Senin, 21 April 2014

Serba-serbi Tinggal di Luar Negeri (2)





Satu hari saya berbincang via bb dengan salah seorang sahabat saya membicarakan postingan tulisan saya sebelumnya tentang  “Serba-serbi tinggal di luar negeri” . Setelah membaca tulisan saya, Ia berpendapat bahwa tinggal di luar negeri itu berat. Ia juga  menyatakan bahwa kalau tidak terpaksa sekali, enggan  untuk pindah ke luar negeri. Alasan utama dan terbesarnya adalah : Keluarga. Ya, system kekerabatan yang cukup kuat  mengakar di Indonesia menjadi salah satu  hal yang membuat tidak semua orang antusias untuk mencicipi pengalaman tinggal di luar negeri. Meski saat ini kecanggihan teknologi sudah memungkinkan orang yang terpisah ribuan kilometer bisa berkomunikasi dengan lancar, namun hal ini tidak berarti banyak bagi sebagian orang.

Kali lain, saya berbincang dengan sahabat saya yang lain. Kebetulan suaminya mendapat tawaran untuk  bekerja di luar  dengan gaji yang berlipat di satu negara kawasan Timur tengah yang terkenal paling “kinclong”. Sama dengan cerita sebelumnya, sahabat saya yang ini pun enggan pindah ke luar. Saya maklum. Karirnya sebagai pegawai negeri sipil di suatu instansi pemerintah sedang melaju. “Mau ngapain aku  disana?” Katanya sambil bergidik  ketika saya menyampaikan tentang beberapa alternatif  aktivitas yang paling mungkin dilakukannya kalau ia mengikuti suami bekerja di luar negeri.

Setiap orang punya pilihan bukan? tentunya apapun  alasan mereka, itu sah-sah saja.  Dan sah-sah saja kala banyak orang yang selalu mengaitkan pekerjaan di luar negeri dengan kelimpahan materi yang berlebih dibandingkan dengan di tanah air.

Padahal setiap orang yang bekerja dan tinggal di luar negeri, tidak melulu memiliki alasan berdasarkan materi. Seorang sahabat  memutuskan untuk menetap dalam waktu tidak terbatas  di Madinah karena ia sudah merasa damai disana. Bisa ke Nabawi dan raudhah  kapanpun ia suka ataupun umroh kapanpun ia mau, anak-anaknya mendapat pendidikan agama  dan hafalan Qur’an yang sesuai dengan keinginannya dan ia pun masih bisa beraktivitas mengajar para TKW. Untuk berjumpa dengan para kerabat di Indonesia tidak masalah, karena mereka bisa berjumpa dengannya saat umroh ataupun haji. Indah, bukan?

Salah seorang keluarga juga memutuskan untuk menetap di Amerika bukan hanya semata alasan materi, meski masih berkaitan. Ia mendapati kenyataan dengan tinggal dan bekerja di Amerika kondisi financialnya sangatlah  tercukupi dan ia pun masih  memiliki waktu luang yang cukup  (dari segi kuantitas dan kualitas) untuk dihabiskan bersama keluarga.  Padahal di Indonesia, pasangan suami-istri  tersebut sudah lama bekerja di perusahaan  multinasional ternama dengan karir melesat  dan gaji yang tidak main-main.  Tapi ya itu, waktu habis untuk bekerja. Membandingkan dengan di Indonesia, rasanya sungguh jauh. Sudah habis mencurahkan  waktu, tenaga dan pikiran- bahkan terkadang  waktu keluarga terpaksa dikorbankan- gaji tetap segitu-segitu  saja.

Saya teringat, seorang kerabat pernah  bertanya tentang gaji suami di Saudi. Mau tak mau saya terpaksa menjawab meski  hanya sebatas menyebutkan kisarannya “Ah..segitu mah di Indonesia   masih bisalah” Saya hanya nyengir.  Ya, mungkin kalau perbandingannya hanya materi, hanya itu pula yang di dapat. Tapi buat saya dan suami, pertimbangan  kami saat itu bukan hanya itu. Pertimbangan terbesar kami  adalah adanya kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Kesempatan yang entah kapan bisa kami peroleh. Apalagi mengingat kondisi saat ini yang antriannya saja sudah  membuat geleng-geleng kepala, selain tentu biayanya yang tidak kecil.

