sekitar rumah, tetangga, sesama ibu-ibu yang menunggu anak sekolah, arisan, pengajian dll. Tapi banyak juga full time mommy at home yang aktif berkiprah sekitar rumah, di lingkungan RT/RW bahkan dalam cakupan yang lebih luas.  Tapi ya itu kembali lagi ke sisi pribadi orang yang bersangkutan. Apakah memang senang  terjun beraktivitas  ke lingkungan masyarakat yang lebih luas atau lebih suka beraktivitas di dalam rumah. Semua kembali  kepada orang yang bersangkutan. Thanks God sekarang ada media social. Paling tidak itu sangat membantu  full time mommy at home untuk  melebarkan  jaringan pergaulannya tanpa harus sering keluar rumah.
3.       Ekspektasi
Kalau di dunia kerja ada target dan tuntutan  kerja yang jelas. Misalnya  ya seperti saya, laporan kudu  beres tanggal segini kalau nggak, bakal ditagih terus atau  lebih  parah ; klien bisa complain.  Bahkan bisa  menyebabkan  bagian atau unit lain yang dirugikan karena menunggu pekerjaan kita ga selesai-selesai.  Sementara kalau full time mommy at home  ya kalau suka  menunda pekerjaan sih mungkin  ga akan  ngaruh  ke pihak eksternal ya tapi dampaknya ke diri sendiri dan  internal keluarga.  Jadinya yang kasihan suami sama anak-anak, misal menunda menyetrika  seragam malamnya,  pasti besok pagi-pagi mommy sendiri yang repot  karena terjadi kehebohan dalam mempersiapkan  baju seragam. Ya  intinya kalau full time mommy kelihatannya komitmen lebih ke diri sendiri dan  ke keluarga untuk bisa memastikan  pekerjaan  beres.  Sementara  kalau  ibu  bekerja di luar rumah  tanggung jawabnya lebih  kepada pihak eksternal. Tapi menurut saya justru yang paling sulit itu ya komit ke diri sendiri.   
4.       Penghargaan
Nah,  ini  nih menurut saya justru yang paling berat. Kalau ibu  bekerja di luar rumah rewardnya jelas, dapat salary dan penghargaan dari kantor. Malah kalau  hasil kerjanya excellent  bakal lebih banyak dapat apresiasi dari banyak pihak seperti atasan, rekan kantor dan klien atau berupa  kenaikan salary, bonus dll.  Pokoknya  dapat pengakuan atas apa yang sudah  kita kerjakan yang secara signifikan  juga mempengaruhi rasa keberhargaan diri  kita ( self esteem). Tidak heran kalau ibu  bekerja  di luar rumah sering dikatakan  kebutuhan self actualizationnya lebih dapat terpenuhi. Sementara kalau full time mommy at home, bisa dibilang hasil kerjanya sering luput dari penghargaan pihak  lain. Boro-boro dapat gaji hehe….dipuji  oleh pihak yang berkepentingan seperti suami atau anak-anak saja  kadang  tidak. Hihi…. Padahal kalau cucian  baju nggak beres atau rumah  kotor  berantakan atau tidak ada  masakan di rumah, gimana hayooo…..? Rempong  juga kan… (bersambung)