Satu hari saya berbincang via bb dengan salah seorang sahabat saya
membicarakan postingan tulisan saya sebelumnya tentang “Serba-serbi tinggal di luar negeri” .
Setelah membaca tulisan saya, Ia berpendapat bahwa tinggal di luar negeri itu
berat. Ia juga menyatakan bahwa kalau
tidak terpaksa sekali, enggan untuk
pindah ke luar negeri. Alasan utama dan terbesarnya adalah : Keluarga. Ya,
system kekerabatan yang cukup kuat
mengakar di Indonesia menjadi salah satu
hal yang membuat tidak semua orang antusias untuk mencicipi pengalaman
tinggal di luar negeri. Meski saat ini kecanggihan teknologi sudah memungkinkan
orang yang terpisah ribuan kilometer bisa berkomunikasi dengan lancar, namun
hal ini tidak berarti banyak bagi sebagian orang.
Kali lain, saya berbincang dengan
sahabat saya yang lain. Kebetulan suaminya mendapat tawaran untuk bekerja di luar dengan gaji yang berlipat di satu negara kawasan
Timur tengah yang terkenal paling “kinclong”. Sama dengan cerita sebelumnya, sahabat
saya yang ini pun enggan pindah ke luar. Saya maklum. Karirnya sebagai pegawai
negeri sipil di suatu instansi pemerintah sedang melaju. “Mau ngapain aku disana?” Katanya sambil bergidik ketika saya menyampaikan tentang beberapa
alternatif aktivitas yang paling mungkin
dilakukannya kalau ia mengikuti suami bekerja di luar negeri.
Setiap orang punya pilihan bukan?
tentunya apapun alasan mereka, itu
sah-sah saja. Dan sah-sah saja kala banyak orang yang selalu mengaitkan pekerjaan di luar negeri dengan kelimpahan materi yang berlebih dibandingkan dengan di tanah air.
Padahal setiap orang yang bekerja dan
tinggal di luar negeri, tidak melulu memiliki alasan berdasarkan materi.
Seorang sahabat memutuskan untuk menetap
dalam waktu tidak terbatas di Madinah
karena ia sudah merasa damai disana. Bisa ke Nabawi dan raudhah kapanpun ia suka ataupun umroh kapanpun ia
mau, anak-anaknya mendapat pendidikan agama dan hafalan Qur’an yang sesuai dengan
keinginannya dan ia pun masih bisa beraktivitas mengajar para TKW. Untuk
berjumpa dengan para kerabat di Indonesia tidak masalah, karena mereka bisa
berjumpa dengannya saat umroh ataupun haji. Indah, bukan?
Salah seorang keluarga juga
memutuskan untuk menetap di Amerika bukan hanya semata alasan materi, meski
masih berkaitan. Ia mendapati kenyataan dengan tinggal dan bekerja di Amerika
kondisi financialnya sangatlah tercukupi
dan ia pun masih memiliki waktu luang
yang cukup (dari segi kuantitas dan
kualitas) untuk dihabiskan bersama keluarga.
Padahal di Indonesia, pasangan suami-istri tersebut sudah lama bekerja di
perusahaan multinasional ternama dengan
karir melesat dan gaji yang tidak
main-main. Tapi ya itu, waktu habis untuk bekerja. Membandingkan dengan di
Indonesia, rasanya sungguh jauh. Sudah habis mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran- bahkan
terkadang waktu keluarga terpaksa
dikorbankan- gaji tetap segitu-segitu
saja.
Saya teringat, seorang kerabat
pernah bertanya tentang gaji suami di
Saudi. Mau tak mau saya terpaksa menjawab meski
hanya sebatas menyebutkan kisarannya “Ah..segitu mah di Indonesia masih bisalah” Saya hanya nyengir. Ya, mungkin kalau perbandingannya hanya
materi, hanya itu pula yang di dapat. Tapi buat saya dan suami,
pertimbangan kami saat itu bukan hanya itu.
Pertimbangan terbesar kami adalah adanya
kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Kesempatan yang entah kapan bisa kami
peroleh. Apalagi mengingat kondisi saat ini yang antriannya saja sudah membuat geleng-geleng kepala, selain tentu
biayanya yang tidak kecil.
