Catatan empat tahun silam....
Pagi
menjelang siang. Bandung yang macet membuat laju angkot yang saya tumpangi
sedikit tersendat. Saya melirik jam yang
melingkar di pergelangan tangan. Masih satu setengah jam lagi perjalanan rute Margahayu-
Dago, harus saya jalani dengan sabar.
Sambil menghela nafas saya membayangkan rentetan kesibukan yang harus saya
lalui dan target yang harus saya capai hari ini. Terutama, menyangkut target
pekerjaan saya dan jadwal belajar si sulung yang besok akan UTS.
Sesaat
angkot menepi. Seorang ibu berbadan kurus
dengan pakaian sederhana menggandeng anaknya naik ke dalam angkot. Usia anak lelaki itu memasuki pra remaja.
Kira-kira tiga belas atau empat belas tahun.
Satu hal yang menonjol, ketika duduk, anak itu tampak terkulai lemas di
pangkuan sang ibu. Pandangan matanya kosong dan jemari tangannya kaku. Ibu itu
dengan tenang memeluk bahu anaknya. Dibelainya lembut, rambut anaknya. Kemudian dengan sabar disekanya air liur yang
sesekali menetes di bibir sang anak.
Mata
kami bertemu dan kami saling bertukar senyum. Sambil menatap anak-anak SMP yang
tertawa riang di sepanjang jalan yang kami lalui, ia berucap pelan,
“Seandainya
saja tumbuh normal, anak saya juga pasti sudah SMP sekarang,” Ia menghela nafas
kemudian melanjutkan ceritanya.
“
Anak saya sebenarnya terlahir normal. Hanya, pada usia sembilan bulan badannya
panas tinggi dan kejang-kejang. Sempat dirawat di rumah sakit. Tapi, mungkin
sudah nasibnya, jadi sekarang ia seperti ini,” ada kegetiran dalam suaranya.
“Dulu,
waktu ayahnya masih hidup, ia sayang sekali pada anak ini. Ayahnya benar-benar
bekerja keras untuk membiayai pengobatannya. Sayang, setahun lalu ayahnya
berpulang. Sekarang saya yang berusaha membiayai pengobatannya. Beginilah…. semampunya saja, kalau ada uang
dibawa berobat, kalau nggak ada, ya
sudah. Maklum kerja serabutan.” Tidak ada nada keluhan dari suaranya. Tak juga meminta
belas kasihan. Hanya ada ketegaran mencoba menepis getir yang ia rasakan. Tampak
sekali ibu itu hanya ingin berbagi untuk sedikit meluruhkan kegundahan hati
akan nasib anaknya.
“
Alhamdulillah sekarang sudah terkumpul sedikit uang untuk biaya berobatnya. Mau
saya bawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin. Ada seorang dokter yang begitu
perhatian padanya dan berjanji mau membantu pengobatannya. Gratis.
Mudah-mudahan dokter itu hari ini ada,”
Ia tersenyum penuh harap. Meski bias wajahnya tidak menghilangkan kegundahan
yang ia rasakan, tetapi rasa optimis dan
kasih yang begitu besar terpancar di
sorot matanya.
Saya
terhenyak. Menyembunyikan rasa haru yang menyesakkan dada. Ibu, begitu besar
kasihmu. Kesabaranmu bagai mata air yang tak pernah putus. Semangatmu bagai api
yang tak kunjung padam. Dan saya hanya dapat terpaku. Menyadari, betapa
kesabaran saya pada anak-anak kadang begitu mudah punah ditelan lelah dan
riuhnya tugas sehari-hari. Meski begitu banyak kelimpahan dan kemudahan yang
saya peroleh, namun terkadang begitu mudah pula keluh terlontar dari bibir
saya. Betapa malunya saya padamu, wahai Ibu. Semoga Allah yang maha rahman dan rahim mendengar doa-doa khusyu’ yang terucap dari
bibirmu. Semoga pula keberkahan selalu
menyertai setiap langkahmu. Aamiin
Allahumma Aamiin