Diluar itu, banyak hal yang membuat saya  merasa beruntung  pernah mencicipi tinggal di negeri orang. Saya sangat setuju dengan tulisan dari  salah satu blogger favorit saya; Jihan Davincka,   yang intinya  mengatakan bahwa   berbagai pengalaman  berinteraksi dan beradaptasi  dengan berbagai ragam  manusia dan budaya  bisa merubah persepsi seseorang dalam  memandang kehidupan.  
Can’t more agree.

Itu terjadi pada saya. Pengalaman tinggal di luar sesungguhnya benar-benar  membuka cakrawala berpikir saya. Mengubah persepsi saya tentang dunia dan segala isinya.  Bahkan merubah persepsi tentang diri saya sendiri. Meski pun terus terang saya agak terlambat juga  mendapat pencerahan ini. 

Terus terang, hidup saya alhamdulillah  berjalan mulus saja selama ini. Bersekolah di sekolah favorit, lulus, menikah, punya anak semuanya berjalan dengan  baik. Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah yang maha rahman dan rahim. Dari segi konteks lingkungan pun yang saya jumpai  kebanyakan teman-teman yang sama bersekolah di sekolah  favorit, berpendidikan, berkecukupan dll, dsb. Tadinya saya pikir hal itu biasa saja.  Toh, semua teman saya juga mengalami hal yang sama. Bahkan banyak yang jauh lebih  hebat.

Tetapi…banyak hal ternyata yang saya jumpai  di Madinah yang benar-benar  menjungkir balikkan persepsi saya sebelumnya. Bahwa banyak orang yang tidak seberuntung  saya dan teman-teman saya.

Bukan sekali-dua kali saya  menjumpai wajah-wajah  perempuan milik sebangsa saya. Diantara  kibasan abaya, sesekali saya  menatap wajah-wajah  yang tak asing, tergopoh-gopoh mengikuti rombongan  keluarga besar warga setempat. Sambil kerepotan menggendong dan menggandeng anak-anak asuhannya sementara sang nyonya melenggang begitu saja.  Kali lain saya  berjumpa dengan mereka yang  bersembunyi di balik dinding kamar, tak bisa leluasa  keluar karena  tak punya dokumen resmi.  Tanpa  kepastian, hidup yang benar-benar terbatasi. Atau mereka yang mencoba lari tapi terjebak dan terpaksa pasrah pada nasib.

Menjumpai orang-orang yang tak punya  banyak pilihan untuk hidup tapi karena kondisi harus tetap berjuang.  Menjumpai orang-orang yang dengan keterbatasannya  gigih  menantang kehidupan.  Demi hidup dan kehidupan orang-orang tercinta  di tanah air. Berjuang di tanah asing yang bahkan seringkali tidak memihak mereka.  Bahkan yang lebih ekstrim, berjuang  diantara  batas tipis berdosa atau tidak; hanya untuk  mempertahankan  hak paling dasar;  kebutuhan untuk hidup dan keamanan.   Dan mungkin yang paling parah dan membuat hati geram adalah menyaksikan  orang-orang sebangsa  yang dengan teganya  memeras keringat dan memanfaatkan saudaranya setanah air dengan berbagai dalih. Saya tak akan menceritakan lebih detil, karena sudah banyak berita yang beredar di tanah air cukup memberikan gambaran secara umum.

Intinya, banyak hal yang saya temui, terus terang membuat saya mengelus dada. Subhanallah….. ternyata saya seharusnya lebih banyak lagi bersyukur kepada Allah.

Kalau saya membayangkan  berada di posisi mereka, belum tentu  saya sekuat  dan senekad itu. Mungkin kebetulan nasib saya saja lebih beruntung. Bisa datang ke Saudi  bersama  keluarga, suami yang melindungi saya  dan bekerja sebagai professional  dengan  penghargaan dan  pendapatan yang cukup. Kalau ada yang mengganggu, siap-siap saja lirik suami *hehe* Kalau tak betah tinggal angkat koper, pulang ke Bandung.#home sweet home#

Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak punya pilihan. Mau pulang atau bertahan sama sulitnya, bagai buah simalakama. Bagaimana dengan mereka yang mengais setiap realnya untuk hidup, menghitung setiap detiknya untuk pulang,  mengumpulkan setiap keberanian untuk sekedar  menghirup udara  bebas karena takut dirazia, memohon setiap perlindungan atas ancaman tak kasat mata yang ada diluar sana, menepis setiap tetes keringat serta air matanya untuk setiap pengorbanan yang mereka  lakukan?  Doa saya, semoga perlindungan Allah selalu menyertai mereka.

