Senin, 21 April 2014

Serba-serbi Tinggal di Luar Negeri (2)





Satu hari saya berbincang via bb dengan salah seorang sahabat saya membicarakan postingan tulisan saya sebelumnya tentang  “Serba-serbi tinggal di luar negeri” . Setelah membaca tulisan saya, Ia berpendapat bahwa tinggal di luar negeri itu berat. Ia juga  menyatakan bahwa kalau tidak terpaksa sekali, enggan  untuk pindah ke luar negeri. Alasan utama dan terbesarnya adalah : Keluarga. Ya, system kekerabatan yang cukup kuat  mengakar di Indonesia menjadi salah satu  hal yang membuat tidak semua orang antusias untuk mencicipi pengalaman tinggal di luar negeri. Meski saat ini kecanggihan teknologi sudah memungkinkan orang yang terpisah ribuan kilometer bisa berkomunikasi dengan lancar, namun hal ini tidak berarti banyak bagi sebagian orang.

Kali lain, saya berbincang dengan sahabat saya yang lain. Kebetulan suaminya mendapat tawaran untuk  bekerja di luar  dengan gaji yang berlipat di satu negara kawasan Timur tengah yang terkenal paling “kinclong”. Sama dengan cerita sebelumnya, sahabat saya yang ini pun enggan pindah ke luar. Saya maklum. Karirnya sebagai pegawai negeri sipil di suatu instansi pemerintah sedang melaju. “Mau ngapain aku  disana?” Katanya sambil bergidik  ketika saya menyampaikan tentang beberapa alternatif  aktivitas yang paling mungkin dilakukannya kalau ia mengikuti suami bekerja di luar negeri.

Setiap orang punya pilihan bukan? tentunya apapun  alasan mereka, itu sah-sah saja.  Dan sah-sah saja kala banyak orang yang selalu mengaitkan pekerjaan di luar negeri dengan kelimpahan materi yang berlebih dibandingkan dengan di tanah air.

Padahal setiap orang yang bekerja dan tinggal di luar negeri, tidak melulu memiliki alasan berdasarkan materi. Seorang sahabat  memutuskan untuk menetap dalam waktu tidak terbatas  di Madinah karena ia sudah merasa damai disana. Bisa ke Nabawi dan raudhah  kapanpun ia suka ataupun umroh kapanpun ia mau, anak-anaknya mendapat pendidikan agama  dan hafalan Qur’an yang sesuai dengan keinginannya dan ia pun masih bisa beraktivitas mengajar para TKW. Untuk berjumpa dengan para kerabat di Indonesia tidak masalah, karena mereka bisa berjumpa dengannya saat umroh ataupun haji. Indah, bukan?

Salah seorang keluarga juga memutuskan untuk menetap di Amerika bukan hanya semata alasan materi, meski masih berkaitan. Ia mendapati kenyataan dengan tinggal dan bekerja di Amerika kondisi financialnya sangatlah  tercukupi dan ia pun masih  memiliki waktu luang yang cukup  (dari segi kuantitas dan kualitas) untuk dihabiskan bersama keluarga.  Padahal di Indonesia, pasangan suami-istri  tersebut sudah lama bekerja di perusahaan  multinasional ternama dengan karir melesat  dan gaji yang tidak main-main.  Tapi ya itu, waktu habis untuk bekerja. Membandingkan dengan di Indonesia, rasanya sungguh jauh. Sudah habis mencurahkan  waktu, tenaga dan pikiran- bahkan terkadang  waktu keluarga terpaksa dikorbankan- gaji tetap segitu-segitu  saja.

Saya teringat, seorang kerabat pernah  bertanya tentang gaji suami di Saudi. Mau tak mau saya terpaksa menjawab meski  hanya sebatas menyebutkan kisarannya “Ah..segitu mah di Indonesia   masih bisalah” Saya hanya nyengir.  Ya, mungkin kalau perbandingannya hanya materi, hanya itu pula yang di dapat. Tapi buat saya dan suami, pertimbangan  kami saat itu bukan hanya itu. Pertimbangan terbesar kami  adalah adanya kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Kesempatan yang entah kapan bisa kami peroleh. Apalagi mengingat kondisi saat ini yang antriannya saja sudah  membuat geleng-geleng kepala, selain tentu biayanya yang tidak kecil.