Diluar itu, banyak hal yang
membuat saya merasa beruntung pernah mencicipi tinggal di negeri orang. Saya
sangat setuju dengan tulisan dari salah
satu blogger favorit saya; Jihan Davincka,
yang intinya mengatakan bahwa berbagai pengalaman berinteraksi dan beradaptasi dengan berbagai ragam manusia dan budaya bisa
merubah persepsi seseorang dalam
memandang kehidupan.
Can’t more agree.
Itu terjadi pada saya. Pengalaman
tinggal di luar sesungguhnya benar-benar
membuka cakrawala berpikir saya. Mengubah persepsi saya tentang dunia
dan segala isinya. Bahkan merubah
persepsi tentang diri saya sendiri. Meski pun terus terang saya agak terlambat
juga mendapat pencerahan ini.
Terus terang, hidup saya alhamdulillah berjalan mulus saja selama ini. Bersekolah di
sekolah favorit, lulus, menikah, punya anak semuanya berjalan dengan baik. Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah
yang maha rahman dan rahim. Dari segi konteks lingkungan pun yang saya
jumpai kebanyakan teman-teman yang sama
bersekolah di sekolah favorit,
berpendidikan, berkecukupan dll, dsb. Tadinya saya pikir hal itu biasa
saja. Toh, semua teman saya juga
mengalami hal yang sama. Bahkan banyak yang jauh lebih hebat.
Tetapi…banyak hal ternyata yang
saya jumpai di Madinah yang
benar-benar menjungkir balikkan persepsi
saya sebelumnya. Bahwa banyak orang yang tidak seberuntung saya dan teman-teman saya.
Bukan sekali-dua kali saya menjumpai wajah-wajah perempuan milik sebangsa saya. Diantara kibasan abaya, sesekali saya menatap wajah-wajah yang tak asing, tergopoh-gopoh mengikuti
rombongan keluarga besar warga setempat.
Sambil kerepotan menggendong dan menggandeng anak-anak asuhannya sementara sang
nyonya melenggang begitu saja. Kali lain
saya berjumpa dengan mereka yang bersembunyi di balik dinding kamar, tak bisa
leluasa keluar karena tak punya dokumen resmi. Tanpa
kepastian, hidup yang benar-benar terbatasi. Atau mereka yang mencoba
lari tapi terjebak dan terpaksa pasrah pada nasib.
Menjumpai orang-orang yang tak
punya banyak pilihan untuk hidup tapi karena
kondisi harus tetap berjuang. Menjumpai
orang-orang yang dengan keterbatasannya gigih menantang kehidupan. Demi hidup dan kehidupan orang-orang
tercinta di tanah air. Berjuang di tanah
asing yang bahkan seringkali tidak memihak mereka. Bahkan yang lebih ekstrim, berjuang diantara
batas tipis berdosa atau tidak; hanya untuk mempertahankan hak paling dasar; kebutuhan untuk hidup dan keamanan. Dan mungkin yang paling parah dan membuat hati geram adalah menyaksikan orang-orang sebangsa yang dengan teganya memeras keringat dan memanfaatkan saudaranya setanah air dengan berbagai dalih. Saya tak akan menceritakan lebih detil, karena sudah banyak berita yang beredar di tanah air cukup memberikan gambaran secara umum.
Intinya, banyak hal yang saya temui, terus
terang membuat saya mengelus dada. Subhanallah….. ternyata saya seharusnya
lebih banyak lagi bersyukur kepada Allah.