Meski demikian, tidak semuanya bernasib tragis,  karena ada pula yang menemukan surganya disini. Ya, diantara para TKW yang kebetulan masih  harus  berjuang, saya  bertemu  dengan beberapa perempuan Indonesia yang beruntung dipersunting warga setempat dan memiliki anak-anak yang cantik dan tampan. Mata mereka berbinar bahagia dan penuh rasa syukur. Semoga suami mereka selalu  memuliakan mereka dan rahmat Allah tercurah tiada putusnya.

Dari merekalah saya belajar. Untuk itu, tak pernah saya berhenti bersyukur kepada Allah  untuk kesempatan tinggal dan  belajar di Madinah. Belajar melihat sisi kehidupan yang berbeda. Ya, kita tak pernah tahu, kapan, dimana dan dari siapa kita bisa  memetik  hikmah kehidupan. Untuk saya, kebetulan saya menemukan mutiara kehidupan itu di antara damainya Madinah. Mungkin untuk orang lain tak perlu mencari sejauh itu.

Satu lagi, pengalaman yang saya peroleh saat  berinteraksi  dengan warga setempat. Seperti sudah saya sampaikan sebelumnya, seringkali saya disangka pembantu atau khadimat. Mungkin karena sudah jadi kelaziman di negara ini, perempuan Indonesia yang mengenakan abaya dan bukan jamaah haji/umroh adalah mereka yang berprofesi sebagai  pembantu atau khadimat. Mungkin juga sudah nasib warga Indonesia yang selalu  menjadi warga kelas dua, tak hanya di luar negeri tapi bahkan di negerinya sendiri. Untuk  menghadapi hal seperti ini, biasanya saaat berinteraksi dengan mereka saya menggunakan bahasa Inggris. Saya jarang-kecuali kepepet-memakai bahasa  tarzan. Kalau bahasa arab, terus terang kemampuan saya parah sekali hehe…. Daann…. dari beberapa kali berinteraksi, separah-parahnya  bahasa Inggris saya, ternyata  mereka lebih parah lagi. Hihihi.. Biarlah setidak-tidaknya saya masih bisa menegakkan harga diri sebagai perempuan  warga Indonesia. 

Meski tak banyak kesempatan untuk berinteraksi secara langsung dengan mereka, saya senang mengamati mereka, bagaimana kebudayaan mereka, cara mereka berinteraksi baik dalam keluarga maupun dengan orang asing. Dari situ setidaknya saya mendapat pengetahuan baru  tentang  budaya dan tradisi  negara-negara Timur Tengah yang  sangat  diwarnai family cultural. Dari situ saya  paham apa yang melatarbelakangi sikap  mereka dalam berinteraksi dengan orang asing. Ini menjadi  bahan  dan sumber data yang sangat  bermanfaat saat saya membuat buku  “Panduan  Perjalanan haji untuk Perempuan” Tak hanya berkisah tentang  perjalanan haji saja namun juga ulasan sederhana  tentang  adaptasi secara social budaya di Saudi.

Dari semua itu, satu yang saya tahu.  

Tak perlu ragu melempar sauh sejauh mungkin dan merentang sayap selebar mungkin untuk menemukan hakikat diri.  Setiap pengalaman, setiap petualangan, setiap penjelajahan tak  akan pernah sia-sia.  Seperti layaknya puzzle, setiap potongan  akan membawa episode baru yang membuka mata hati dan cara pandang kita  terhadap dunia menjadi lebih lengkap dan berwarna (quote by me) #baru belajar#



Sabtu, 22 Maret 2014

Serba-serbi Tinggal di Luar Negeri



Pengalaman saya tinggal di luar negeri sebenarnya  cuma seiprit  alias cuma sebentar. Dibandingkan dengan teman-teman yang bertahun-tahun menetap, berpindah-pindah dari satu  negara ke negara lainnya atau bahkan ada yang menjadi warga negara setempat…..wow... jauhh!  Berbekal pengalaman yang cuma sebentar ini plus mendengar dan membaca tulisan tentang teman-teman yang berkesempatan tinggal di luar negeri, saya coba menuliskan beberapa point  yang umum dialami oleh para pendatang di negeri orang.