Diluar itu, banyak hal yang membuat saya  merasa beruntung  pernah mencicipi tinggal di negeri orang. Saya sangat setuju dengan tulisan dari  salah satu blogger favorit saya; Jihan Davincka,   yang intinya  mengatakan bahwa   berbagai pengalaman  berinteraksi dan beradaptasi  dengan berbagai ragam  manusia dan budaya  bisa merubah persepsi seseorang dalam  memandang kehidupan.  
Can’t more agree.

Itu terjadi pada saya. Pengalaman tinggal di luar sesungguhnya benar-benar  membuka cakrawala berpikir saya. Mengubah persepsi saya tentang dunia dan segala isinya.  Bahkan merubah persepsi tentang diri saya sendiri. Meski pun terus terang saya agak terlambat juga  mendapat pencerahan ini. 

Terus terang, hidup saya alhamdulillah  berjalan mulus saja selama ini. Bersekolah di sekolah favorit, lulus, menikah, punya anak semuanya berjalan dengan  baik. Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah yang maha rahman dan rahim. Dari segi konteks lingkungan pun yang saya jumpai  kebanyakan teman-teman yang sama bersekolah di sekolah  favorit, berpendidikan, berkecukupan dll, dsb. Tadinya saya pikir hal itu biasa saja.  Toh, semua teman saya juga mengalami hal yang sama. Bahkan banyak yang jauh lebih  hebat.

Tetapi…banyak hal ternyata yang saya jumpai  di Madinah yang benar-benar  menjungkir balikkan persepsi saya sebelumnya. Bahwa banyak orang yang tidak seberuntung  saya dan teman-teman saya.

Bukan sekali-dua kali saya  menjumpai wajah-wajah  perempuan milik sebangsa saya. Diantara  kibasan abaya, sesekali saya  menatap wajah-wajah  yang tak asing, tergopoh-gopoh mengikuti rombongan  keluarga besar warga setempat. Sambil kerepotan menggendong dan menggandeng anak-anak asuhannya sementara sang nyonya melenggang begitu saja.  Kali lain saya  berjumpa dengan mereka yang  bersembunyi di balik dinding kamar, tak bisa leluasa  keluar karena  tak punya dokumen resmi.  Tanpa  kepastian, hidup yang benar-benar terbatasi. Atau mereka yang mencoba lari tapi terjebak dan terpaksa pasrah pada nasib.

Menjumpai orang-orang yang tak punya  banyak pilihan untuk hidup tapi karena kondisi harus tetap berjuang.  Menjumpai orang-orang yang dengan keterbatasannya  gigih  menantang kehidupan.  Demi hidup dan kehidupan orang-orang tercinta  di tanah air. Berjuang di tanah asing yang bahkan seringkali tidak memihak mereka.  Bahkan yang lebih ekstrim, berjuang  diantara  batas tipis berdosa atau tidak; hanya untuk  mempertahankan  hak paling dasar;  kebutuhan untuk hidup dan keamanan.   Dan mungkin yang paling parah dan membuat hati geram adalah menyaksikan  orang-orang sebangsa  yang dengan teganya  memeras keringat dan memanfaatkan saudaranya setanah air dengan berbagai dalih. Saya tak akan menceritakan lebih detil, karena sudah banyak berita yang beredar di tanah air cukup memberikan gambaran secara umum.

Intinya, banyak hal yang saya temui, terus terang membuat saya mengelus dada. Subhanallah….. ternyata saya seharusnya lebih banyak lagi bersyukur kepada Allah.