Kalau saya membayangkan berada di posisi mereka, belum tentu saya sekuat
dan senekad itu. Mungkin kebetulan nasib saya saja lebih beruntung. Bisa datang ke Saudi bersama
keluarga, suami yang melindungi saya
dan bekerja sebagai professional dengan penghargaan dan pendapatan yang cukup. Kalau ada yang
mengganggu, siap-siap saja lirik suami *hehe* Kalau tak betah tinggal angkat koper, pulang ke Bandung.#home sweet home#
Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak punya pilihan. Mau pulang atau bertahan sama sulitnya, bagai buah simalakama. Bagaimana dengan mereka yang
mengais setiap realnya untuk hidup, menghitung setiap detiknya untuk pulang, mengumpulkan setiap keberanian untuk
sekedar menghirup udara bebas karena takut dirazia, memohon setiap
perlindungan atas ancaman tak kasat mata yang ada diluar sana, menepis setiap
tetes keringat serta air matanya untuk setiap pengorbanan yang mereka lakukan? Doa saya, semoga perlindungan Allah selalu menyertai
mereka.
Meski demikian, tidak semuanya
bernasib tragis, karena ada pula yang
menemukan surganya disini. Ya, diantara para TKW yang kebetulan masih harus
berjuang, saya bertemu dengan beberapa perempuan Indonesia yang
beruntung dipersunting warga setempat dan memiliki anak-anak yang cantik dan
tampan. Mata mereka berbinar bahagia dan penuh rasa syukur. Semoga suami mereka
selalu memuliakan mereka dan rahmat
Allah tercurah tiada putusnya.
Dari merekalah saya belajar.
Untuk itu, tak pernah saya berhenti bersyukur kepada Allah untuk kesempatan tinggal dan belajar di Madinah. Belajar melihat sisi
kehidupan yang berbeda. Ya, kita tak pernah tahu, kapan, dimana dan dari siapa
kita bisa memetik hikmah kehidupan. Untuk saya, kebetulan saya
menemukan mutiara kehidupan itu di antara damainya Madinah. Mungkin untuk orang
lain tak perlu mencari sejauh itu.
Satu lagi, pengalaman yang saya
peroleh saat berinteraksi dengan warga setempat. Seperti sudah saya
sampaikan sebelumnya, seringkali saya disangka pembantu atau khadimat. Mungkin
karena sudah jadi kelaziman di negara ini, perempuan Indonesia yang mengenakan abaya
dan bukan jamaah haji/umroh adalah mereka yang berprofesi sebagai pembantu atau khadimat. Mungkin juga sudah
nasib warga Indonesia yang selalu
menjadi warga kelas dua, tak hanya di luar negeri tapi bahkan di
negerinya sendiri. Untuk menghadapi hal
seperti ini, biasanya saaat berinteraksi dengan mereka saya menggunakan bahasa
Inggris. Saya jarang-kecuali kepepet-memakai bahasa tarzan. Kalau bahasa arab, terus terang
kemampuan saya parah sekali hehe…. Daann…. dari beberapa kali berinteraksi,
separah-parahnya bahasa Inggris saya,
ternyata mereka lebih parah lagi.
Hihihi.. Biarlah setidak-tidaknya saya masih bisa menegakkan harga diri sebagai perempuan warga Indonesia.
Meski tak banyak kesempatan untuk
berinteraksi secara langsung dengan mereka, saya senang mengamati mereka,
bagaimana kebudayaan mereka, cara mereka berinteraksi baik dalam keluarga
maupun dengan orang asing. Dari situ setidaknya saya mendapat pengetahuan baru tentang
budaya dan tradisi negara-negara
Timur Tengah yang sangat diwarnai family
cultural. Dari situ saya paham apa
yang melatarbelakangi sikap mereka dalam
berinteraksi dengan orang asing. Ini menjadi
bahan dan sumber data yang
sangat bermanfaat saat saya membuat buku
“Panduan
Perjalanan haji untuk Perempuan” Tak hanya berkisah tentang perjalanan haji saja namun juga ulasan
sederhana tentang adaptasi secara social budaya di Saudi.
Dari semua itu, satu yang saya
tahu.
Tak perlu ragu melempar sauh
sejauh mungkin dan merentang sayap selebar mungkin untuk menemukan hakikat
diri. Setiap pengalaman, setiap
petualangan, setiap penjelajahan tak
akan pernah sia-sia. Seperti layaknya
puzzle, setiap potongan akan membawa
episode baru yang membuka mata hati dan cara pandang kita terhadap dunia menjadi lebih lengkap dan
berwarna (quote by me) #baru belajar#