-          Masa adaptasi; pertamakali tiba, jangan heran kalau banyak hal ditemui akan jauh berbeda dengan apa yang biasa kita jumpai di  tanah air. Sekalipun kita sudah mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya  sebaiknya tetap bersiap menghadapi  adanya kejutan-kejutan yang akan mewarnai masa awal sebagai pendatang baru.

-          Jangan terlalu lama menghabiskan waktu untuk terkaget-kaget…karena  mau tidak mau kita akan disibukkan dengan  beragam kegiatan yang harus dipersiapkan untuk menjalani rutinitas di tempat baru; misalnya mencari  tempat tinggal permanent  untuk  pendatang yang  tinggal di tempat sementara,  mencari toko yang available untuk membeli bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari, berburu sekolah  yang  cocok untuk anak-anak  sampai menemukan  tempat atau komunitas yang nyaman  untuk pergaulan.  Yang jadi masalah, kadang apa yang kita inginkan tidak sesuai dengan apa yang kita dapatkan. Belum lagi sejumlah pertimbangan yang menyertai; seperti  mendapatkan bahan makanan yang halal dan murah, sekolah anak  yang nyaman dan sistem pendidikan yang sesuai dan lainnya.

-          Untuk pendatang yang beruntung  tinggal di negara muslim, bersyukurlah. Seperti waktu saya di Madinah,  Ibaratnya, di supermarket mau mengambil bahan makanan apapun dengan mata tertutup, insya Allah halal. Mau jajan di restoran juga demikian. Hal yang sebaliknya  dengan yang saya alami waktu berkunjung ke China. Teman saya yang kebetulan tinggal  di negara non muslim juga demikian; harus cermat meneliti kandungan  zat-zat yang terdapat dalam bahan makanan yang  ingin dibeli apakah masih  termasuk halal untuk dikonsumsi atau tidak.

Tapi in shaa Allah, dibelahan dunia manapun tempat kita akan  tinggal, akan selalu ada kemudahan  dan pertolongan Allah.

-          Siap bekerja keras. Mau leyeh-leyeh seperti di Indonesia yang relative mudah mencari asisten? Jangan harap hal itu terjadi kalau kita bermukin di negara lain. Kalau di Indonesia ada si Mbak atau si Bibik yang  bisa diandalkan untuk  membantu mencuci piring atau mengasuh anak, tinggal di luar berarti kita harus siap mengandalkan diri sendiri atau  berbagi tugas dengan pasangan.  Cucian menumpuk atau ada tikus di dapur….Ya kudu puter otak sendiri – jangan harap bisa minta tolong sama Mamang tukang sampah untuk membantu mengusir tikus.  Tugas keseharian benar-benar tanggung jawab sendiri  dan sangat jarang untuk bisa benar-benar libur, kecuali kalau sudah ada kesepakatan dengan pasangan. Demikian juga urusan masak-memasak; kalau libur, mau dikasih makan apa anak-anak?  Masalahnya kalau sering-sering jajan, bisa jebol  ini kantong hihihi….. Belum lagi masalah selera  yang kadang tidak cocok dengan masakan setempat.

Masalahnya bisa berbeda kalau kebetulan tempat kita tinggal  berdekatan dengan tetangga sesama orang Indonesia yang doyan masak.  Seperti saya waktu di Madinah yang lumayan sering dapat kiriman kue dan masakan enak-enak dari tetangga  yang baik hati atau dapat lungsuran sisa makanan dari  travel umrah yang makanan jamaahnya tidak habis.

Gengsi? Ke laut aja kalee….Tinggal di luar negeri   bukan berarti berfoya-foya lho ya… kecuali kalau  tabungan  sudah menumpuk atau tanah  ada dimana-mana alias kehidupan sudah pasti terjamin ketika pulang ke tanah air nanti.  Kalau bagi saya, tinggal di luar negeri artinya ya penghematan.  Dan juga menahan diri dari hal-hal yang bisa didapat dengan mudah di tanah air. Misalnya  kangen makan batagor atau bakso tapi jangan harap ada yang lewat. Jadinya asyik googling  untuk cari tahu gimana cara bikin sendiri.

Maka jangan heran kalau ibu-ibu pemukim luar negeri adalah istri-istri binangkit – jago masak, beberes rumah dan ngurus anak, karena semuanya dikerjakan sendiri. Pokoknya salut berat deh.