Kalau saya membayangkan  berada di posisi mereka, belum tentu  saya sekuat  dan senekad itu. Mungkin kebetulan nasib saya saja lebih beruntung. Bisa datang ke Saudi  bersama  keluarga, suami yang melindungi saya  dan bekerja sebagai professional  dengan  penghargaan dan  pendapatan yang cukup. Kalau ada yang mengganggu, siap-siap saja lirik suami *hehe* Kalau tak betah tinggal angkat koper, pulang ke Bandung.#home sweet home#

Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak punya pilihan. Mau pulang atau bertahan sama sulitnya, bagai buah simalakama. Bagaimana dengan mereka yang mengais setiap realnya untuk hidup, menghitung setiap detiknya untuk pulang,  mengumpulkan setiap keberanian untuk sekedar  menghirup udara  bebas karena takut dirazia, memohon setiap perlindungan atas ancaman tak kasat mata yang ada diluar sana, menepis setiap tetes keringat serta air matanya untuk setiap pengorbanan yang mereka  lakukan?  Doa saya, semoga perlindungan Allah selalu menyertai mereka.

Meski demikian, tidak semuanya bernasib tragis,  karena ada pula yang menemukan surganya disini. Ya, diantara para TKW yang kebetulan masih  harus  berjuang, saya  bertemu  dengan beberapa perempuan Indonesia yang beruntung dipersunting warga setempat dan memiliki anak-anak yang cantik dan tampan. Mata mereka berbinar bahagia dan penuh rasa syukur. Semoga suami mereka selalu  memuliakan mereka dan rahmat Allah tercurah tiada putusnya.

Dari merekalah saya belajar. Untuk itu, tak pernah saya berhenti bersyukur kepada Allah  untuk kesempatan tinggal dan  belajar di Madinah. Belajar melihat sisi kehidupan yang berbeda. Ya, kita tak pernah tahu, kapan, dimana dan dari siapa kita bisa  memetik  hikmah kehidupan. Untuk saya, kebetulan saya menemukan mutiara kehidupan itu di antara damainya Madinah. Mungkin untuk orang lain tak perlu mencari sejauh itu.

Satu lagi, pengalaman yang saya peroleh saat  berinteraksi  dengan warga setempat. Seperti sudah saya sampaikan sebelumnya, seringkali saya disangka pembantu atau khadimat. Mungkin karena sudah jadi kelaziman di negara ini, perempuan Indonesia yang mengenakan abaya dan bukan jamaah haji/umroh adalah mereka yang berprofesi sebagai  pembantu atau khadimat. Mungkin juga sudah nasib warga Indonesia yang selalu  menjadi warga kelas dua, tak hanya di luar negeri tapi bahkan di negerinya sendiri. Untuk  menghadapi hal seperti ini, biasanya saaat berinteraksi dengan mereka saya menggunakan bahasa Inggris. Saya jarang-kecuali kepepet-memakai bahasa  tarzan. Kalau bahasa arab, terus terang kemampuan saya parah sekali hehe…. Daann…. dari beberapa kali berinteraksi, separah-parahnya  bahasa Inggris saya, ternyata  mereka lebih parah lagi. Hihihi.. Biarlah setidak-tidaknya saya masih bisa menegakkan harga diri sebagai perempuan  warga Indonesia. 

Meski tak banyak kesempatan untuk berinteraksi secara langsung dengan mereka, saya senang mengamati mereka, bagaimana kebudayaan mereka, cara mereka berinteraksi baik dalam keluarga maupun dengan orang asing. Dari situ setidaknya saya mendapat pengetahuan baru  tentang  budaya dan tradisi  negara-negara Timur Tengah yang  sangat  diwarnai family cultural. Dari situ saya  paham apa yang melatarbelakangi sikap  mereka dalam berinteraksi dengan orang asing. Ini menjadi  bahan  dan sumber data yang sangat  bermanfaat saat saya membuat buku  “Panduan  Perjalanan haji untuk Perempuan” Tak hanya berkisah tentang  perjalanan haji saja namun juga ulasan sederhana  tentang  adaptasi secara social budaya di Saudi.

Dari semua itu, satu yang saya tahu.  

Tak perlu ragu melempar sauh sejauh mungkin dan merentang sayap selebar mungkin untuk menemukan hakikat diri.  Setiap pengalaman, setiap petualangan, setiap penjelajahan tak  akan pernah sia-sia.  Seperti layaknya puzzle, setiap potongan  akan membawa episode baru yang membuka mata hati dan cara pandang kita  terhadap dunia menjadi lebih lengkap dan berwarna (quote by me) #baru belajar#