-          Bergabung di komunitas warga Indonesia. Sebagai sesama warga Indonesia di negara asing; jalinan persaudaraan harus benar-benar erat. Ya, kepada siapa lagi kita menengok  apabila kebetulan  membutuhkan bantuan. Sebagai sesama perantau,  tentu sama-sama  mengetahui situasi yang dihadapi di negeri orang; susah-senangnya. Kadang  saling ketergantungannya cukup besar; bahkan tak jarang  tetangga atau teman yang  kita jumpai di sana lebih terasa sebagai saudara  atau bahkan keluarga dibandingkan dengan saudara sedarah di tanah air.  Hanya saja, ya itu….lingkup pergaulan terasa tidak terlalu luas dibandingkan dengan di tanah air. Apabila di tanah air kita akan banyak bertemu orang baru dalam pergaulan kita atau karena berbagai urusan, misalnya;   tapi kalau kebetulan kita tinggal di negara yang warga Indonesianya sedikit ya harus terima saja kalau tiap ada pertemuan ketemunya dengan orang –orang yang sama. Istilahnya 4 L  lah….Loe lagi loe lagi.
- Serunya tinggal di luar negeri adalah kesempatan yang terbilang jarang  untuk  melihat kebudayaan dan pemandangan  yang berbeda  dengan di tanah air. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Percaya deh… biar nggak punya uang atau  bermodal nekad sekalipun; jangan sia-siakan kesempatan untuk berpetualang  menelusuri dan menikmati  suasana dan budaya setempat yang berbeda dengan tanah air; seperti menikmati kulinernya atau berbincang dengan warga setempat. Mumpung jaraknya dekat.  Jangan seperti saya yang menyesal  setelah kembali ke Indonesia. Jauh-jauh berkelana di Madinah paling jauh cuma sampai Mekah atau Jeddah. Bahkan Thaif atau  Made in Saleh yang tergolong tempat  ngetop di Saudi pun belum sempat saya  kunjungi. *tepok jidat* Dahulu ketika ada seorang teman yang menyarankan supaya kami  mencoba travelling ke Mesir atau Abu Dhabi  karena jaraknya terhitung dekat dari Saudi-daripada bolak-balik pulang kampung ke Indonesia- saya hanya tertawa. Sekarang? Huhuhu…. saya hanya bisa gigit jari dan berharap suatu hari dapat kesempatan untuk berpetualang lagi *lirik suami* Aamiin ya Robb.

Jumat, 24 Januari 2014

Episode Kehidupan : Madinah (3)





Suasana kehidupan Madinah yang tenang ternyata menyimpan  banyak  cerita tentang  warga Indonesia yang berjuang  mencari penghidupan disana. Untuk saya, menyaksikan lika-liku kehidupan mereka di Madinah adalah menyaksikan satu potret tentang realitas hidup. Untuk sebagian orang, hidup memang tak pernah lepas dari perjuangan. Dan itulah yang saya lihat di mata TKI/TKW yang saya jumpai disana.
Pertama kali datang, saya sering disangka TKW atau khadimat yang sedang bekerja. Sekalipun sudah menggendong-gendong si sulung sekalipun atau sengaja pasang ekspresi manis tak berdosa. Maklumlah mungkin tampilan seadanya ;D Memakai abaya pun model yang sangat sederhana, jauh dari gaya. Dari banyak cerita, ternyata hal itu bukan sesuatu yang aneh untuk warga Indonesia  berkunjung ke tanah suci selain untuk maksud ibadah haji/umroh.  Warga Indonesia yang bekerja disana memang jumlahnya cukup besar untuk sector informal seperti rumah tangga. Maka tak heran kalau profesi khadimat cukup populer bagi warga Indonesia. Untuk mereka, Saudi bagaikan tanah yang menjanjikan harapan dan impian. Harapan yang tak mereka dapatkan di tanah air.
Ya, siapa yang tak ingin. Bisa mendulang riyal sambil berkesempatan menunaikan ibadah haji/umroh. Meski harus jauh dari keluarga. Setidaknya ada harapan yang dijemput daripada menunggu sesuatu yang tak pasti di tanah air. Meski kenyataannya tak sedikit rintangan yang dihadapi. Baik bagi pekerja professional, namun  terutama sekali bagi para pekerja dan pendatang illegal.
Seringkali rasa tak nyaman menyelinap di hati bila menyaksikan polisi kerajaan Saudi yang sedang sibuk berjaga-jaga atau melakukan razia. Baik di jalan-jalan, sekitar masjid Nabawi/Masjidil Haram apalagi di checkpoint pintu masuk Mekah.  Tampang bapak polisi yang dingin begitu tak bersahabat. Apalagi untuk para pekerja illegal yang seringkali harus dalam kondisi waspada terus menerus. Oleh karena itu, iqoma hampir tak pernah lepas  dari tas saya. Untuk berjaga-jaga apabila ada razia. Oya Iqoma itu seperti KITAS ya, bukti identitas resmi kita sebagai WNA di Saudi. Jadi apabila ada razia, cukup tunjukkan iqoma ini.
Tapi sekali waktu, saya pernah juga lalai. Waktu itu kebetulan ada sahabat mengajak saya berkeliling kota menghabiskan malam jumat di Madinah (a.k.a malam minggunya Saudi) sambil mencari-cari rumah untuk tempat tinggal baru keluarganya. Keliling kota bukannya seperti (saya) di Indonesia ya.. paling banter jam 9 malam sudah kembali ke kasur- tidur *anak baik* Keliling kota di Madinah ini baru mantap kalau sudah jauh lepas isya. Sekitar jam 11 sampai jam 1 dinihari. Waktu itu kebetulan suami sedang jaga malam. Jadilah saya meminta izin sekalian menginap di rumah sahabat saya itu. Dan asyiklah kami berputar-putar keliling  Madinah mengunjungi beberapa tempat yang jadi pusat keramaian kota. Bahkan sempat bermacet-macet ria segala.  Saya pun tenang saja menikmati suasana sambil menggendong si sulung. Esoknya ketika kembali ke rumah dan sedang beres-beres, saya baru sadar iqoma saya tertinggal di rumah. Hadeuhhh… untung tidak ada razia kala itu. Kalau ada razia, bisa dipastikan saya  suami bakalan repot berurusan dengan kepolisian setempat untuk menjemput istrinya kembali.
Saking banyaknya  pekerja di sector informal dari Indonesia, warga Saudi tampaknya sudah terbiasa  menyamaratakan bahwa semua pekerja Indonesia di Saudi adalah para supir dan pembantu atau penjaga toko dan petugas kebersihan. Maka tampak tak lazim bagi mereka ketika ada beberapa pekerja professional dari Indonesia yang juga mencari penghidupan disini. Satu kali  bahkan  seorang teman yang membantu mengurus dokumen penting  milik suami -yang sempat hilang- mendapati rasa heran dan tidak percaya  dari seorang  petugas warga Saudi saat mengisi keterangan  bahwa pekerjaan suami adalah dokter. Mungkin mereka tak biasa mendapatkan ada warga Indonesia dengan latar belakang pendidikan dan  profesional seperti dokter yang bekerja di Saudi. Namun hal ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kondisi yang terpaksa harus dihadapi oleh sejumlah pekerja ilegal saudara sebangsa setanah air.
(Bersambung)


Jumat, 10 Januari 2014

Episode Kehidupan : Madinah (2)


Masjid Nabawi dilihat dari arah kawasan Asia/dekat Masjid Ijabah tahun 2006


Selang beberapa bulan tinggal di imaroh lama,  yang lebih menyerupai kamar kost itu;  Alhamdulillah suami mendapat tawaran untuk menyewa sebuah  imaroh baru yang lebih bagus dan lebih luas. Oya, bicara tentang imaroh, sebenarnya sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan kemenkes Saudi, suami berhak mendapat tempat tinggal di sebuah flat yang terletak di dekat rumah sakit plus beberapa perlengkapan rumah tangga. Namun karena lokasi flat ini jauh dari pusat kota Madinah, terutama masjid Nabawi makanya kami-saya dan suami sepakat untuk mencari apartemen lain yang lebih dekat dengan masjid Nabawi.
Oleh karena kami tidak menempati flat yang sudah disediakan dan memilih tinggal di tempat lain, kami berhak atas jatah penggantian uang sewa rumah sebesar beberapa ribu real. Untuk hal ini, harus saya akui – meski masih kalah dibandingkan negara teluk lainnya yang menjanjikan fasilitas yang jauh lebih menggiurkan untuk pegawainya- namun fasilitas dari pemerintah Saudi ini sudah sangat baik dan kami syukuri. *kapan Indonesia bisa begitu ya*
Imaroh lama kami yang terletak di kawasan Asia dan dekat dengan masjid Ijabah;  memang benar-benar dekat jaraknya dengan masjid Nabawi.  Mungkin sekitar 1 sampai 2 kilometer (maksimal). Melewati  jalan-jalan yang ramai oleh toko yang menjual berbagai bahan makanan dan pernak-pernik khas Asia tenggara, termasuk Indonesia serta restoran Jakarta & Surabaya yang menghidangkan makanan khas Indonesia, menyebrang sedikit berbelok melalui jalan-jalan mulus yang dipenuhi hotel-hotel megah tempat para jamaah umroh/haji. Tak berapa lama, tampaklah kubah masjid Nabawi yang cantik di kejauhan.
Sementara imaroh baru kami di kawasan Tarik Salam lebih jauh jaraknya.  Namun masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki kira-kira hampir setengah jam (maksimal). Jalannya pun lurus saja. Bisa masuk melalui pintu Babussalam.  Imaroh baru kami ini tempatnya meski lebih jauh tapi  memang kawasannya lebih bersih dan bagus dari imaroh lama. Saya menempati tingkat dasar dari empat lantai yang ada di apartemen ini. Secara lokasi  memang sangat strategis karena  berada langsung dekat pintu masuknya.
Karena posisi yang strategis ini,  beberapa kali  pintu imaroh saya kedapatan diketuk oleh orang tak dikenal.  Untungnya pintu imaroh saya sangat tebal. Pokoknya saking tebalnya untuk mengetuk pintu tak seperti layaknya kita mengetuk pintu rumah di Indonesia. Mengetuk pintu harus dengan kekuatan penuh- menggedor sih  – tepatnya hehe…
Satu kali ada yang mengetuk pintu imaroh saya dengan keras. Dog! Dog! Dog! Samar-samar  terdengar si pengetuk  juga berbicara dengan suara keras menggunakan bahasa yang tidak saya pahami. Haduuuhh… Saya yang sedang berdua saja dengan anak di rumah  agak-agak cemas (takut- tepatnya haha). Siapa pula itu? Tak sopan ‘kali! Tapi berhubung suami sudah wanti-wanti  dengan sangat *istri bandel*  agar saya tidak sembarangan membuka pintu kepada sembarangan orang, akhirnya saya diam saja. Menyimak di balik pintu sambil berusaha keras memahami apa yang dia ucapkan. *Ngomong apa sih dikau * Beberapa lama, setelah tak juga mendapat tanggapan, akhirnya dia  beranjak pergi. Kabarnya kata teman saya, kadang suka ada pengemis asal Palestine yang meminta-minta.  
Soal seperti ini memang menuntut kewaspadaan lebih dari saya, apalagi seringkali saya hanya tinggal berdua saja dengan anak saya yang saat itu baru berumur setahunan. Pernah suatu kali saya sampai harus janjian miscall-misscallan sama suami untuk memastikan bahwa yang mengetuk pintu  adalah beliau dan  bukan  suami  orang  lain. Hihi.. terlalu ya. Tapi memang harus karena kebetulan pintu imaroh tidak dilengkapi oleh lubang untuk mengintip orang/tamu yang datang.
Imaroh baru ini benar-benar rezeki yang tidak diduga, karena mendapatkan imaroh yang  nyaman  dan sesuai keinginan hati di Madinah tidaklah mudah.   Seorang teman sampai harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan imaroh yang sesuai dengan keinginan hati. Oya imaroh ini harus dibayar sewanya selama 6 bulan kedepan. Kalau tidak salah  totalnya sekitar ribuan real. Sampai-sampai kami- suami dan saya- sebagai new comer di Madinah bangkrut dan harus rela  hanya makan dengan sambal ( pakai nasi tentunya) demi membayar sewa imaroh yang muahal itu. Tapi biarlah….demi privacy dan keleluasaan yang terkadang tak dapat dinilai dengan apapun, rasanya cukup sepadan.
Tinggal di Tarik Salam, membuat saya banyak menemukan pengalaman baru. Terutama dengan  tetangga  asal Indonesia yang juga kebetulan tinggal satu apartement dengan saya. Banyak hal menarik yang membuat saya semakin mengenal lika-liku kehidupan dan mensyukuri segala nikmat yang telah dilimpahkan Allah swt.
(bersambung)